Kisah WNI, Keputusan Sulit Pulang ke Tanah Air hingga Dikarantina Satu Keluarga (Bagian 1)
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kisah warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri dan memutuskan pulang ke Tanah Air saat pandemi diunggah oleh akun Twitter @andiazhar_. Unggahan tersebut menarik lantaran mengangkat kisah perjalanan satu keluarga yang rela mengorbankan masa depannya serta mengorbankan harta dan tenaganya mengikuti semua proses karantina di Wisma Atlet.
Kisah tersebut diceritakan oleh Andi Azhar yang juga dipublikasikan di situs pribadinya andiazhar.com. Dikutip dari cerita itu, kisah mereka dimulai dengan beratnya pengambilan keputusan untuk kembali ke Indonesia.
Dia dan istri terlibat diskusi panjang, hampir setiap malam selama beberapa bulan terakhir. Banyak faktor yang menjadi pertimbangan mereka beradu argumen mencari jalan terbaik tentang permasalahan apakah harus tinggal di Taiwan atau pulang saja ke Indonesia.
Sebabnya, saat itu dia sebenarnya tinggal menunggu waktu saja untuk melengkapi persyaratan agar bisa sidang akhir. Sehingga keputusan berat mesti diambil untuk memilih kembali ke Indonesia sebagai sebuah mufakat bersama. Banyak pihak yang menyayangkan keputusan kami ini, termasuk dekan-dekan dan profesor di kampusnya yang sampai marah karena dirinya memutuskan pulang.
“Tidak, Prof. Ada beberapa hal pokok yang menjadi pertimbangan kami, seperti lingkungan sosial untuk bayi kami dan lain-lain," kenang Andi menjawab pertanyaan prosesornya yang menyayangkan kepulangannya ke Indonesia.
Tanggal 2 Maret lalu, akhirnya dia berpamitan pulang ke Indonesia melalui pesan WhatsApp. Mereka pun akhirnya mengalah dan menerima keputusan untuk kembali ke Indonesia. Tanggal 3 Maret mereka berempat berangkat menuju Indonesia dengan barang bawaan berupa satu stroller besar anak kembarnya, dua koper besar, tas jinjing, dua tas ransel, dan tas laptop.
"Ditambah saya dan istri masing-masing menggendong bayi karena anak kami kembar. Dari sinilah cerita ini dimulai," cerita dia.
Dia berangkat pukul 3 subuh dari rumah kontrakan di Kota Chiayi, Taiwan menggunakan sebuah mobil yang khusus disewa untuk mengantarkannya ke bandara. Mobil tersebut semacam taksi tidak resmi milik seorang kenalan dari teman.
Perjalanan dari Kota Chiayi menuju bandara internasional Taoyuan memakan waktu kurang lebih tiga jam.
Pukul 6 pagi sampai di bandara dan langsung menuju tempat untuk check in. Saat check in, dia dan keluarga diminta untuk mendownload aplikasi eHAC sebagai salah satu syarat agar bisa masuk wilayah Indonesia di masa pandemi.
Kisah tersebut diceritakan oleh Andi Azhar yang juga dipublikasikan di situs pribadinya andiazhar.com. Dikutip dari cerita itu, kisah mereka dimulai dengan beratnya pengambilan keputusan untuk kembali ke Indonesia.
Dia dan istri terlibat diskusi panjang, hampir setiap malam selama beberapa bulan terakhir. Banyak faktor yang menjadi pertimbangan mereka beradu argumen mencari jalan terbaik tentang permasalahan apakah harus tinggal di Taiwan atau pulang saja ke Indonesia.
Sebabnya, saat itu dia sebenarnya tinggal menunggu waktu saja untuk melengkapi persyaratan agar bisa sidang akhir. Sehingga keputusan berat mesti diambil untuk memilih kembali ke Indonesia sebagai sebuah mufakat bersama. Banyak pihak yang menyayangkan keputusan kami ini, termasuk dekan-dekan dan profesor di kampusnya yang sampai marah karena dirinya memutuskan pulang.
“Tidak, Prof. Ada beberapa hal pokok yang menjadi pertimbangan kami, seperti lingkungan sosial untuk bayi kami dan lain-lain," kenang Andi menjawab pertanyaan prosesornya yang menyayangkan kepulangannya ke Indonesia.
Tanggal 2 Maret lalu, akhirnya dia berpamitan pulang ke Indonesia melalui pesan WhatsApp. Mereka pun akhirnya mengalah dan menerima keputusan untuk kembali ke Indonesia. Tanggal 3 Maret mereka berempat berangkat menuju Indonesia dengan barang bawaan berupa satu stroller besar anak kembarnya, dua koper besar, tas jinjing, dua tas ransel, dan tas laptop.
"Ditambah saya dan istri masing-masing menggendong bayi karena anak kami kembar. Dari sinilah cerita ini dimulai," cerita dia.
Dia berangkat pukul 3 subuh dari rumah kontrakan di Kota Chiayi, Taiwan menggunakan sebuah mobil yang khusus disewa untuk mengantarkannya ke bandara. Mobil tersebut semacam taksi tidak resmi milik seorang kenalan dari teman.
Perjalanan dari Kota Chiayi menuju bandara internasional Taoyuan memakan waktu kurang lebih tiga jam.
Pukul 6 pagi sampai di bandara dan langsung menuju tempat untuk check in. Saat check in, dia dan keluarga diminta untuk mendownload aplikasi eHAC sebagai salah satu syarat agar bisa masuk wilayah Indonesia di masa pandemi.