Anak di Bawah Umur Sasaran Prostitusi

Rabu, 24 Maret 2021 - 06:01 WIB
loading...
Anak di Bawah Umur Sasaran...
Kasus prostitusi melibatkan artis terus berulang. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Prostitusi benar-benar tak lekang oleh perkembangan zaman. Terbukti dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti saat, bisnis tersebut bukannya berhenti, tapi justru memanfaatkannya menjadi momentum untuk memperluas pasar. Mereka kian gencar menggunakan media online untuk menarik konsumen.

Celakanya, para pelaku bisnis esek-esek menggunakan segala cara demi meraup keuntungan. Kasus teranyar terungkap saat aparat kepolisian menggerebek hotel milik Cynthiara Alona di wilayah Ciledug, Kota Tangerang, Banten, pada Jumat (19/03). Artis yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka tersebut bahkan menjadi penyedia wanita penghibur. Kebanyakan wanita yang diperdagangkan di bawah umur.

Beberapa hari kemudian, Unit Reskrim Polsek Koja, Jakarta Utara juga menangkap puluhan remaja di salah satu hotel terkait prostitusi online. Dari jumlah tersebut, 45 di antaranya wanita di bawah umur.



Dari kasus-kasus yang terungkap, sebagian besar transaksi prostitusi dilakukan lewat media sosial. Teman Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan, hingga 2020 telah ada 1.068.926 konten yang berkaitan dengan pornografi ditangani oleh Tim AIS Ditjen Aplikasi Informatika.

Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa sindikat prostitusi tak pernah berhenti mengincar anak. Fakta ini bukan main-main. Berdasar data Kementerian PPPA, secara keseluruhan jumlah anak yang terlibat eksploitasi sebanyak 351 anak dan sebanyak 357 anak terlibat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sepanjang tahun 2019-2021. Data ini berdasarkan Tahun Pelaporan, diakses tanggal 23 Maret 2021.

Data ECPAT yang didasarkan dari olahan data hasil putusan Mahkamah Agung selama 2010-2014 juga mengungkkan, terdapat 35 kasus pornografi anak, 64 kasus prostitusi anak, 46 kasus pariwisata seks anak, dan 74 kasus perdagangan anak atau total ada sejumlah 219 kasus eksploitasi seksual terhadap anak.



‘’Angka ini hanya bongkahan kecil dari gunung es yang terlihat, dibalik itu kasus yang tidak terlaporkan apalagi yang berhasil mendapatkan putusan masih sangat banyak," ujar Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Nahar, kepada KORANSINDO.

Dia menjelaskan, berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan Tim Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 bersama dengan Pusat Pelayanan Terpadu perlindungan perempuan dan Anak (P2TP2A) Unit Pelaksanaan Teknis Dinas (UPTD) PPA Provinsi DKI Jakarta kepada anak korban prostitusi, terungkap bahwa penyebab anak terjebak dalam praktik prostitusi karena tiga penyebab utama.

Penyebab dimaksud adalah kebutuhan hidup, gaya hidup, serta rendahnya pengawasan dan peran pengasuhan orangtua karena sebagian orangtua yang tidak mengetahui anaknya terlibat kasus prostitusi.

"Untuk itu, Kemen PPPA menghimbau kepada para orangtua untuk memperhatikan kualitas pengasuhan dan pengawasan anak-anaknya. Memfasilitasi ini, Kemen PPPA telah membentuk 156 Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) dengan 365 Konselor yang ada di 12 Provinsi, 12 Kabupaten/Kota yang siap untuk memberikan konsultasi, informasi, rujukan dan konseling bagi keluarga," katanya.

Untuk mengantisipasi modus baru prostitusi anak melalui media online, Kementerian PPPA juga menekankan perlu adanya Digital Native Education. Kementerian PPPA melakukan upaya memperkenalkan dunia digital native kepada para orangtua serta mengedukasi mereka agar mampu mempersiapkan anak menghadapi kencangnya perkembangan teknologi.

Digital Native Education tersebut, bertitik tumpu pada pelibatan peran orangtua dalam mendampingi anaknya menghadapi era digital sehingga ada keahlian yang harus orangtua miliki agar tidak terkecoh dengan kecanggihan zaman sekarang.

Secara kongkrit, keahlian dimaksud berupa cara berkomunikasi terhadap anak, cara membuat kesepakatan kepada anak, serta cara memproteksi gadget anak, misalnya memproteksi situs Google Chrome, Youtube, Play Store di smartphone, tablet, laptop dan computer atau memanfaatkan fitur Hide Offensive Comment di Media Sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, TikTok, dan lain-lain.

"Kami bekerjasama dengan Google, Facebook, TikTok, dan Siber Kreasi sejak 2019 telah meluncurkan program tangkas berintenet bagi anak, dan pada tahun ini focus pada program edukasi Keluarga Tangkas Berinternet. Materi-materi edukasi ini semua tersedia daring di berbagai platform media sosial dan dapat dengan mudah diakses masyarakat," katanya.

Nahar juga menuturkan, Kementerian PPPA juga akan berkoordiansi dengan Kementerian Pariwisata terkait dengan Standar Operasional Prosedur Perhotelan untuk menegaskan aturan dalam Pasal 76I UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut, ungkap dia, menegaskan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.

"Sehingga pihak perhotelan dapat menjalankan bisnisnya dengan tetap memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak," ujarnya.



Dia menggariskan, menanggapi berbagai kasus prostitusi yang melibatkan anak-anak di bawah umur, maka Kementerian PPPA menggunakan tiga upaya utama, yakni upaya pencegahan, penguatan peran serta masyarakat, dan pemberian layanan.

Dalam upaya pencegahan, kata Nahar, Kementerian PPPA telah menginisiasi dan mendorong penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pemgumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual.

Pihak kepolisian, dalam hal ini Polda Metro Jaya, juga menyadari banyaknya anak di bawah umur terlibat prostitusi yang menggunakan media online. Karena itulah, mereka tengah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait proses takedown terhadap aplikasi MiChat.

"Kami berkoordinasi dengan Kominfo agar bisa men-takedown," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri , saat press rilis pengungkapan kasus eksploitasi terhadap anak di Gedung Ditreskrimum Mapolda Metro Jaya, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan 19/3).

Menurut dia, sejumlah upaya menekan praktik tersebut sebenarnya telah dilakukan pihak berwajib. Namun upaya tersebut belum membuahkan hasil karena sering kali pelaku melakukan modus-modus baru dalam praktik prostitusi menggunakan aplikasi Michat itu. Anak-anak ini ditawarkan oleh muncikari ke pria hidung belang melalui media online. Mereka ditarif ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

"Kami sudah berkoordinasi dengan teman-teman Kominfo agar bisa menekan tapi ini berjalan terus. Mereka kucing-kucingan, bukan cuma prostitusi online saja," ujar Yusri.

Dia lantas menuturkan, manajemen Hotel Alona dan juga pemiliknya yang juga artis Cynthiara Alona mengizinkan anak di bawah umur menggunakan kamar hotel untuk prostitusi. Padahal, manajemen hotel tahu anak itu tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) yang menunjukkan identitasnya sudah dewasa.

’’Harapannya bagaimana jumlah tamu yang menginap itu bisa dipertahankan bagi dia," kata Yusri.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menyatakan, akan menindak tegas dengan men-takedown akun praktik prostitusi online lewat aplikasi. Kominfo meminta komitmen penyelenggara aplikasi pesan instan untuk melakukan take down akun yang digunakan untuk praktik prostitusi online.

“Kami sudah meminta komitmen dari pengelola aplikasi pesan instan untuk melakukan takedown akun yang disalahgunakan untuk kegiatan ilegal atau melanggar hukum, termasuk prostitusi online,” ujar Johnny dalam keterangan pers, Sabtu (20/03).



Menurutnya praktik ilegal ini mengunakan beberapa aplikasi pesan singkat untuk melakukan kegiatan melanggar hukum. Adapun aplikasi pesan singkat seperti MiChat dan WhatsApp yang sering disalahgunakan oleh pengguna di Indonesia untuk melakukan komunikasi kegiatan yang berbau prostitusi online.

Berkaitan dengan adanya praktik prostitusi daring yang menggunakan aplikasi MiChat, dia menyatakan penyelenggara aplikasi sudah berjanji akan melakukan take down atas akun tersebut.

“MiChat sendiri sudah ada perwakilannya di Indonesia, dan sudah berkomitmen untuk melakukan take down akun-akun di MiChat yang disalahgunakan oleh netizen di Indonesia yang melakukan janji pertemuan ataupun promosi kegiatan prostitusi online, yang dilaporkan oleh Kominfo, Polri, ataupun masyarakat," ungkapnya.

Hingga saat ini, kata Johnny, memang belum ada permintaan resmi dari kepolisian mengenai akun-akun yang terkait dengan prostitusi daring. "Belum ada formal request dari Polri, namun Tim Cyber Drone Kominfo akan berkoordinasi bersama Polri terkait pemanfaatan konten MiChat tersebut agar ruang digital kita bersih dan bermanfaat, sebagaimana amanat berbagai perundangan-undangan di Indonesia," pungkasnya.

Mengapa bisnis prositusi tidak pernah berhenti? Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai seks merupakan salah kebutuhan biologis manusia. Munculnya prostitusi bisa saja adanya hasrat mencari kepuasan lain meskipun sudah memiliki pasangan hidup. Hal itu turut memicu hadirnya pelacuran.

“Seks itu kebutuhan manusia. Ada yang cukup dengan istri yang resmi, ada juga yang tidak cukup. Karena itu pelacuran selalu ada pasarnya,” tutur Fickar kepada SINDO, Selasa (23/3/2021).

Bagaimana bisa mengatasinya? Menurut dia, aparat harus bisa menjerat mucikari. Pasalnya. dalam ketentuan di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada pasal yang menjerat bagi pengguna prostitusi maupun PSK itu sendiri. Terhadap muncikari yang menawarkan bentuk apapun dapat dijerat dengan Pasal 296 juncto Pasal 506 KUHP.

‘’Dalam KUHP hanya mengatur perihal orang-orang yang menyediakan prostitusi atau disebut muncikari. Hal ini seperti yang tertuang dalam Pasal 296 jo Pasal 506 KUHP. Sesungguhnya ada ketentuan yang dapat menjerat baik wanita maupun laki-laki jika diterapkan Pasal 284 KUHP (perzinahan) baik bagi pria maupun wanita yang berkeluarga. Sedangkan bagi wanita maupun pria lajang, KUHP tidak menjeratnya,” jelas dia.

Jika muncikari tersebut terlibat dalam prostitusi anak, maka ada sanksi berat yang diberikan. Ketentuan hukum itu terkait dengan prostitusi anak di bawah umur serta peran dan fungsi pemerintah dalam melakukan pendidikan atau pembinaan terhadap pelaku prostitusi tersebut agar tidak terjerumus kembali, antara lain UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

Dalam Bagian IV angka 3 UU 1/2000 dan Pasal 3 huruf (a) Konvensi No. 182, mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak dalam Lampiran UU 1/2000 diterangkan bahwa pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran adalah salah satu bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Pasal 76I jo. Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pun ditegaskan bahwa setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta.“Jadi, jelas ada pemberatannya kalau yang dilacurkan itu anak-anak,” pungkasnya.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2366 seconds (0.1#10.140)