Catatan Sosiologis Peta Jalan Pendidikan

Rabu, 24 Maret 2021 - 05:05 WIB
loading...
Catatan Sosiologis Peta...
Rakhmat Hidayat (Foto: Istimewa)
A A A
Rakhmat Hidayat
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Sekum Asosiasi Profesi Peneliti dan Pengajar Sosiologi Indonesia (AP3SI)

WACANA mengenai peta jalan pendidikan mengundang keriuhan karena dianggap “menghilangkan” frasa agama. Di tengah keriuhan tersebut publik harus memberikan perhatian serius terhadap peta jalan pendidikan sebagai bagian dari keterlibatan publik dalam merespons isu pendidikan.

Sebagaimana kita ketahui, tidak tercantumnya frasa agama dalam visi pendidikan dikritik sejumlah ormas Islam. Sebelumnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengusung visi pendidikan dalam draf Penyusunan Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020–2035, yaitu “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.”

Kritik terhadap peta jalan pendidikan 2020–2035 awalnya disampaikan Pengurus Pusat Muhammadiyah karena tidak ditemukannya kata “agama” dalam draf rumusan paling mutakhir tertanggal 11 Desember 2020, terutama hilangnya frasa “agama” dari visi pendidikan Indonesia 2035. Hanya tercantum budaya sebagai acuan nilai mendampingi Pancasila. Di luar soal frasa agama, tulisan ini hendak memberikan catatan sosiologis sebagai isu penting yang tidak kalah strategis.

Konteks Keragaman Indonesia
Dalam pandangan saya peta jalan pendidikan di bagian sosial budaya tercantum dalam “sosiokultural perubahan demografi, profil sosioekonomi dari populasi dunia” dengan turunannya adalah “meningkatnya usia harapan hidup dan usia lama bekerja; tumbuhnya migrasi, urbanisasi, keragaman budaya, dan kelas menengah; meningkatnya tenaga kerja yang terus bergerak (mobile) dan fleksibel; munculnya kepedulian konsumen terhadap etika, privasi, dan kesehatan”.

Bagian sosial budaya kurang mendapatkan pendalaman karena hanya mencantumkan “keragaman budaya, migrasi dan urbanisasi”. Menurut saya perlu pendalaman lagi secara sosiologis. Hal penting yang harusnya menjadi fokus perhatian peta jalan pendidikan secara sosiologis adalah (1) penghargaan terhadap keanekaragaman sosial budaya masyarakat. Hal ini menjadi penting karena masyarakat Indonesia mencerminkan keanekaragaman sebuah bangsa, baik dari segi budaya, tradisi, bahasa, latar belakang etnis, adat istiadat dan kearifan lokal yang sekaligus menegaskan ikatan keindonesiaan dalam masyarakat multikultural; (2) konteks geografis yang tersebar di Indonesia seperti daerah pegunungan/agraris, daerah pesisir, daerah perkotaan atau daerah terdepan, terluar dan tertinggal.

Adanya tiga karakteristik daerah yang berbeda ini (pegunungan/agraris/perdesaan, pesisir dan perkotaan) berkaitan dengan penjelasan sebelumnya karena perbedaan geografis tersebut memproduksi perbedaan sosial budaya masyarakatnya. Kedua hal ini secra empiris sering menjadi masalah serius karena adanya ketimpangan sosial pendidikan antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan yang menyebabkan kemudian pada hasil/output pendidikan.

Kenapa ini perlu menjadi catatan strategis untuk dimasukkan ke dalam peta jalan pendidikan? Tak lain karena mengelola pendidikan bukan hanya mengelola Pulau Jawa atau masyarakat perkotaan, tetapi mengelola keragaman sosial budaya dan geografis masyarakat Indonesia. Dengan kata lain agar peta jalan pendidikan tersebut tidak bias kepentingan atau bias wilayah (disebut juga bias kota). Peta jalan pendidikan harus menggambarkan secara keseluruhan/makro karakteristik persebaran wilayah ini sehingga pendekatannya akan lebih komprehensif. Misalnya dengan adanya data statistik persebaran penduduk di wilayah ini untuk mendukung bangunan perspektif sosiologis tersebut.

Konteks negara lain berbeda dengan Indonesia? Secara sosiologis dan geografis Indonesia sangat berbeda dari negara lain. Indonesia adalah negara kepulauan (archipelago country) terbesar di dunia. Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, terdiri atas sekitar 300 suku. Setiap suku memiliki dialek tersendiri. Secara keseluruhan terdapat lebih dari 360 dialek yang memperkaya budaya Indonesia. Akibatnya dari negara kepulauan melahirkan konteks keanekaragaman etnis, bahasa, budaya, adat tradisi, dan agama. Negara lain relatif lebih homogen bila dibandingkan dengan Indonesia. Akibatnya adalah perspektif yang digunakan harus lebih beragam (tidak tunggal) dalam melihat masyarakat Indonesia. Di Asia Tenggara, Malaysia mungkin bisa beragam masyarakatnya yang mencakup Melayu, India, China, dan bangsa/etnis lainnya. Tapi mereka tidak tersebar secara kepulauan seperti halnya Indonesia.

Perangkap Urban Bias
Penguatan konteks keragaman itu harus dieksplisitkan dengan menekankan keanekaragaman sosial budaya etnis dan lain-lain sebagai perspektif utama yang komprehensif. Tidak perlu kebijakan di tiap wilayah. Jika memasukkan kebijakan di tiap wilayah itu akan menjadi parsial. Dalam studi sosiologi sebagai partikularisme, tetapi kita ingin menekankan universalisme dalam pendidikan Indonesia berbasiskan keanekaragaman sosial budaya etnis dll. Potensi daerah tidak perlu spesifik dijelaskan karena itu akan lebih terjebak ke dalam teknis operasional. Peta Jalan itu adalah perspektif makro yang komprehensif dan menggambarkan kondisi/konteks masyarakat Indonesia yang beragam.

Oleh karena itu pendekatan yang dibangun seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya harus kontekstual dan komprehensif, bukan Jakarta-sentris/Jawa-sentris yang nanti pendekatannya akan bias. Dalam kajian sosiologi cara pandang itu disebut bias urban. Yang menjadi masalah adalah peta jalan pendidikan ini disusun tidak menggunakan kacamata “Indonesia”, tetapi dengan menggunakan kacamata “kota”.

Munculnya bias urban sering kali karena pemikir dan arsiteknya yang tidak paham tentang keragaman Indonesia. Hal ini didukung karena minimnya produksi pengetahuan tentang “Indonesia” (dengan huruf I besar) bukan dengan “huruf I kecil”. Indonesia dengan I kecil misalnya karena pengetahuan tentang kondisi Indonesia diperoleh secara singkat dan tidak mendalam oleh para pelaku “bias urban” yang menimbulkan penilaian yang tidak nyata pada daerah nonurban.

Menjadi keniscayaan, peta jalan pendidikan ini harus berbasiskan pendekatan yang makro, komprehensif, dan universal yang menggambarkan keragaman sosial budaya etnis masyarakat Indonesia. Saya khawatirnya adalah desain itu akan lebih terjebak pada pendekatan teknis instrumental dalam teknologi digital, tetapi mengabaikan keragaman masyarakat dan geografis Indonesia. Kita bisa melihatnya di bagian teknologi seperti yang tertuang dalam peta jalan pendidikan. Di bagian teknologi digital, bicaranya sudah sampai artificial intelligence (AI), 5G, dll. Tapi dengan mengabaikan keragaman masyarakat dan geografis tersebut, semua impian akan sia-sia. Tidak akan dipahami apa itu AI atau 5G di daerah-daerah pedalaman. Jangankan mengenal dan merasakan apa itu AI atau 5G, listrik saja masih sering mati. Hingga saat ini berdasarkan data yang ada, masih ada 433 desa di Indonesia yang belum teraliri listrik. Secara terperinci, 433 desa tersebut terbagi di daerah Papua dengan 325 desa, Papua Barat 102 desa, Nusa Tenggara Timur 5 desa, dan Maluku 1 desa. Belum lagi jika kita bicara mengenai sinyal/koneksi internet yang masih menjadi kendala dalam masyarakat perdalaman.

Inilah yang menjadi ironi dan kontradiksi pada peta jalan pendidikan sehingga harus mendapatkan catatan serius.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1313 seconds (0.1#10.140)