Covid-19 Menggugah Kemandirian Nasional
loading...
A
A
A
Kita mempunyai BUMN besar beserta anak usahanya seperti PLN, Pertamina, Pupuk Indonesia, Semen Indonesia, Inalum, dan perusahaan tambang, Pelindo, Angkasa Pura, PTPN, dan BUMN lainnya, serta belanja pemerintah dari APBN, adalah pasar yang besar untuk produk-produk impor. Ketergantungan impor selama puluhan tahun menunjukkan industri nasional berdaya saing rendah dan mudah ditekan krisis.
Michael E Porter (1990) dalam The Competitive Advantage of Nations mengatakan, peningkatan ekspor yang dikarenakan biaya tenaga kerja murah dan nilai tukar melemah, sementara pada saat yang sama barang modal dan bahan/baku penolong impor, menunjukkan industrinya belum mempunyai daya saing. Ketergantungan impor yang tinggi, ketika krisis terjadi, akan menekan pertumbuhan ekonomi lebih dalam.
Menurut Habibie, impor adalah membayar jam kerja orang lain, di samping itu ketergantungan impor yang terus menerus, membuat negara kita sulit untuk keluar dari fenomena Middle Income Trap. Menurut Josef Schumpeter (1912) bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai korelasi dengan inovasi, di mana sistem inovasi nasional berjalan untuk kemandirian nasional, menekan ketergantungan impor dengan memproduksi di dalam negeri.
Becermin ke Negara Lain
Kemandirian memproduksi barang dengan daya saing tergantung kebijakan pemerintah, dalam penguasaan teknologi dan sistem inovasi. Karena itu, becerminlah kepada negara Asia lain seperti Jepang, Korea, dan China.
Jepang: Aktor di balik kemandirian industri dan teknologi Jepang di era modern adalah ministry of international trade and industry (MITI), dengan koordinasi, sinkronisasi, dan penugasan kepada raksasa industri (Zaibatsu/Keiretsu) seperti Mitsubishi, Sumitomo, Kawasaki, IHI, Toshiba, Sony, Hitachi, Matsushita, dan lainnya. Sebagai contoh antara 1970-1975, MITI mengumpulkan industri elektronika dan memberikan pendanaan dalam penguasaan teknologi integrated circuit (IC). Ketika kompetisi dengan produk Jepang, Amerika menjuluki sedang berhadapan dengan Japanese Incorporated, bukan berhadapan dengan satu industri.
Korea: Sea Jin Chang (2003) dalam bukunya memaparkan, industri Korea tidak terlepas dari peran lima konglomerat besar (Chaebol), yaitu Hyundai, Daewoo, SK, Samsung, dan LG. Kebijakan industrinya dikenal dengan “export first”, yaitu mengarahkan industrinya untuk orientasi ekspor. Kebijakan industrinya mendapat arahan langsung dari presiden.
Pada 1973 Presiden Park mencanangkan kebijakan Heavy and Chemical Industrialization (HCI) dengan target industri permesinan, perkapalan, listrik, baja, petrokimia, dan non-ferrous metal. Korea dalam waktu singkat menguasai industri dan teknologi, elektronika dan komunikasi, automotif, perkapalan dan industri berat lainnya.
China: Industrialisasi China dimulai pada 1978 ketika Deng Xioping membuka diri dengan dunia luar, dan pada 1992 melakukan reformasi kebijakan investasi. Pemerintah China agresif mendorong Kementerian Perindustrian dan BUMN melakukan reverse engineering dan membuat kebijakan transfer teknologi dengan perusahaan multinasional. Sebagai contoh penguasaan teknologi kereta api cepat, pada 2004 Kementerian Kereta Api menandatangani kontrak dengan Alstom. Selanjutnya pada 2005 menandatangani kontrak kembali dengan Siemens dengan perjanjian transfer teknologi.
Di samping itu, untuk akselerasi transfer teknologi, pemerintah menggunakan kendaraan BUMN berinvestasi dan membentuk banyak perusahaan joint venture antara BUMN dengan perusahaan multinasional. Kita sudah merasakan produk China, komputer, handphone, pembangkit listrik, automotif, peralatan rumah tangga, sampai kereta cepat Jakarta-Bandung.
Terobosan Kebijakan
Becermin dari pengalaman negara lain, teknologi berkesinambungan dikuasai dan direbut, dan inovasi terus-menerus. Karena itu, berharap Kementrian Perindustrian, Perdagangan, dan BUMN menata ulang peta jalan kemandirian dalam produksi barang modal dan bahan baku/penolong untuk substitusi impor.
Michael E Porter (1990) dalam The Competitive Advantage of Nations mengatakan, peningkatan ekspor yang dikarenakan biaya tenaga kerja murah dan nilai tukar melemah, sementara pada saat yang sama barang modal dan bahan/baku penolong impor, menunjukkan industrinya belum mempunyai daya saing. Ketergantungan impor yang tinggi, ketika krisis terjadi, akan menekan pertumbuhan ekonomi lebih dalam.
Menurut Habibie, impor adalah membayar jam kerja orang lain, di samping itu ketergantungan impor yang terus menerus, membuat negara kita sulit untuk keluar dari fenomena Middle Income Trap. Menurut Josef Schumpeter (1912) bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai korelasi dengan inovasi, di mana sistem inovasi nasional berjalan untuk kemandirian nasional, menekan ketergantungan impor dengan memproduksi di dalam negeri.
Becermin ke Negara Lain
Kemandirian memproduksi barang dengan daya saing tergantung kebijakan pemerintah, dalam penguasaan teknologi dan sistem inovasi. Karena itu, becerminlah kepada negara Asia lain seperti Jepang, Korea, dan China.
Jepang: Aktor di balik kemandirian industri dan teknologi Jepang di era modern adalah ministry of international trade and industry (MITI), dengan koordinasi, sinkronisasi, dan penugasan kepada raksasa industri (Zaibatsu/Keiretsu) seperti Mitsubishi, Sumitomo, Kawasaki, IHI, Toshiba, Sony, Hitachi, Matsushita, dan lainnya. Sebagai contoh antara 1970-1975, MITI mengumpulkan industri elektronika dan memberikan pendanaan dalam penguasaan teknologi integrated circuit (IC). Ketika kompetisi dengan produk Jepang, Amerika menjuluki sedang berhadapan dengan Japanese Incorporated, bukan berhadapan dengan satu industri.
Korea: Sea Jin Chang (2003) dalam bukunya memaparkan, industri Korea tidak terlepas dari peran lima konglomerat besar (Chaebol), yaitu Hyundai, Daewoo, SK, Samsung, dan LG. Kebijakan industrinya dikenal dengan “export first”, yaitu mengarahkan industrinya untuk orientasi ekspor. Kebijakan industrinya mendapat arahan langsung dari presiden.
Pada 1973 Presiden Park mencanangkan kebijakan Heavy and Chemical Industrialization (HCI) dengan target industri permesinan, perkapalan, listrik, baja, petrokimia, dan non-ferrous metal. Korea dalam waktu singkat menguasai industri dan teknologi, elektronika dan komunikasi, automotif, perkapalan dan industri berat lainnya.
China: Industrialisasi China dimulai pada 1978 ketika Deng Xioping membuka diri dengan dunia luar, dan pada 1992 melakukan reformasi kebijakan investasi. Pemerintah China agresif mendorong Kementerian Perindustrian dan BUMN melakukan reverse engineering dan membuat kebijakan transfer teknologi dengan perusahaan multinasional. Sebagai contoh penguasaan teknologi kereta api cepat, pada 2004 Kementerian Kereta Api menandatangani kontrak dengan Alstom. Selanjutnya pada 2005 menandatangani kontrak kembali dengan Siemens dengan perjanjian transfer teknologi.
Di samping itu, untuk akselerasi transfer teknologi, pemerintah menggunakan kendaraan BUMN berinvestasi dan membentuk banyak perusahaan joint venture antara BUMN dengan perusahaan multinasional. Kita sudah merasakan produk China, komputer, handphone, pembangkit listrik, automotif, peralatan rumah tangga, sampai kereta cepat Jakarta-Bandung.
Terobosan Kebijakan
Becermin dari pengalaman negara lain, teknologi berkesinambungan dikuasai dan direbut, dan inovasi terus-menerus. Karena itu, berharap Kementrian Perindustrian, Perdagangan, dan BUMN menata ulang peta jalan kemandirian dalam produksi barang modal dan bahan baku/penolong untuk substitusi impor.