Catatan Sosiologis Peta Jalan Pendidikan
loading...
A
A
A
Oleh karena itu pendekatan yang dibangun seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya harus kontekstual dan komprehensif, bukan Jakarta-sentris/Jawa-sentris yang nanti pendekatannya akan bias. Dalam kajian sosiologi cara pandang itu disebut bias urban. Yang menjadi masalah adalah peta jalan pendidikan ini disusun tidak menggunakan kacamata “Indonesia”, tetapi dengan menggunakan kacamata “kota”.
Munculnya bias urban sering kali karena pemikir dan arsiteknya yang tidak paham tentang keragaman Indonesia. Hal ini didukung karena minimnya produksi pengetahuan tentang “Indonesia” (dengan huruf I besar) bukan dengan “huruf I kecil”. Indonesia dengan I kecil misalnya karena pengetahuan tentang kondisi Indonesia diperoleh secara singkat dan tidak mendalam oleh para pelaku “bias urban” yang menimbulkan penilaian yang tidak nyata pada daerah nonurban.
Menjadi keniscayaan, peta jalan pendidikan ini harus berbasiskan pendekatan yang makro, komprehensif, dan universal yang menggambarkan keragaman sosial budaya etnis masyarakat Indonesia. Saya khawatirnya adalah desain itu akan lebih terjebak pada pendekatan teknis instrumental dalam teknologi digital, tetapi mengabaikan keragaman masyarakat dan geografis Indonesia. Kita bisa melihatnya di bagian teknologi seperti yang tertuang dalam peta jalan pendidikan. Di bagian teknologi digital, bicaranya sudah sampai artificial intelligence (AI), 5G, dll. Tapi dengan mengabaikan keragaman masyarakat dan geografis tersebut, semua impian akan sia-sia. Tidak akan dipahami apa itu AI atau 5G di daerah-daerah pedalaman. Jangankan mengenal dan merasakan apa itu AI atau 5G, listrik saja masih sering mati. Hingga saat ini berdasarkan data yang ada, masih ada 433 desa di Indonesia yang belum teraliri listrik. Secara terperinci, 433 desa tersebut terbagi di daerah Papua dengan 325 desa, Papua Barat 102 desa, Nusa Tenggara Timur 5 desa, dan Maluku 1 desa. Belum lagi jika kita bicara mengenai sinyal/koneksi internet yang masih menjadi kendala dalam masyarakat perdalaman.
Inilah yang menjadi ironi dan kontradiksi pada peta jalan pendidikan sehingga harus mendapatkan catatan serius.
Munculnya bias urban sering kali karena pemikir dan arsiteknya yang tidak paham tentang keragaman Indonesia. Hal ini didukung karena minimnya produksi pengetahuan tentang “Indonesia” (dengan huruf I besar) bukan dengan “huruf I kecil”. Indonesia dengan I kecil misalnya karena pengetahuan tentang kondisi Indonesia diperoleh secara singkat dan tidak mendalam oleh para pelaku “bias urban” yang menimbulkan penilaian yang tidak nyata pada daerah nonurban.
Menjadi keniscayaan, peta jalan pendidikan ini harus berbasiskan pendekatan yang makro, komprehensif, dan universal yang menggambarkan keragaman sosial budaya etnis masyarakat Indonesia. Saya khawatirnya adalah desain itu akan lebih terjebak pada pendekatan teknis instrumental dalam teknologi digital, tetapi mengabaikan keragaman masyarakat dan geografis Indonesia. Kita bisa melihatnya di bagian teknologi seperti yang tertuang dalam peta jalan pendidikan. Di bagian teknologi digital, bicaranya sudah sampai artificial intelligence (AI), 5G, dll. Tapi dengan mengabaikan keragaman masyarakat dan geografis tersebut, semua impian akan sia-sia. Tidak akan dipahami apa itu AI atau 5G di daerah-daerah pedalaman. Jangankan mengenal dan merasakan apa itu AI atau 5G, listrik saja masih sering mati. Hingga saat ini berdasarkan data yang ada, masih ada 433 desa di Indonesia yang belum teraliri listrik. Secara terperinci, 433 desa tersebut terbagi di daerah Papua dengan 325 desa, Papua Barat 102 desa, Nusa Tenggara Timur 5 desa, dan Maluku 1 desa. Belum lagi jika kita bicara mengenai sinyal/koneksi internet yang masih menjadi kendala dalam masyarakat perdalaman.
Inilah yang menjadi ironi dan kontradiksi pada peta jalan pendidikan sehingga harus mendapatkan catatan serius.
(bmm)