KPK Sita Uang Rp52,3 Miliar Terkait Kasus Edhy Prabowo
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang tunai sebesar Rp52,3 miliar terkait kasus suap terkait perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020 alias suap ekspor benur.
"Jadi hari ini tim penyidik KPK melakukan penyitaan aset berupa uang cash atau uang tunai sebesar Rp52,3 miliar," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Senin (15/3/2021).
Uang tersebut disita dari para eksportir benih bening lobster. "Diduga berasal dari para eksportir yang telah mendapatkan izin dari KKP untuk melakukan ekspor benih lobster tahun 2020," kata Ali.
Baca juga: Diduga Hasil Suap Benih Lobster, KPK Sita Rumah Stafsus Edhy Prabowo di Cikarang
Ali menjelaskan alasan penyitaan duit tersebut karena tersangka Edhy Prabowo sebelumnya memerintahkan Sekretaris Jenderal Kementrian Kelautan dan Perikanan agar membuat surat perintah tertulis terkait dengan penarikan jaminan bank dari para eksportir kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM).
"Kemudian Kepala BKIPM memerintahkan Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno Hatta untuk menerima bank garansi dari masing-masing eksportir yang dapat izin tersebut," ungkap Ali.
Baca juga: Tolak Percepat Izin Ekspor Benur, Dirjen Perikanan Tangkap KKP Dilaporkan ke Edhy Prabowo
Diketahui, KPK telah menetapkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo sebagai tersangka penerima suap terkait perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020 alias suap ekspor benur.
Selain Edhy, KPK juga telah menetapkan enam tersangka lainnya dalam kasus ini. Mereka adalah Stafsus Menteri KKP Safri dan Andreau Pribadi Misata (APM). Kemudian, Pengurus PT ACK Siswadi (SWD), Staf Istri Menteri KKP Ainul Faqih (AF) dan Amiril Mukminin (AM). Sementara, satu tersangka pemberi suap yakni Direktur PT DPP Suharjito (SJT).
Edhy bersama Safri, Andreau Pribadi Misanta, Siswadi, Ainul Faqih, dan Amril Mukminin diduga menerima suap sebesar Rp 10,2 miliar dan USD 100 ribu dari Suharjito. Suap tersebut diberikan agar Edhy memberikan izin kepada PT Dua Putra Perkasa Pratama untuk menerima izin sebagai eksportir benur.
Perusahaan Suharjito telah 10 kali mengirim benih lobster dengan menggunakan jasa PT Aero Citra Kargo (PT ACK). Untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT Aero Citra Kargo dengan biaya angkut Rp1.800/ekor.
Baca juga: Selain Rumah, Duit Suap Benur Diduga juga Mengalir ke Perusahaan Edhy Prabowo
Diduga upaya suap itu dimulai dengan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster yang diterbitkan Edhy pada 14 Mei 2020.
Sebagian uang suap tersebut digunakan oleh Edhy dan istrinya Iis Rosyati Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020. Sekitar Rp750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton serta baju Old Navy.
Atas perbuatannya, para penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan sebagai pemberi suap, SJT disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
"Jadi hari ini tim penyidik KPK melakukan penyitaan aset berupa uang cash atau uang tunai sebesar Rp52,3 miliar," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Senin (15/3/2021).
Uang tersebut disita dari para eksportir benih bening lobster. "Diduga berasal dari para eksportir yang telah mendapatkan izin dari KKP untuk melakukan ekspor benih lobster tahun 2020," kata Ali.
Baca juga: Diduga Hasil Suap Benih Lobster, KPK Sita Rumah Stafsus Edhy Prabowo di Cikarang
Ali menjelaskan alasan penyitaan duit tersebut karena tersangka Edhy Prabowo sebelumnya memerintahkan Sekretaris Jenderal Kementrian Kelautan dan Perikanan agar membuat surat perintah tertulis terkait dengan penarikan jaminan bank dari para eksportir kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM).
"Kemudian Kepala BKIPM memerintahkan Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno Hatta untuk menerima bank garansi dari masing-masing eksportir yang dapat izin tersebut," ungkap Ali.
Baca juga: Tolak Percepat Izin Ekspor Benur, Dirjen Perikanan Tangkap KKP Dilaporkan ke Edhy Prabowo
Diketahui, KPK telah menetapkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo sebagai tersangka penerima suap terkait perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020 alias suap ekspor benur.
Selain Edhy, KPK juga telah menetapkan enam tersangka lainnya dalam kasus ini. Mereka adalah Stafsus Menteri KKP Safri dan Andreau Pribadi Misata (APM). Kemudian, Pengurus PT ACK Siswadi (SWD), Staf Istri Menteri KKP Ainul Faqih (AF) dan Amiril Mukminin (AM). Sementara, satu tersangka pemberi suap yakni Direktur PT DPP Suharjito (SJT).
Edhy bersama Safri, Andreau Pribadi Misanta, Siswadi, Ainul Faqih, dan Amril Mukminin diduga menerima suap sebesar Rp 10,2 miliar dan USD 100 ribu dari Suharjito. Suap tersebut diberikan agar Edhy memberikan izin kepada PT Dua Putra Perkasa Pratama untuk menerima izin sebagai eksportir benur.
Perusahaan Suharjito telah 10 kali mengirim benih lobster dengan menggunakan jasa PT Aero Citra Kargo (PT ACK). Untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT Aero Citra Kargo dengan biaya angkut Rp1.800/ekor.
Baca juga: Selain Rumah, Duit Suap Benur Diduga juga Mengalir ke Perusahaan Edhy Prabowo
Diduga upaya suap itu dimulai dengan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster yang diterbitkan Edhy pada 14 Mei 2020.
Sebagian uang suap tersebut digunakan oleh Edhy dan istrinya Iis Rosyati Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020. Sekitar Rp750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton serta baju Old Navy.
Atas perbuatannya, para penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan sebagai pemberi suap, SJT disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
(zik)