Dilema Keamanan dan Tumpukan Persoalan di Laut China Selatan

Rabu, 24 Maret 2021 - 06:05 WIB
loading...
A A A
Meningkatnya Ketegangan
Amerika Serikat (AS) giat mengampanyekan kebebasan navigasi (freedom of navigation) di LCS melalui konsep Indo-Pasifik yang terbuka. AS di bawah kepemimpinan Joe Biden aktif mengonsolidasikan kekuatan dengan “menghidupkan” aliansi tradisional yang terdiri atas Prancis, Inggris, dan Jerman. Mengingat selama kepemimpinan Donald Trump, hubungan AS dengan negara-negara sekutu di Atlantik tersebut sempat merenggang. Tidak mengherankan jika dalam beberapa tahun AS tampak sering terlihat sendiri dan tanpa didampingi negara-negara sekutunya di Atlantik terutama saat merespons segala tindakan China di LCS.

Belakangan aliansi tradisional AS menunjukkan kekompakannya. Prancis misalnya mulai rajin menampakkan diri di wilayah LCS dengan mengerahkan kapal selam nuklir Emeraude dan kapal pendukung angkatan laut Seine. Akhir Februari lalu, Prancis juga menambah armada maritimnya yang terdiri atas kapal serbu amfibi Tonnerre dan kapal fregat Surcouf. Sementara Jerman akan mengikuti langkah Prancis dengan berencana mengirim kapal fregat ke LCS pada Agustus mendatang. Pengiriman kapal militer ini merupakan hal langka sebab kali terakhir Jerman mengirimkan kapal militer ke wilayah LCS ialah tahun 2002. Kehadiran aliansi AS khususnya Prancis merupakan bagian dari persiapan latihan bersama dengan AS dan Jepang yang akan digelar pada Mei 2021. Sedangkan AS sendiri sudah terlebih dahulu memanggungkan armada maritimnya di antaranya yakni kapal induk USS Nimitz dan USS Theodore Roosevelt.

Kehadiran armada tempur dari berbagai negara besar yang meningkat di jalur sibuk dan penting ini mengandung setidaknya tiga makna mendasar. Pertama, AS sebagai pencetus kampanye “Indo-Pasifik yang terbuka” tidak sedang main-main dalam menyerukan multilateralisme, dan menantang agresivitas Beijing di LCS. Kedua, kehadiran aliansi AS merupakan suatu sinyal kuat yang mengisyaratkan bahwa siapa pun yang menentang visi AS berarti juga menantang negara-negara sekutunya. Ketiga, untuk menghentikan tindakan China di LCS, ialah dengan cara menunjukkan perimbangan kekuatan di kawasan.

Sebabnya, China tampaknya tidak melihat adanya kekuatan sepadan dengannya di kawasan tersebut sehingga mereka berani melanggar wilayah perbatasan khususnya dengan negara-negara di ASEAN. Yang terbaru seperti dilansir dari Sindonews.com adalah kehadiran 220 kapal Angkatan Laut China di wilayah Whittsun Reef, suatu area yang diklaim sebagai ZEE Filipina. Pelanggaran perbatasan berulang kali terjadi. Hal ini membuat China ditentang oleh sebagian besar negara di ASEAN. Sikap China tersebut memberikan kesan kurangnya sikap hormat terhadap negara-negara tetangganya.

Meskipun demikian, tidak semua negara ASEAN bersikap antipati terhadap China. Singapura misalnya pada 25 Februari lalu melakukan latihan bersama dengan China. Dengan melibatkan armada tempur seperti kapal fregat, kapal jenis destroyer, dan kapal siluman. Latihan bersama tersebut ditujukan sebagai respons atas keberadaan armada AS dan sekutunya di wilayah LCS.

Pertanyaannya ialah sampai kapan parade armada maritim di sekitar LCS ini berlangsung? Akankah eskalasi meningkat menuju perang terbuka di lautan? Sulit untuk melangkah pada analisis tentang kemungkinan pecahnya perang terbuka di wilayah ini. Jika pun ternyata benih dari persaingan ekonomi, retorika perang, parade armada laut, dan provokasi di LCS menjadi sebab meletusnya perang terbuka, maka perang tersebut akan menjadi perang yang amat dahsyat. Sebabnya, kawasan Asia-Pasifik mewakili postur keberadaan negara-negara kuat, baik secara ekonomi maupun persenjataannya.

Selama beberapa dekade, terutama setelah berakhirnya perang Pasifik. Kawasan ini, Asia-Pasifik, merupakan kawasan yang relatif damai. Jika kembali pada awal tahun 1990-an sampai sekitar akhir dekade pertama abad ke-21, pemberitaan di televisi atau siaran radio, masih didominasi pemberitaan konflik dan perang terbuka di Timur Tengah. Nyaris tidak terdengar pemberitaan mengenai konflik di kawasan Asia-Pasifik yang di dalamnya meliputi LCS. Bahkan, apabila mundur ke belakang, sebagaimana yang diilustrasikan oleh Kenneth R Hall dalam karya masyhurnya berjudul Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia, menjelaskan tentang lingkungan perdagangan maritim klasik yang penuh kedamaian telah tercipta di perairan Samudera Hindia, Asia Tenggara, sampai perairan di Asia Timur.

Berbeda dengan kondisi saat ini, di mana pemberitaan tentang eskalasi di LCS dan sorotan dari banyak pengamat militer, mengarah pada kemungkinan meluasnya konflik ekonomi, menuju peperangan yang dibintangi AS dan China. Masa damai di kawasan ini secara perlahan bukan tidak mungkin akan segera berlalu. Sebagaimana ungkapan dari Machiavelli, sang pemikir abad renaissance, yang menyatakan, “Tidak ada masa damai tanpa persiapan untuk perang”. Pendapat mungkin relevan dengan kondisi yang saat ini terjadi di kawasan Asia-Pasifik, khususnya di LCS. Sebab persaingan ekonomi (perang dagang), persepsi saling curiga, provokasi melalui kehadiran kapal (permukaan dan bawah laut) secara intensif, dan hukum laut yang tidak lagi dihiraukan, semua itu sama sekali tidak memperlihatkan suatu kondisi yang mengarah pada suasana damai.

Ibarat mesin, LCS adalah mesin yang sedang dipanaskan dan siap untuk menderu. Indonesia yang secara geografis dekat dengan wilayah ini tentu akan ikut merasakan dampaknya. Dalam kondisi ini, Indonesia perlu menggandakan upaya strategis dan aktif menjalin komunikasi dengan berbagai pihak karena sikap pasif hanya akan menimbulkan persepi saling curiga. Haluan politik bebas aktif harus benar-benar diterjemahkan secara nyata dan dengan penuh ketegasan. Jangan sampai nama Indonesia diseret oleh salah satu pihak yang saling berseteru, yang ujungnya hanya akan merugikan Indonesia sendiri.

Meskipun Indonesia bukan termasuk negara yang memiliki klaim (non-claimant states) atas sengketa kepulauan di LCS, tetapi jalur laut yang menjadi pintu masuk sekutu AS ke LCS salah satunya melalui perairan Indonesia. Karena itu, di samping peran diplomasi, Indonesia juga harus mempunyai kontrol penuh terhadap perairan kita sendiri. Alutsista khususnya matra laut saat ini merupakan kebutuhan yang sifatnya mendesak. Armada maritim yang besar dan mumpuni akan memberikan efek gentar bagi musuh, sekaligus sebagai mata, telinga, dan perisai bagi kedaulatan perairan kita.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1753 seconds (0.1#10.140)