Keadilan Pembiayaan bagi Nelayan Kecil
loading...
A
A
A
Dani Setiawan
Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Pengajar FISIP UIN Jakarta
Meskipun perikanan skala kecil di Indonesia memiliki potensi yang besar dan dalam banyak hal lebih berkelanjutan, posisinya dalam struktur perekonomian masih marginal. Perikanan skala kecil pada posisi yang dirugikan ketika bersaing untuk mendapatkan sumber daya perikanan dan akses pasar dengan armada perikanan besar. Jumlah armada kapal perikanan skala kecil yang dominan tidak lantas mendapat prioritas dalam kebijakan.
Posisi superior dalam hal populasi sering hanya menjadi momen perayaan. Umbul-umbul janji untuk menghadirkan kesejahteraan kerap dikibarkan hingga menambah ornamen dalam setiap perhelatan panggung kekuasaan. Banyak agenda digelar, tetapi eksekusi adalah satu masalah akut yang kerap menjangkiti para pengambil kebijakan. Salah satu persoalan yang dihadapi nelayan kecil adalah kurangnya informasi dan akses pembiayaan. Satu topik yang terus dibicarakan, tetapi belum terlihat kemajuan yang menggembirakan. Hambatan pembiayaan penangkapan ikan merupakan usaha yang padat modal. Kebutuhannya mencakup modal produksi (pembelian kapal, mesin beserta alat tangkap), modal operasional (biaya melaut seperti membeli BBM, perbekalan, dll) serta untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saat nelayan mengalami paceklik. Pada waktu-waktu tertentu nelayan juga harus menyisihkan dana untuk memperbaiki kapal, mesin atau alat tangkap yang rusak.
Di sisi lain penghasilan nelayan cenderung fluktuatif, tidak pasti, dan pola kerja mereka cenderung spekulatif serta berisiko tinggi. Ketika hasil tangkapan banyak, penghasilan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, membayar cicilan utang berbunga tinggi, dan sebagian kecil untuk tabungan biaya pendidikan, kesehatan, dan lainnya meskipun tidak sedikit nelayan yang cenderung boros dan konsumtif. Ketika hasil tangkapan sedikit atau tidak ada sama sekali, nelayan mengalami kesulitan keuangan dan terpaksa meminjam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dalam struktur sosial-ekonomi masyarakat nelayan semacam ini, kedudukan pengepul, tengkulak, atau pedagang ikan sangat penting dalam dinamika sosial-budaya masyarakat setempat. Mereka berfungsi sebagai “lembaga kredit informal” bagi nelayan yang menyediakan kebutuhan modal produksi, biaya operasional, dan bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hubungan ekonomi antara nelayan-tengkulak ini sering menjadi sasaran kritik karena cenderung eksploitatif. Kewajiban menjual hasil tangkapan kepada pemberi dana dengan harga yang tidak elastis hingga penerapan bunga cicilan yang memberatkan.
Namun pilihan nelayan amat terbatas. Pola kredit perbankan konvensional yang menerapkan suku bunga yang tetap dan keteraturan angsuran kurang cocok dengan pola pendapatan nelayan yang cenderung tidak pasti dan tidak tetap. Perbankan sendiri masih ragu menyalurkan kredit dengan melihat tiga potensi risiko sektor kelautan dan perikanan. Pertama, risiko strategis seperti minimnya jumlah usaha perikanan dan terintegrasi dari hulu ke hilir serta mekanisme transaksi di hulu yang sebagian besar masih bersifat tunai. Kedua, risiko operasional, yaitu karakteristik produk usaha kelautan dan perikanan yang bersifat mudah rusak dan siklus usaha bergantung pada faktor alam. Ketiga, risiko kredit dan permasalahan legalitas. Hal ini antara lain mencakup pemenuhan persyaratan formal perbankan (agunan dan asuransi kredit serta kerugian), siklus usaha yang fluktuatif sehingga memengaruhi pembayaran, dll. Keengganan perbankan melakukan ekspansi pembiayaan kepada nelayan juga semakin menutup peluang mereka untuk melakukan alih teknologi penangkapan yang membutuhkan biaya besar. Akibatnya nelayan tetap berkutat pada penggunaan kapal kecil dan alat penangkapan ikan yang sederhana. Padahal semakin baik teknologi yang dapat dimanfaatkan, semakin besar kemungkinan usaha penangkapan ikan berkembang lebih baik. Oleh karenanya kepadatan di wilayah penangkapan ikan, khususnya di bawah 5 mil, menjadi tidak bisa dihindari. Ditambah lagi keberadaan sumber daya perikanan yang semakin terbatas di wilayah ini akan menyebabkan pendapatan nelayan juga semakin berkurang.
Minimnya akses nelayan kepada sektor perbankan ini dapat dilihat dalam potret penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Porsi penyaluran KUR pada 2020 berdasarkan sektor, yang terbesar disalurkan di sektor perdagangan (42,8%), disusul sektor pertanian (29,3%) dan sektor jasa (15,1%). Sementara itu proporsi sektor perikanan hanya sekitar 1,9% atau sekitar Rp3,8 triliun. Secara keseluruhan, berdasarkan data triwulan III 2020 total penyaluran kredit berdasarkan lapangan usaha sebagian besar masih didominasi sektor perdagangan besar dan eceran serta sektor industri pengolahan dengan porsi masing-masing sebesar 17,01% dan 16,57%. Adapun sektor perikanan hanya sekitar 0,28% dari total penyaluran kredit sebesar Rp5.290 triliun (OJK, 2020).
Inovasi Pembiayaan
Persoalan ini merupakan tantangan yang harus dijawab bersama. Kita mafhum, pemerintah telah berupaya menggali berbagai strategi untuk menjawab persoalan ini. Sejak 1980-an pemerintah telah merancang program untuk membuat skema kredit khusus bagi nelayan, tetapi banyak mengalami kegagalan karena nelayan tidak mampu menyelesaikan pembayaran. Salah satu inisiatif baru yang digulirkan sejak 2015 adalah Program Jaring (Jangkau, Sinergi, dan Guideline), yaitu program inisiatif OJK dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam pembiayaan sektor kelautan dan perikanan. Dari data yang disajikan OJK, program ini mengalami tren positif meskipun secara nominal belum signifikan jumlahnya.
Peluang besar sebenarnya ada pada skema pembiayaan mikro dan kecil non-perbankan yang dianggap lebih mudah diakses nelayan. Salah satunya melalui Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU-LPMUKP) di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan. N amun skema pembiayaan ini juga masih menyisakan banyak persoalan di lapangan. Nelayan banyak mengeluhkan model analisis kelayakan kredit lembaga ini lebih mirip standard operating procedure (SOP) perbankan konvensional sehingga tetap menyulitkan nelayan kecil untuk mengakses pembiayaan.
Keberhasilan pembiayaan bagi nelayan kecil sangat ditentukan oleh kemampuan lembaga keuangan formal seperti perbankan melakukan inovasi strategi pembiayaan yang lebih adaptif. Juga mempromosikan pola pembiayaan yang lebih fleksibel, kemampuan untuk merespons perubahan, dan mampu beradaptasi sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Promosi dan sosialisasi informasi harus menjadi bagian integral dari penguatan infrastruktur institusi perbankan yang menjangkau luas hingga ke kampung-kampung nelayan. Sejalan dengan itu nelayan juga harus memiliki komitmen untuk terus meningkatkan kapasitas usahanya sehingga membantu perbankan memahami karakteristik usaha yang dijalankan. Hal tersebut dapat dilakukan, misalnya memperbaiki manajemen keuangan keluarga, membuat pencatatan data produksi penangkapan perikanan, hingga penerapan best handling practices (cara-cara penanganan ikan hasil tangkapan yang baik). Dalam hal ini organisasi nelayan, penyuluh atau koperasi perikanan dapat mengambil peran untuk melakukan pendidikan dan pendampingan di lapangan.
Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Pengajar FISIP UIN Jakarta
Meskipun perikanan skala kecil di Indonesia memiliki potensi yang besar dan dalam banyak hal lebih berkelanjutan, posisinya dalam struktur perekonomian masih marginal. Perikanan skala kecil pada posisi yang dirugikan ketika bersaing untuk mendapatkan sumber daya perikanan dan akses pasar dengan armada perikanan besar. Jumlah armada kapal perikanan skala kecil yang dominan tidak lantas mendapat prioritas dalam kebijakan.
Posisi superior dalam hal populasi sering hanya menjadi momen perayaan. Umbul-umbul janji untuk menghadirkan kesejahteraan kerap dikibarkan hingga menambah ornamen dalam setiap perhelatan panggung kekuasaan. Banyak agenda digelar, tetapi eksekusi adalah satu masalah akut yang kerap menjangkiti para pengambil kebijakan. Salah satu persoalan yang dihadapi nelayan kecil adalah kurangnya informasi dan akses pembiayaan. Satu topik yang terus dibicarakan, tetapi belum terlihat kemajuan yang menggembirakan. Hambatan pembiayaan penangkapan ikan merupakan usaha yang padat modal. Kebutuhannya mencakup modal produksi (pembelian kapal, mesin beserta alat tangkap), modal operasional (biaya melaut seperti membeli BBM, perbekalan, dll) serta untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saat nelayan mengalami paceklik. Pada waktu-waktu tertentu nelayan juga harus menyisihkan dana untuk memperbaiki kapal, mesin atau alat tangkap yang rusak.
Di sisi lain penghasilan nelayan cenderung fluktuatif, tidak pasti, dan pola kerja mereka cenderung spekulatif serta berisiko tinggi. Ketika hasil tangkapan banyak, penghasilan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, membayar cicilan utang berbunga tinggi, dan sebagian kecil untuk tabungan biaya pendidikan, kesehatan, dan lainnya meskipun tidak sedikit nelayan yang cenderung boros dan konsumtif. Ketika hasil tangkapan sedikit atau tidak ada sama sekali, nelayan mengalami kesulitan keuangan dan terpaksa meminjam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dalam struktur sosial-ekonomi masyarakat nelayan semacam ini, kedudukan pengepul, tengkulak, atau pedagang ikan sangat penting dalam dinamika sosial-budaya masyarakat setempat. Mereka berfungsi sebagai “lembaga kredit informal” bagi nelayan yang menyediakan kebutuhan modal produksi, biaya operasional, dan bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hubungan ekonomi antara nelayan-tengkulak ini sering menjadi sasaran kritik karena cenderung eksploitatif. Kewajiban menjual hasil tangkapan kepada pemberi dana dengan harga yang tidak elastis hingga penerapan bunga cicilan yang memberatkan.
Namun pilihan nelayan amat terbatas. Pola kredit perbankan konvensional yang menerapkan suku bunga yang tetap dan keteraturan angsuran kurang cocok dengan pola pendapatan nelayan yang cenderung tidak pasti dan tidak tetap. Perbankan sendiri masih ragu menyalurkan kredit dengan melihat tiga potensi risiko sektor kelautan dan perikanan. Pertama, risiko strategis seperti minimnya jumlah usaha perikanan dan terintegrasi dari hulu ke hilir serta mekanisme transaksi di hulu yang sebagian besar masih bersifat tunai. Kedua, risiko operasional, yaitu karakteristik produk usaha kelautan dan perikanan yang bersifat mudah rusak dan siklus usaha bergantung pada faktor alam. Ketiga, risiko kredit dan permasalahan legalitas. Hal ini antara lain mencakup pemenuhan persyaratan formal perbankan (agunan dan asuransi kredit serta kerugian), siklus usaha yang fluktuatif sehingga memengaruhi pembayaran, dll. Keengganan perbankan melakukan ekspansi pembiayaan kepada nelayan juga semakin menutup peluang mereka untuk melakukan alih teknologi penangkapan yang membutuhkan biaya besar. Akibatnya nelayan tetap berkutat pada penggunaan kapal kecil dan alat penangkapan ikan yang sederhana. Padahal semakin baik teknologi yang dapat dimanfaatkan, semakin besar kemungkinan usaha penangkapan ikan berkembang lebih baik. Oleh karenanya kepadatan di wilayah penangkapan ikan, khususnya di bawah 5 mil, menjadi tidak bisa dihindari. Ditambah lagi keberadaan sumber daya perikanan yang semakin terbatas di wilayah ini akan menyebabkan pendapatan nelayan juga semakin berkurang.
Minimnya akses nelayan kepada sektor perbankan ini dapat dilihat dalam potret penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Porsi penyaluran KUR pada 2020 berdasarkan sektor, yang terbesar disalurkan di sektor perdagangan (42,8%), disusul sektor pertanian (29,3%) dan sektor jasa (15,1%). Sementara itu proporsi sektor perikanan hanya sekitar 1,9% atau sekitar Rp3,8 triliun. Secara keseluruhan, berdasarkan data triwulan III 2020 total penyaluran kredit berdasarkan lapangan usaha sebagian besar masih didominasi sektor perdagangan besar dan eceran serta sektor industri pengolahan dengan porsi masing-masing sebesar 17,01% dan 16,57%. Adapun sektor perikanan hanya sekitar 0,28% dari total penyaluran kredit sebesar Rp5.290 triliun (OJK, 2020).
Inovasi Pembiayaan
Persoalan ini merupakan tantangan yang harus dijawab bersama. Kita mafhum, pemerintah telah berupaya menggali berbagai strategi untuk menjawab persoalan ini. Sejak 1980-an pemerintah telah merancang program untuk membuat skema kredit khusus bagi nelayan, tetapi banyak mengalami kegagalan karena nelayan tidak mampu menyelesaikan pembayaran. Salah satu inisiatif baru yang digulirkan sejak 2015 adalah Program Jaring (Jangkau, Sinergi, dan Guideline), yaitu program inisiatif OJK dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam pembiayaan sektor kelautan dan perikanan. Dari data yang disajikan OJK, program ini mengalami tren positif meskipun secara nominal belum signifikan jumlahnya.
Peluang besar sebenarnya ada pada skema pembiayaan mikro dan kecil non-perbankan yang dianggap lebih mudah diakses nelayan. Salah satunya melalui Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU-LPMUKP) di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan. N amun skema pembiayaan ini juga masih menyisakan banyak persoalan di lapangan. Nelayan banyak mengeluhkan model analisis kelayakan kredit lembaga ini lebih mirip standard operating procedure (SOP) perbankan konvensional sehingga tetap menyulitkan nelayan kecil untuk mengakses pembiayaan.
Keberhasilan pembiayaan bagi nelayan kecil sangat ditentukan oleh kemampuan lembaga keuangan formal seperti perbankan melakukan inovasi strategi pembiayaan yang lebih adaptif. Juga mempromosikan pola pembiayaan yang lebih fleksibel, kemampuan untuk merespons perubahan, dan mampu beradaptasi sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Promosi dan sosialisasi informasi harus menjadi bagian integral dari penguatan infrastruktur institusi perbankan yang menjangkau luas hingga ke kampung-kampung nelayan. Sejalan dengan itu nelayan juga harus memiliki komitmen untuk terus meningkatkan kapasitas usahanya sehingga membantu perbankan memahami karakteristik usaha yang dijalankan. Hal tersebut dapat dilakukan, misalnya memperbaiki manajemen keuangan keluarga, membuat pencatatan data produksi penangkapan perikanan, hingga penerapan best handling practices (cara-cara penanganan ikan hasil tangkapan yang baik). Dalam hal ini organisasi nelayan, penyuluh atau koperasi perikanan dapat mengambil peran untuk melakukan pendidikan dan pendampingan di lapangan.
(war)