Yusril Nilai Kecil Kemungkinan MPR Amandemen UUD 1945 Jabatan Presiden 3 Periode
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra berpendapat amandemen UUD 194 5 untuk menjadikan masa jabatan presiden tiga periode sangat kecil kemungkinannya. Saat ini, masa jabatan Kepala Negara sudah diatur maksimal dua periode tanpa ada tafsir lain lagi.
Yusril mengatakan ketentuan dalam Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen yang mengatakan “Presiden dan Wakil Presiden memagang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali” memang bersifat multi tafsir.
Di masa Presiden Soekarno jabatan itu dipegang lebih dari sepuluh tahun. Lalu di masa Presiden Soeharto bahkan lebih dari 30 tahun, setelah dipilih kembali setiap lima tahun tanpa ada batasnya. Kemudian di era Reformasi, norma Pasal 9 UUD 1945 itu diamandemen sehingga berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
"Dengan amandemen pertama UUD 45 (1999) yang mengubah ketentuan Pasal 7 UUD 45, maka sifat multi tafsir itu menjadi hilang. Presiden dan Wakil Presiden hanya menjabat maksimum dua kali peiode jabatan, yakni selama 10 tahun. Tidak ada tafsir lain lagi," ujar Yusril melalui keterangannya kepada MNC Portal, Senin 15 Maret 2021.
Dengan perubahan itu, kata dia, maka mustahil akan ada seorang presiden memegang jabatannya sampai tiga periode, kecuali lebih dahulu dilakukan amandemen terhadap ketentuan Pasal 7 UUD 45 tersebut.
Yusril menerangkan perubahan UUD memang bisa terjadi melalui “konvensi ketatanegaran”. Teks sebuah pasal tidak berubah tetapi praktiknya berbeda dengan apa yang diatur di dalam teks. Contohnya adalah ketika sistem pemerintahan Indonesia berubah dalam praktik dari sistem presidensial ke sistem parlementer pada Oktober 1945.
"Perubahan itu dilakukan tanpa amandemen UUD, namun dalam praktiknya perubahan itu berjalan dan diterima oleh rakyat," jelasnya.
Menurut Yusril, di zaman sekarang nampaknya akan sulit untuk menciptakan konvensi semacam itu, mengingat banyak faktor antara lain trauma langgengnya kekuasaan di tangan satu orang dan derasnya suara oposisi, baik di dalam badan-badan perwakilan maupun di luarnya.
"Apalagi di zaman kebebasan berekspresi dan kebebasan media sekarang ini, penolakan masa jabatan presiden menjadi tiga periode berdasarkan konvensi akan menghadapi tantangan yang cukup berat," kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu.
Alasan lain sulitnya menciptakan konvensi ketatanegaraan mengenai penambahan masa jabatan presiden ialah adanya Mahkamah Konstitusi (MK) yang melalui proses uji materil, bisa menilai apakah tindakan penyelenggara negara konstitusional atau tidak.
Yusril mengatakan ketentuan dalam Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen yang mengatakan “Presiden dan Wakil Presiden memagang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali” memang bersifat multi tafsir.
Di masa Presiden Soekarno jabatan itu dipegang lebih dari sepuluh tahun. Lalu di masa Presiden Soeharto bahkan lebih dari 30 tahun, setelah dipilih kembali setiap lima tahun tanpa ada batasnya. Kemudian di era Reformasi, norma Pasal 9 UUD 1945 itu diamandemen sehingga berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
"Dengan amandemen pertama UUD 45 (1999) yang mengubah ketentuan Pasal 7 UUD 45, maka sifat multi tafsir itu menjadi hilang. Presiden dan Wakil Presiden hanya menjabat maksimum dua kali peiode jabatan, yakni selama 10 tahun. Tidak ada tafsir lain lagi," ujar Yusril melalui keterangannya kepada MNC Portal, Senin 15 Maret 2021.
Dengan perubahan itu, kata dia, maka mustahil akan ada seorang presiden memegang jabatannya sampai tiga periode, kecuali lebih dahulu dilakukan amandemen terhadap ketentuan Pasal 7 UUD 45 tersebut.
Yusril menerangkan perubahan UUD memang bisa terjadi melalui “konvensi ketatanegaran”. Teks sebuah pasal tidak berubah tetapi praktiknya berbeda dengan apa yang diatur di dalam teks. Contohnya adalah ketika sistem pemerintahan Indonesia berubah dalam praktik dari sistem presidensial ke sistem parlementer pada Oktober 1945.
"Perubahan itu dilakukan tanpa amandemen UUD, namun dalam praktiknya perubahan itu berjalan dan diterima oleh rakyat," jelasnya.
Menurut Yusril, di zaman sekarang nampaknya akan sulit untuk menciptakan konvensi semacam itu, mengingat banyak faktor antara lain trauma langgengnya kekuasaan di tangan satu orang dan derasnya suara oposisi, baik di dalam badan-badan perwakilan maupun di luarnya.
"Apalagi di zaman kebebasan berekspresi dan kebebasan media sekarang ini, penolakan masa jabatan presiden menjadi tiga periode berdasarkan konvensi akan menghadapi tantangan yang cukup berat," kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu.
Alasan lain sulitnya menciptakan konvensi ketatanegaraan mengenai penambahan masa jabatan presiden ialah adanya Mahkamah Konstitusi (MK) yang melalui proses uji materil, bisa menilai apakah tindakan penyelenggara negara konstitusional atau tidak.