Sengkarut Komunikasi Kebijakan
loading...
A
A
A
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
MENARIK untuk memberi catatan sekaligus mengkritisi praktik komunikasi yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini. Terutama, terhubung dengan komunikasi kebijakan yang mengundang polemik meluas di tengah masyarakat. Situasi pandemi memunculkan situasi tidak nyaman dan tidak pasti sehingga seharusnya setiap kebijakan yang diambil dan diimplementasikan oleh pemerintah harus dikomunikasikan secara efektif di internal birokrasi pemerintah, juga saat dipublikasikan ke khalayak luas. Komunikasi kebijakan sangat penting dikelola. Tidak ada kebijakan yang bisa sukses tanpa adanya peran dan fungsi komunikasi yang direncanakan, diimplementasikan dan dievaluasi secara terorganisasi.
Polemik Kebijakan
Di antara polemik yang mencuat, misalnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang bidang usaha penanaman modal. Terdapat lampiran Perpres yang mengatur pembukaan investasi baru industri miras. Publik pun beramai-ramai bereaksi menyikapi perpres ini. Isu sensitif soal miras pun menyeruak ke publik melalui pe-rangking-an isu oleh media dan membentuk persepsi yang cenderung negatif ke pemerintah. Oleh karena itulah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mencabut lampiran III Perpres No10/2021 tersebut.
Dalam perspektif kebijakan publik, tentu saja perpres ini tidak lahir begitu saja. Sebuah kebijakan publik lahir dari sejumlah pertimbangan. Tahapan dalam pembuatan kebijakan publik biasanya bertahap, mulai dari identifikasi masalah, agenda, perumusan kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi. Thomas R Dye, salah seorang pakar kebijakan publik, menulis di buku klasiknya,Understanding Public Policy (1972), kebijakan publik sebagai "apa pun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak”. Asumsi ini menyiratkan bahwa jika pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu pasti ada tujuan atau sasaran.
Tulisan lain dari Clarke E Cochran dalam American Public Policy: Introduction (1999), menyebutkan kebijakan publik merupakan hasil dari pertarungan dalam pemerintahan sehingga seseorang mendapatkan sesuatu (who gets what). Dalam menyusun dan mengesahkan kebijakan publik sudah pasti ada pergulatan, dialektika, bahkan mungkin pertarungan nilai, gagasan, dan kepentingan. Pemerintah juga tentu memiliki proyeksi terhadap prospek penerimaan khalayak atas kebijakan tersebut. Itulah mengapa sebelum kebijakan publik itu diambil harus diberi sejumlah pertimbangan hingga prediksi penerimaan khalayak terhadap kebijakan publik yang akan dikeluarkan.
Jika kebijakan yang sudah diambil dan diumumkan ke publik, kemudian ditarik ulang dalam tempo singkat, hal ini menggambarkan adanya masalah dalam proses dan tahapan pengambilan kebijakannya. Implementasi dari kebijakan publik yang diambil menjadi rapuh sehingga mudah sekali berada dalam kebimbangan, ketidakpastian, dan ketidaktegasan. Sebuah kebijakan publik sejatinya sudah dipertimbangkan memiliki tiga dimensi yang saling terkait. Pertama, dimensi subjek di mana kebijakan publik adalah kebijakan dari pemerintah. Sehingga kebijakan pemerintah dianggap resmi, memiliki kewenangan dan dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Kedua, dimensi lingkungan, yakni masyarakat yang dikenai kebijakan. Seharusnya hal ini dipertimbangkan secara cermat dengan berbagai disiplin ilmu yang bisa menjadi acuan pemerintah untuk mengambil atau tidak mengambil kebijakan. Ketiga, dimensi umum terkait dengan strata kebijakan yang terdiri dari kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis.
Jika menempatkan Perpres 10 Tahun 2021 dalam dimensi strata tadi, maka masuk ke dalam strata pelaksanaan dari strata umum kebijakan yang terdapat dalam Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Jadi, sekali lagi jika kita menempatkan perpres tersebut dalam konteks kebijakan publik tentu bukan hal yang tidak direncanakan, bukan?
Polemik yang mirip juga terjadi dalam sikap pemerintah mengenai impor beras. Presiden Jokowi memastikan pemerintah tidak akan mengimpor beras hingga Juni 2021. Bahkan, Presiden Jokowi menyebut bahwa Indonesia sudah tidak impor beras sejak hampir tiga tahun terakhir. Hal tersebut disampaikan Jokowi melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Jumat, 26 Maret 2021 lalu. Banyak media menelisik pernyataan ini, dan mengungkap data berbeda seperti dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan data milik BPS, impor beras masih terjadi dalam kurun waktu tersebut. Pada 2018 Indonesia mengimpor beras hingga 2.253.824,5 ton dengan nilai 1,037 miliar dolar AS. Tahun 2018 memang tercatat sebagai tahun terakhir Indonesia membuka keran impor beras secara besar-besaran. Impor beras Indonesia menurun pada 2019. Jumlahnya menjadi 444.508,8 ton dengan nilai 184,2 juta dolar AS. Sepanjang tahun 2020 Indonesia masih mengimpor beras sebanyak 356.286 ton beras dengan nilai mencapai 195,4 juta dolar AS. Negara pengekspor beras terbanyak untuk Indonesia pada 2020 adalah Pakistan. Jumlahnya mencapai 110.516 ton atau senilai 41,51 juta dolar AS.
Perbedaan cara pandang ini tentu saja harus dikomunikasikan dengan baik. Mengapa ada perbedaan narasi antara mengimpor beras dan tidak selama 3 tahun terakhir versinya pemerintah. Belum lagi sebelumnya juga muncul polemik soal rencana impor beras ini antara Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, dan Direktur Utama Perum Bulog. Publik membaca ada silang sengketa di antara pemerintah sendiri terkait dengan rencana impor beras ini. Situasi ini yang membuat Jokowi kembali harus membuat klarifikasi tidak ada impor beras hingga bulan Juni tahun ini.
Memperbaiki Komunikasi
Ke depan sebuah kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah harus mengoptimalkan peran dan fungsi komunikasi kebijakan. Dalam pendekatan komunikasi kebijakan ada lima faktor yang sangat penting diperhatikan. Pertama, soal data terintegrasi. Pemahaman tentang data ini menjadi sangat penting sekali mengingat perbedaan pandangan antarpejabat dan antarinstansi kerap bermula dari data yang tak sama dan interpretasinya yang berbeda-beda pula. Substansi kebijakannya seperti apa, harus diperkuat dengan data-data yang mendukungnya.
Kedua, sumber daya manusia (SDM) yang berperan dalam proses komunikasinya. Harus jelas tim, kelompok kerja, atau jejaring birokrasi komunikasi yang akan mendukung diseminasi kebijakan ini. Jelas siapa yang akan menjadi penghidang informasi dan siapa yang menjadi “koki”. Inilah yang disebut sebagai peran informasi (information roles) dalam komunikasi kebijakan. Ketiga, anggaran yang menunjang ragam program untuk mengomunikasikan kebijakan. Keempat, adanya road map komunikasi yang jelas mulai dari kebijakan saat disahkan, kemudian penyamaan persepsi di antara para pemangku kebijakan, hingga saat kebijakan disosialisasikan dan dievaluasi pelaksanaannya. Jangan pernah membiarkan sebuah kebijakan “menggelinding” begitu saja ke publik tanpa perhitungan risiko yang akan muncul dan rencana mitigasi yang memadai. Ada aspek komponensial komunikasi seperti komunikator, pesan, saluran, khalayak, komunikan dan efek yang mesti direncanakan dalam komunikasi kebijakan.
Kelima, aktivitas komunikasi prioritas yang urgen dilakukan secara sistemis dan terorganisasi dalam komunikasi kebijakan adalah arahan personal (personal direction), rekognisi media (media recognition) dan pendekatan komunikasi ke sasaran prioritas. Arahan personal yang dimaksud adalah memperkuat arahan singkat (policy brief) ke semua pejabat yang terkait mulai dari presiden, menteri, kepala daerah dengan narasi kebijakan yang sama agar seluruh narasi para pejabat terkait berada dalam orkestrasi yang sama. Rekognisi media, tentu saja terhubung dengan bagaimana media mengakui kebijakan ini dalam pe-rangking-an isu mereka. Bingkai berita positif diperlukan agar opini publik yang terbangun positif dan kondusif bagi tahapan implementasi berikutnya. Hubungan media sangat diperlukan, selain untuk mendiseminasikan kebijakan ke khalayak luas, juga bisa untuk membangun kepercayaan publik (trust building) dengan pembentukan opini publik yang positif.
Terakhir adalah mengembangkan jejaring komunikasi langsung ke khalayak dan orang-orang kunci untuk memastikan kebijakan mendapatkan dukungan hingga bisa sampai ke masyarakat. Komunikasi kebijakan bukanlah pemadam kebakaran, yang bereaksi ketika ada masalah. Jangan lagi tempatkan komunikasi kebijakan hanya sebagai peran pinggiran dan asal-asalan!
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
MENARIK untuk memberi catatan sekaligus mengkritisi praktik komunikasi yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini. Terutama, terhubung dengan komunikasi kebijakan yang mengundang polemik meluas di tengah masyarakat. Situasi pandemi memunculkan situasi tidak nyaman dan tidak pasti sehingga seharusnya setiap kebijakan yang diambil dan diimplementasikan oleh pemerintah harus dikomunikasikan secara efektif di internal birokrasi pemerintah, juga saat dipublikasikan ke khalayak luas. Komunikasi kebijakan sangat penting dikelola. Tidak ada kebijakan yang bisa sukses tanpa adanya peran dan fungsi komunikasi yang direncanakan, diimplementasikan dan dievaluasi secara terorganisasi.
Polemik Kebijakan
Di antara polemik yang mencuat, misalnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang bidang usaha penanaman modal. Terdapat lampiran Perpres yang mengatur pembukaan investasi baru industri miras. Publik pun beramai-ramai bereaksi menyikapi perpres ini. Isu sensitif soal miras pun menyeruak ke publik melalui pe-rangking-an isu oleh media dan membentuk persepsi yang cenderung negatif ke pemerintah. Oleh karena itulah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mencabut lampiran III Perpres No10/2021 tersebut.
Dalam perspektif kebijakan publik, tentu saja perpres ini tidak lahir begitu saja. Sebuah kebijakan publik lahir dari sejumlah pertimbangan. Tahapan dalam pembuatan kebijakan publik biasanya bertahap, mulai dari identifikasi masalah, agenda, perumusan kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi. Thomas R Dye, salah seorang pakar kebijakan publik, menulis di buku klasiknya,Understanding Public Policy (1972), kebijakan publik sebagai "apa pun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak”. Asumsi ini menyiratkan bahwa jika pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu pasti ada tujuan atau sasaran.
Tulisan lain dari Clarke E Cochran dalam American Public Policy: Introduction (1999), menyebutkan kebijakan publik merupakan hasil dari pertarungan dalam pemerintahan sehingga seseorang mendapatkan sesuatu (who gets what). Dalam menyusun dan mengesahkan kebijakan publik sudah pasti ada pergulatan, dialektika, bahkan mungkin pertarungan nilai, gagasan, dan kepentingan. Pemerintah juga tentu memiliki proyeksi terhadap prospek penerimaan khalayak atas kebijakan tersebut. Itulah mengapa sebelum kebijakan publik itu diambil harus diberi sejumlah pertimbangan hingga prediksi penerimaan khalayak terhadap kebijakan publik yang akan dikeluarkan.
Jika kebijakan yang sudah diambil dan diumumkan ke publik, kemudian ditarik ulang dalam tempo singkat, hal ini menggambarkan adanya masalah dalam proses dan tahapan pengambilan kebijakannya. Implementasi dari kebijakan publik yang diambil menjadi rapuh sehingga mudah sekali berada dalam kebimbangan, ketidakpastian, dan ketidaktegasan. Sebuah kebijakan publik sejatinya sudah dipertimbangkan memiliki tiga dimensi yang saling terkait. Pertama, dimensi subjek di mana kebijakan publik adalah kebijakan dari pemerintah. Sehingga kebijakan pemerintah dianggap resmi, memiliki kewenangan dan dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Kedua, dimensi lingkungan, yakni masyarakat yang dikenai kebijakan. Seharusnya hal ini dipertimbangkan secara cermat dengan berbagai disiplin ilmu yang bisa menjadi acuan pemerintah untuk mengambil atau tidak mengambil kebijakan. Ketiga, dimensi umum terkait dengan strata kebijakan yang terdiri dari kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis.
Jika menempatkan Perpres 10 Tahun 2021 dalam dimensi strata tadi, maka masuk ke dalam strata pelaksanaan dari strata umum kebijakan yang terdapat dalam Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Jadi, sekali lagi jika kita menempatkan perpres tersebut dalam konteks kebijakan publik tentu bukan hal yang tidak direncanakan, bukan?
Polemik yang mirip juga terjadi dalam sikap pemerintah mengenai impor beras. Presiden Jokowi memastikan pemerintah tidak akan mengimpor beras hingga Juni 2021. Bahkan, Presiden Jokowi menyebut bahwa Indonesia sudah tidak impor beras sejak hampir tiga tahun terakhir. Hal tersebut disampaikan Jokowi melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Jumat, 26 Maret 2021 lalu. Banyak media menelisik pernyataan ini, dan mengungkap data berbeda seperti dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan data milik BPS, impor beras masih terjadi dalam kurun waktu tersebut. Pada 2018 Indonesia mengimpor beras hingga 2.253.824,5 ton dengan nilai 1,037 miliar dolar AS. Tahun 2018 memang tercatat sebagai tahun terakhir Indonesia membuka keran impor beras secara besar-besaran. Impor beras Indonesia menurun pada 2019. Jumlahnya menjadi 444.508,8 ton dengan nilai 184,2 juta dolar AS. Sepanjang tahun 2020 Indonesia masih mengimpor beras sebanyak 356.286 ton beras dengan nilai mencapai 195,4 juta dolar AS. Negara pengekspor beras terbanyak untuk Indonesia pada 2020 adalah Pakistan. Jumlahnya mencapai 110.516 ton atau senilai 41,51 juta dolar AS.
Perbedaan cara pandang ini tentu saja harus dikomunikasikan dengan baik. Mengapa ada perbedaan narasi antara mengimpor beras dan tidak selama 3 tahun terakhir versinya pemerintah. Belum lagi sebelumnya juga muncul polemik soal rencana impor beras ini antara Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, dan Direktur Utama Perum Bulog. Publik membaca ada silang sengketa di antara pemerintah sendiri terkait dengan rencana impor beras ini. Situasi ini yang membuat Jokowi kembali harus membuat klarifikasi tidak ada impor beras hingga bulan Juni tahun ini.
Memperbaiki Komunikasi
Ke depan sebuah kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah harus mengoptimalkan peran dan fungsi komunikasi kebijakan. Dalam pendekatan komunikasi kebijakan ada lima faktor yang sangat penting diperhatikan. Pertama, soal data terintegrasi. Pemahaman tentang data ini menjadi sangat penting sekali mengingat perbedaan pandangan antarpejabat dan antarinstansi kerap bermula dari data yang tak sama dan interpretasinya yang berbeda-beda pula. Substansi kebijakannya seperti apa, harus diperkuat dengan data-data yang mendukungnya.
Kedua, sumber daya manusia (SDM) yang berperan dalam proses komunikasinya. Harus jelas tim, kelompok kerja, atau jejaring birokrasi komunikasi yang akan mendukung diseminasi kebijakan ini. Jelas siapa yang akan menjadi penghidang informasi dan siapa yang menjadi “koki”. Inilah yang disebut sebagai peran informasi (information roles) dalam komunikasi kebijakan. Ketiga, anggaran yang menunjang ragam program untuk mengomunikasikan kebijakan. Keempat, adanya road map komunikasi yang jelas mulai dari kebijakan saat disahkan, kemudian penyamaan persepsi di antara para pemangku kebijakan, hingga saat kebijakan disosialisasikan dan dievaluasi pelaksanaannya. Jangan pernah membiarkan sebuah kebijakan “menggelinding” begitu saja ke publik tanpa perhitungan risiko yang akan muncul dan rencana mitigasi yang memadai. Ada aspek komponensial komunikasi seperti komunikator, pesan, saluran, khalayak, komunikan dan efek yang mesti direncanakan dalam komunikasi kebijakan.
Kelima, aktivitas komunikasi prioritas yang urgen dilakukan secara sistemis dan terorganisasi dalam komunikasi kebijakan adalah arahan personal (personal direction), rekognisi media (media recognition) dan pendekatan komunikasi ke sasaran prioritas. Arahan personal yang dimaksud adalah memperkuat arahan singkat (policy brief) ke semua pejabat yang terkait mulai dari presiden, menteri, kepala daerah dengan narasi kebijakan yang sama agar seluruh narasi para pejabat terkait berada dalam orkestrasi yang sama. Rekognisi media, tentu saja terhubung dengan bagaimana media mengakui kebijakan ini dalam pe-rangking-an isu mereka. Bingkai berita positif diperlukan agar opini publik yang terbangun positif dan kondusif bagi tahapan implementasi berikutnya. Hubungan media sangat diperlukan, selain untuk mendiseminasikan kebijakan ke khalayak luas, juga bisa untuk membangun kepercayaan publik (trust building) dengan pembentukan opini publik yang positif.
Terakhir adalah mengembangkan jejaring komunikasi langsung ke khalayak dan orang-orang kunci untuk memastikan kebijakan mendapatkan dukungan hingga bisa sampai ke masyarakat. Komunikasi kebijakan bukanlah pemadam kebakaran, yang bereaksi ketika ada masalah. Jangan lagi tempatkan komunikasi kebijakan hanya sebagai peran pinggiran dan asal-asalan!
(bmm)