5.227 Awak Media Divaksinasi dan Ikuti Diskusi Seputar Covid-19
loading...
A
A
A
Diskusi merekomendasikan upaya untuk mendiseminasi kebijakan kesehatan termasuk vaksin harus mampu menjangkau semua arah dan menggunakan pendekatan hybrid. Tidak semuanya dapat disosialisasikan hanya lewat media sosial misalnya. Jangan menggunakan Bahasa yang sangat tinggi. Semisal slogan 3M dibuat menjadi mangan, mangan, masker. Hal ini tidak merubah substansi, hanya memastikan bahwa masyarakat dapat cepat menerimanya. Pengalaman di dunia digital, judul yang dinilai “berat” dan “tinggi” biasanya memiliki pembaca yang sedikit.
Dibandingkan dengan pernyataan yang sederhana, akan memperoleh apresiasi yang luas dan besar. Di dunia media sosial, banyak orang yang dinilai tidak mungkin menyebarkan hoaks, justru menjadi penyebar hoaks, justru yang kemudian menyebarkannya, karena motifnya ialah ingin menginformasikan suatu informasi yang dinilai penting dan strategis seperti seputar vaksin.
Saat ini perlu didorong agar bukan hanya seseorang kemudian dapat memahami mana informasi yang benar mana yang hoaks, tetapi juga mampu menjadi agen yang siap menginformasikan kepada orang lain tentang kebenaran sebuah informasi. Hal ini memang tidak mudah dilakukanm, terutama di lingkungan keluarga sendiri. Peluang terjadi konflik di dalam keluarga memang besar.
Dibutuhkan strategi komunikasi yang memperhatikan adat ketimuran, yang mengedepankan sopan santun. Perlu menjadikan hasil studi Microsoft yang mengatakan bahwa netijen Indonesia yang tidak santun di Asia Tenggara.
Diskusi ini mengungkapkan tentang hal yang mendorong masyarakat terus mengkonsumsi hoaks.
Masyarakat secara umum tidak mampu membedakan antara pendapat (opini) dari ahli dengan testimoni. Masyarakat memiliki cara pandang bahwa bagaimana sebuah ilmu yang disebut dengan ilmu pasti, justru informasinya berubah-ubah. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak mengerti bahwa ilmu pengetahuan itu dinamis dan terus berkembang. Masyarakat juga memiliki pemahaman yang rendah bahwa ketika mereka menggunakan handphone atau kuota atau menaiki pesawat dan mobil, kesemuanya itu adalah hasil teknologi. Namun, teknologi vaksin, mereka tidak mempercayainya.
Selanjutnya, diskusi Digital Literacy Talks berjudul Strategi Kolaborasi Melawan Hoaks yang menghadirkan Anthonius Malau (Koordinator Pengendalian Konten Internet KemKominfo), Dewi Sari (Mafindo), Dr Andi Khomeni (KCPEN), dengan moderator Indriyatno Banyumurti (ICT Watch).
Diskusi ini mengungkapkan bahwa negara telah memiliki tim yang bekerja 24 jam penuh, 3 shift yang terdiri atas 90 orang, yang bertugas untuk memberikan label konten-konten yang melanggar peraturan perundang-undangan dengan sistem kecerdasan artifisial, lalu memberikan tautan kepada informasi yang benar, yang diproduksi oleh mitra-mitra Komimfo seperti media misalnya, hingga memutus akses. Hal ini penting dilakukan, mengingat masyarakat mengkonsumsi lima informasi hoaks tentang Covid dalam sehari.
Ini baru tentang Covid, belum ditambah informasi lain seperti politik, ekonomi, sosial, selebritis. Sejauh ini telah ada 122 kasus yang sedang diproses oleh Kepolisian terkait berita hoaks seputar Covid.
Dibandingkan dengan pernyataan yang sederhana, akan memperoleh apresiasi yang luas dan besar. Di dunia media sosial, banyak orang yang dinilai tidak mungkin menyebarkan hoaks, justru menjadi penyebar hoaks, justru yang kemudian menyebarkannya, karena motifnya ialah ingin menginformasikan suatu informasi yang dinilai penting dan strategis seperti seputar vaksin.
Saat ini perlu didorong agar bukan hanya seseorang kemudian dapat memahami mana informasi yang benar mana yang hoaks, tetapi juga mampu menjadi agen yang siap menginformasikan kepada orang lain tentang kebenaran sebuah informasi. Hal ini memang tidak mudah dilakukanm, terutama di lingkungan keluarga sendiri. Peluang terjadi konflik di dalam keluarga memang besar.
Dibutuhkan strategi komunikasi yang memperhatikan adat ketimuran, yang mengedepankan sopan santun. Perlu menjadikan hasil studi Microsoft yang mengatakan bahwa netijen Indonesia yang tidak santun di Asia Tenggara.
Diskusi ini mengungkapkan tentang hal yang mendorong masyarakat terus mengkonsumsi hoaks.
Masyarakat secara umum tidak mampu membedakan antara pendapat (opini) dari ahli dengan testimoni. Masyarakat memiliki cara pandang bahwa bagaimana sebuah ilmu yang disebut dengan ilmu pasti, justru informasinya berubah-ubah. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak mengerti bahwa ilmu pengetahuan itu dinamis dan terus berkembang. Masyarakat juga memiliki pemahaman yang rendah bahwa ketika mereka menggunakan handphone atau kuota atau menaiki pesawat dan mobil, kesemuanya itu adalah hasil teknologi. Namun, teknologi vaksin, mereka tidak mempercayainya.
Selanjutnya, diskusi Digital Literacy Talks berjudul Strategi Kolaborasi Melawan Hoaks yang menghadirkan Anthonius Malau (Koordinator Pengendalian Konten Internet KemKominfo), Dewi Sari (Mafindo), Dr Andi Khomeni (KCPEN), dengan moderator Indriyatno Banyumurti (ICT Watch).
Diskusi ini mengungkapkan bahwa negara telah memiliki tim yang bekerja 24 jam penuh, 3 shift yang terdiri atas 90 orang, yang bertugas untuk memberikan label konten-konten yang melanggar peraturan perundang-undangan dengan sistem kecerdasan artifisial, lalu memberikan tautan kepada informasi yang benar, yang diproduksi oleh mitra-mitra Komimfo seperti media misalnya, hingga memutus akses. Hal ini penting dilakukan, mengingat masyarakat mengkonsumsi lima informasi hoaks tentang Covid dalam sehari.
Ini baru tentang Covid, belum ditambah informasi lain seperti politik, ekonomi, sosial, selebritis. Sejauh ini telah ada 122 kasus yang sedang diproses oleh Kepolisian terkait berita hoaks seputar Covid.
(dam)