Membedah Argumen TP3 Tentang KM 50

Sabtu, 13 Maret 2021 - 14:56 WIB
loading...
Membedah Argumen TP3...
Alto Labetubun Analis Konflik dan Keamanan. Foto/Ist
A A A
Alto Labetubun
Analis Konflik dan Keamanan

DALAM wawancara yang dilakukan oleh sebuah media digital, Abdullah Hehamahua dari Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Laskar FPI mengungkapkan beberapa hal yang, menurut TP3, mengindikasikan terjadinya pelanggaran HAM berat. Saya mencoba membedah argument-argumen dimaksud, namun karena tidak ikut melakukan olah TKP atau melihat barang bukti maka saya akan membedah berdasarkan pengalaman pribadi bekerja di daerah perang selama hampir 20 tahun.

Argumen TP3: Proses surveillance (SV) kenapa ketahuan? Kenapa tidak memakai mobil dinas? Reaksi gerombolan FPI untuk melawan karena disalip mobil tidak dikenal di malam hari adalah wajar, karena sedang mengawal pemimpinnya;

Jawab: Tidak semua tugas SV hanya untuk pengumpulan bahan keterangan (PulBaKet) saja. Ada juga tugas-tugas penindakan yang dimulai dengan penguntitan/pemantauan. Apalagi jika sasarannya adalah sasaran yang bergerak.

Hal di atas berbeda jika operasi yang dilakukan adalah operasi ambush/pendadakan di mana target/sasaran sudah ditunggu di titik tertentu, kemudian peta geraknya udah dipantau di beberapa checkpoints yang sudah disiapkan terlebih dulu berdasarkan hasil analisis pola pergerakan sasaran.

Jadi, untuk mengetahui apakah misi Polisi dimaksud hanya SV saja atau memang operasi tangkap maka tinggal melihat surat tugasnya saja. Pasti ada tertulis jelas di situ apakah itu operasi SV atau operasi penangkapan.

Kemudian soal reaksi orang yang dipepet mobil di malam hari di tol adalah melawan, menurutku itu asumsi yang sengaja dimainkan oleh TP3. Bahkan TP3 sendiri mengeluarkan pernyataan kontradiktif dengan mengatakan bahwa: mereka akan menyalahkan gerombolan FPI jika melawan polisi yang menyetop mereka dengan mobil dinas, tapi di pernyataan lain TP3 mengatakan bahwa gerombolan FPI tersebut akan melakukan apa saja untuk mengawal MRS.

Ini kontradiktif karena banyak rekam jejak FPI yang melawan petugas berpakaian dinas. Disamping itu, TP3 pun tidak akan mampu menjamin bahwa jikalau malam itu polisi memberhentikan gerombolan FPI dengan memakai mobil dinas, maka gerombolan tersebut tidak akan melawan.

Jawaban dari ini sebenarnya simple yaitu dengan mewawancarai saksi yang ada untuk mengetahui apakah polisi memperkenalkan diri - bahwa mereka adalah aparat penegak hukum/anggota Polri - pada saat memberhentikan mobil gerombolan FPI dimaksud.

Argumen TP3: Logika jika FPI merampas pistol dari Polisi, kenapa polisi tidak tertembak, padahal kalau merampas berarti berhadapan.

Jawab: Banyak faktor yang bisa terjadi. Apakah dalam merampas itu intent-nya untuk menembak balik anggota polisi? Kalau memang intent-nya untuk menembak, apakah memang penguasaan senjata api dari gerombolan FPI itu udah jago sehingga mereka bisa dengan cepat melakukan "Tap, rack, Bang"?

Jadi, merampas pistol tidak otomatis membuat si pelaku bisa menembak orang yang pistol/senjata apinya dirampas tadi. Ini argumen yang lemah.

Argumen TP3: Kenapa 4 orang yang diturunkan dari mobil SV ke mobil Polisi tidak diborgol, padahal Polisi seharusnya tahu bahwa mereka penjahat. Bisa jadi ada kesalahan SOP saat proses transfer dimaksud. Ini harus jadi bahan evaluasi internal kepolisian.

Argumen TP3: Komnas HAM menemukan selongsong peluru. Bagaimana Komnas HAM tahu bahwa itu selongsong peluru dari Polisi, dan dari FPI?

Identifikasi senjata itu bisa dilakukan dari anak peluru maupun selongsong peluru. A fired bullet and a fire cartridge punya marking yang khas dengan senjata tertentu. Untuk selongsong, bisa dilihat dari goresan di selongsong, bisa juga di primer di pantat peluru. Jadi uji balistik bisa menentukan hal dimaksud.

Kesimpulan:

Apa yang dimuat sebagai 'pertanyaan' dan indikasi bahwa terjadi pembunuhan gerombolan FPI secara terstruktur, menurut beta terlalu lemah. Jadi akan sulit dibuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat dari apa yang menjadi argument dari TP3.

Satu hal yang penting diingat adalah tidak ada Operasi bersenjata yang berlangsung 100% sama dengan Rencana Operasi, karena dinamika di lapangan tidak pernah bisa disimulasi 100%. Dalam operasi militer dikenal dengan istilah "Fog of War".
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2284 seconds (0.1#10.140)