Dilema Keamanan dan Tumpukan Persoalan di Laut China Selatan

Rabu, 24 Maret 2021 - 06:05 WIB
loading...
Dilema Keamanan dan...
Hasan Sadeli (Foto: Istimewa)
A A A
Hasan Sadeli
Peminat Sejarah Maritim dan Kajian Pertahanan, Lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia

LAUT merupakan urat nadi dan jantungnya perekonomian dunia. Alat transportasi udara tidak bisa sepenuhnya menggantikan peran moda angkutan laut, terutama dalam pengiriman barang dengan skala dan tonase besar bagi berlangsungnya perdagangan internasional. Dari sinilah lahir jalur perdagangan maritim yang terus mengalami perluasan definisi, sampai terkait dengan persoalan geopolitik.

Letak penting laut sebagai basis utama jalur perdagangan internasional, serta potensi sumber daya yang terkandung di dalamnya, membuat negara-negara di dunia memerlukan suatu yuridiksi yang memuat kewenangan atas pengaturan, penguasaan, dan pemanfaatan laut. Di masa lalu, bangsa-bangsa dengan tradisi kebudayaan maritim yang kuat menancapkan hegemoni atas laut dengan mengadopsi teori penguasaan laut. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kekaisaran Romawi. Bedanya, saat itu kekuatan maritim antarbangsa belum merata sehingga praktis tidak terjadi sengketa di perairan.

Kemunculan negara-negara dengan kekuatan angkatan laut yang semakin merata menandai lahirnya sengketa di perairan. Doktrin kepemilikan atas laut (mare clausum) yang di antaranya sempat dianut oleh Inggris, Spanyol, dan Portugal bertentangan dengan prinsip bahwa laut merupakan wilayah yang terbuka (mare liberium) untuk pelayaran dan pemanfaatan sumber daya di dalamnya.

Adanya persaingan dan tumpang tindih klaim atas laut dari waktu ke waktu pada gilirannya menggiring bangsa-bangsa di dunia untuk menciptakan suatu konsensus mengenai batas dan klasifikasi ruang laut sampai uraian tentang pemanfaatannya. Batas ruang laut suatu negara mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Sampai sekitar tahun 1930-an, konsepsi mengenai luas laut teritorial hanya sekitar 3 mil dihitung dari garis pantai. Indonesia misalnya diwarisi produk hukum laut Hindia Belanda (Teritoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie) tahun 1939.

Indonesia melakukan suatu langkah progresif lewat Deklarasi Juanda yang diakui oleh Hukum Laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982, dengan penambahan laut teritorial sejauh 12 mil dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil. UNCLOS merupakan seperangkat aturan hukum laut yang telah diratifikasi oleh lebih dari 150 negara di dunia. Banyaknya jumlah negara yang ikut meratifikasi UNCLOS meningkatkan optimisme bahwa konflik di perairan dapat teratasi. Tetapi, aturan di atas kertas tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. Hal ini sebagaimana yang tergambar dari kondisi di Laut China Selatan (LCS).

Persoalan Klaim
LCS adalah wilayah perairan yang selama hampir satu dekade terakhir ini tidak pernah sepi dari pemberitaan. Akar masalahnya tidak lain adanya aktivitas represif China di wilayah tersebut. Dengan mengacu pada apa yang mereka sebut Nine Dash Line (Sembilan Garis Putus-Putus). Klaim ini bertolak pada akar sejarah yang menyatakan bahwa LCS merupakan bagian dari wilayah kedaulatan yang secara efektif dimanfaatkan oleh leluhurnya di masa lalu. Oleh China, Sembilan Garis Putus-Putus seolah diposisikan sebagai falsafah yang menjadi sumber hukum, untuk melegitimasi segala tindakannya di kawasan LCS, dan kepulauan di dalamnya.

Klaim China yang berpedoman pada Sembilan Garis Putus-Putus bukan sebatas retorika. Akuisisi pulau-pulau di sekitar LCS merupakan kerangka implementasi gagasan Nine Dash Line. Sebenarnya, klaim dan tindakan sepihak China atas perairan LCS sudah pernah disoroti oleh Indonesia, tepatnya pada 1995. Indonesia saat itu melalui Menteri Luar Negeri Ali Alatas meminta China untuk memberikan klarifikasi tentang maksud dari klaim Sembilan Garis Putus-Putus. Sebabnya, sebagai negara yang mendukung UNCLOS, Indonesia merasa konsep Sembilan Garis Putus-Putus sangat kontradiktif karena China juga merupakan negara yang ikut meratifikasi UNCLOS.

Tindakan China di LCS tidak luput dari perhatian media-media internasional. Beberapa media memberitakan aktivitas China yang mereka sebut sebagai upaya militerisasi pulau-pulau di sekitar LCS. Citra satelit secara berkala memantau aktivitas China yang agresif, terutama di Kepulauan Spratly dan Paracel. Rumitnya, sengketa maritim di wilayah ini didukung oleh fakta geografisnya mengingat LCS merupakan perairan yang setengah tertutup (semienclosed sea). Lautan ini dikelilingi oleh beberapa negara seperti China ke arah selatan, Vietnam ke timur, Filipina ke barat, Brunei ke utara, Malaysia dan Indonesia ke utara dan timur laut.

Kedudukan geografis semacam itu menimbulkan tantangan tersendiri. Melalui pendekatan hukum saja sudah merupakan pekerjaan yang cukup rumit. Misalnya dalam menentukan batas maritim, khususnya dalam memperjelas batas ZEE antarnegara yang semuanya mengarah ke LCS. Karena itu, klaim China atas hampir seluruh wilayah LCS menambah persoalan menjadi lebih kompleks. Bukan rahasia lagi bahwa negara di kawasan ASEAN, dan negara-negara besar di utara laut ini seperti Jepang dan Korea Selatan, merasa terganggu atas tindakan sepihak China tersebut. Melihat keadaan ini, Amerika Serikat (AS) selaku mitra penting bagi Jepang dan Korea Selatan tidak tinggal diam.

Meningkatnya Ketegangan
Amerika Serikat (AS) giat mengampanyekan kebebasan navigasi (freedom of navigation) di LCS melalui konsep Indo-Pasifik yang terbuka. AS di bawah kepemimpinan Joe Biden aktif mengonsolidasikan kekuatan dengan “menghidupkan” aliansi tradisional yang terdiri atas Prancis, Inggris, dan Jerman. Mengingat selama kepemimpinan Donald Trump, hubungan AS dengan negara-negara sekutu di Atlantik tersebut sempat merenggang. Tidak mengherankan jika dalam beberapa tahun AS tampak sering terlihat sendiri dan tanpa didampingi negara-negara sekutunya di Atlantik terutama saat merespons segala tindakan China di LCS.

Belakangan aliansi tradisional AS menunjukkan kekompakannya. Prancis misalnya mulai rajin menampakkan diri di wilayah LCS dengan mengerahkan kapal selam nuklir Emeraude dan kapal pendukung angkatan laut Seine. Akhir Februari lalu, Prancis juga menambah armada maritimnya yang terdiri atas kapal serbu amfibi Tonnerre dan kapal fregat Surcouf. Sementara Jerman akan mengikuti langkah Prancis dengan berencana mengirim kapal fregat ke LCS pada Agustus mendatang. Pengiriman kapal militer ini merupakan hal langka sebab kali terakhir Jerman mengirimkan kapal militer ke wilayah LCS ialah tahun 2002. Kehadiran aliansi AS khususnya Prancis merupakan bagian dari persiapan latihan bersama dengan AS dan Jepang yang akan digelar pada Mei 2021. Sedangkan AS sendiri sudah terlebih dahulu memanggungkan armada maritimnya di antaranya yakni kapal induk USS Nimitz dan USS Theodore Roosevelt.

Kehadiran armada tempur dari berbagai negara besar yang meningkat di jalur sibuk dan penting ini mengandung setidaknya tiga makna mendasar. Pertama, AS sebagai pencetus kampanye “Indo-Pasifik yang terbuka” tidak sedang main-main dalam menyerukan multilateralisme, dan menantang agresivitas Beijing di LCS. Kedua, kehadiran aliansi AS merupakan suatu sinyal kuat yang mengisyaratkan bahwa siapa pun yang menentang visi AS berarti juga menantang negara-negara sekutunya. Ketiga, untuk menghentikan tindakan China di LCS, ialah dengan cara menunjukkan perimbangan kekuatan di kawasan.

Sebabnya, China tampaknya tidak melihat adanya kekuatan sepadan dengannya di kawasan tersebut sehingga mereka berani melanggar wilayah perbatasan khususnya dengan negara-negara di ASEAN. Yang terbaru seperti dilansir dari Sindonews.com adalah kehadiran 220 kapal Angkatan Laut China di wilayah Whittsun Reef, suatu area yang diklaim sebagai ZEE Filipina. Pelanggaran perbatasan berulang kali terjadi. Hal ini membuat China ditentang oleh sebagian besar negara di ASEAN. Sikap China tersebut memberikan kesan kurangnya sikap hormat terhadap negara-negara tetangganya.

Meskipun demikian, tidak semua negara ASEAN bersikap antipati terhadap China. Singapura misalnya pada 25 Februari lalu melakukan latihan bersama dengan China. Dengan melibatkan armada tempur seperti kapal fregat, kapal jenis destroyer, dan kapal siluman. Latihan bersama tersebut ditujukan sebagai respons atas keberadaan armada AS dan sekutunya di wilayah LCS.

Pertanyaannya ialah sampai kapan parade armada maritim di sekitar LCS ini berlangsung? Akankah eskalasi meningkat menuju perang terbuka di lautan? Sulit untuk melangkah pada analisis tentang kemungkinan pecahnya perang terbuka di wilayah ini. Jika pun ternyata benih dari persaingan ekonomi, retorika perang, parade armada laut, dan provokasi di LCS menjadi sebab meletusnya perang terbuka, maka perang tersebut akan menjadi perang yang amat dahsyat. Sebabnya, kawasan Asia-Pasifik mewakili postur keberadaan negara-negara kuat, baik secara ekonomi maupun persenjataannya.

Selama beberapa dekade, terutama setelah berakhirnya perang Pasifik. Kawasan ini, Asia-Pasifik, merupakan kawasan yang relatif damai. Jika kembali pada awal tahun 1990-an sampai sekitar akhir dekade pertama abad ke-21, pemberitaan di televisi atau siaran radio, masih didominasi pemberitaan konflik dan perang terbuka di Timur Tengah. Nyaris tidak terdengar pemberitaan mengenai konflik di kawasan Asia-Pasifik yang di dalamnya meliputi LCS. Bahkan, apabila mundur ke belakang, sebagaimana yang diilustrasikan oleh Kenneth R Hall dalam karya masyhurnya berjudul Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia, menjelaskan tentang lingkungan perdagangan maritim klasik yang penuh kedamaian telah tercipta di perairan Samudera Hindia, Asia Tenggara, sampai perairan di Asia Timur.

Berbeda dengan kondisi saat ini, di mana pemberitaan tentang eskalasi di LCS dan sorotan dari banyak pengamat militer, mengarah pada kemungkinan meluasnya konflik ekonomi, menuju peperangan yang dibintangi AS dan China. Masa damai di kawasan ini secara perlahan bukan tidak mungkin akan segera berlalu. Sebagaimana ungkapan dari Machiavelli, sang pemikir abad renaissance, yang menyatakan, “Tidak ada masa damai tanpa persiapan untuk perang”. Pendapat mungkin relevan dengan kondisi yang saat ini terjadi di kawasan Asia-Pasifik, khususnya di LCS. Sebab persaingan ekonomi (perang dagang), persepsi saling curiga, provokasi melalui kehadiran kapal (permukaan dan bawah laut) secara intensif, dan hukum laut yang tidak lagi dihiraukan, semua itu sama sekali tidak memperlihatkan suatu kondisi yang mengarah pada suasana damai.

Ibarat mesin, LCS adalah mesin yang sedang dipanaskan dan siap untuk menderu. Indonesia yang secara geografis dekat dengan wilayah ini tentu akan ikut merasakan dampaknya. Dalam kondisi ini, Indonesia perlu menggandakan upaya strategis dan aktif menjalin komunikasi dengan berbagai pihak karena sikap pasif hanya akan menimbulkan persepi saling curiga. Haluan politik bebas aktif harus benar-benar diterjemahkan secara nyata dan dengan penuh ketegasan. Jangan sampai nama Indonesia diseret oleh salah satu pihak yang saling berseteru, yang ujungnya hanya akan merugikan Indonesia sendiri.

Meskipun Indonesia bukan termasuk negara yang memiliki klaim (non-claimant states) atas sengketa kepulauan di LCS, tetapi jalur laut yang menjadi pintu masuk sekutu AS ke LCS salah satunya melalui perairan Indonesia. Karena itu, di samping peran diplomasi, Indonesia juga harus mempunyai kontrol penuh terhadap perairan kita sendiri. Alutsista khususnya matra laut saat ini merupakan kebutuhan yang sifatnya mendesak. Armada maritim yang besar dan mumpuni akan memberikan efek gentar bagi musuh, sekaligus sebagai mata, telinga, dan perisai bagi kedaulatan perairan kita.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1039 seconds (0.1#10.140)