5.227 Awak Media Divaksinasi dan Ikuti Diskusi Seputar Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bertempat di Hall Basket Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Kementerian Kesehatan dan Dewan Pers, melaksanakan vaksinasi Covid-19 bagi awak media se-Jabodetabek. Vaksinasi selama tiga hari telah dilakukan terhadap 5.227 awak media.
Panitia tidak hanya memfasilitasi vaksin, namun juga mendesain berbagai diskusi, digital talks, yang harapannya akan menjadi tambahan bekal berita bagi awak media tentang upaya mensosialisasikan pengetahuan seputar pandemi dan vaksinasi, yang bersandar pada pilar-pilar literasi digital Indonesia yaitu Digital Skill, Digital Culture, Digital Ethic, Digital Safety, Digital Economy, dan Digital Society.
Digital literacy talks pertama bertajuk Peranan Aplikasi Tech Health dalam Pemenuhan Kebutuhan Kesehatan Mental selama Pandemi yang menghadirkan Adeline Hindarto (VP Government Relation & Public Affairs HaloDoc), Defryansyah Amin MPsi (psikolog), Atwirlany Ritonga (penyuluh sosial ahli madya Asdep Pelayanan bagi Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus Deputi Perlindungan Khusus Anak) dengan moderator Indriatno Banyumurti (ICT Watch).
Menurut para pembicara, pandemi telah mendorong bukan hanya peningkatan kasus kesehatan fisik tetapi juga kasus Kesehatan mental, khususnya anak menjadi semakin rentan. Ganguan mental yang diderita anak dapat terjadi akibat aksi kekerasan seksual.
Kekerasan seksual tidak berarti selalu terjadi kekerasan secara fisik. Mengirimkan materi-materi yang berisikan konten seksual, sudah termasuk dalam definisi kekerasan seksual. Dengan demikian, argumentasi bahwa anak menerima dengan "ikhlas" konten tersebut, sangatlah tidak tepat. Mengingat, anak secara psikologis masih dalam kondisi labil.
Di tengah pandemi, aktivitas fisik terbatas, kehadiran layanan tele-health telah menjadi salah satu solusi agar tanpa melakukan kontak fisik, kebutuhan akan Kesehatan dapat terpenuhi.
Efisiensi waktu dalam hal melakukan perjalanan ke layanan Kesehatan, juga antrean untuk dapat menerima layanan Kesehatan, dapat teratasi dengan teknologi IT. Yang menarik layanan tersebut, tidak hanya untuk Kesehatan fisik, tetapi sekarang juga untuk Kesehatan mental. Oleh karenanya kehadiran teknologi untuk dapat melayani selama 24 jam, menjadi sebuah pelayanan yang harus tersedia.
Tele-health yang melayani gangguan Kesehatan mental menjadi alternatif dari upaya mengatasi stigma bagi individu yang ingin mencari pertolongan ketika mengalami gangguan mental. Banyak individu yang enggan untuk berkonsultasi perihal gangguan mental yang dirasakan, karena khawatir, orang akan memberikan label bahwa dirinya orang sakit jiwa misalnya.
Padahal, salah satu first aid, pertolongan pertama ketika mengalami gejala gangguan mental seperti kecemasan, depresi, ialah dengan mencari wadah untuk mencurahkan apa yang dirasakan, sehingga ketegangan dapat dilepaskan. Diskusi ini memberikan masukan bahwa ada beberapa jalan untuk bisa mengatasi gangguan mental seperti ibadah, meditasi, relaksasi, pernapasan.
Digital Literacy Talks berikutnya bertajuk Peran Netizen dalam Penangangan Covid-19 yang menghadirkan Yosi Mokalu (Ketua Umum Siberkreasi), Dr Tirta Mandira Hudhi (Konten kreator), Firza Radiany (Pandemic Talks) dengan moderator Basra Amru (Tim Komunikasi Publik KPCPEN).
Diskusi merekomendasikan upaya untuk mendiseminasi kebijakan kesehatan termasuk vaksin harus mampu menjangkau semua arah dan menggunakan pendekatan hybrid. Tidak semuanya dapat disosialisasikan hanya lewat media sosial misalnya. Jangan menggunakan Bahasa yang sangat tinggi. Semisal slogan 3M dibuat menjadi mangan, mangan, masker. Hal ini tidak merubah substansi, hanya memastikan bahwa masyarakat dapat cepat menerimanya. Pengalaman di dunia digital, judul yang dinilai “berat” dan “tinggi” biasanya memiliki pembaca yang sedikit.
Dibandingkan dengan pernyataan yang sederhana, akan memperoleh apresiasi yang luas dan besar. Di dunia media sosial, banyak orang yang dinilai tidak mungkin menyebarkan hoaks, justru menjadi penyebar hoaks, justru yang kemudian menyebarkannya, karena motifnya ialah ingin menginformasikan suatu informasi yang dinilai penting dan strategis seperti seputar vaksin.
Saat ini perlu didorong agar bukan hanya seseorang kemudian dapat memahami mana informasi yang benar mana yang hoaks, tetapi juga mampu menjadi agen yang siap menginformasikan kepada orang lain tentang kebenaran sebuah informasi. Hal ini memang tidak mudah dilakukanm, terutama di lingkungan keluarga sendiri. Peluang terjadi konflik di dalam keluarga memang besar.
Dibutuhkan strategi komunikasi yang memperhatikan adat ketimuran, yang mengedepankan sopan santun. Perlu menjadikan hasil studi Microsoft yang mengatakan bahwa netijen Indonesia yang tidak santun di Asia Tenggara.
Diskusi ini mengungkapkan tentang hal yang mendorong masyarakat terus mengkonsumsi hoaks.
Masyarakat secara umum tidak mampu membedakan antara pendapat (opini) dari ahli dengan testimoni. Masyarakat memiliki cara pandang bahwa bagaimana sebuah ilmu yang disebut dengan ilmu pasti, justru informasinya berubah-ubah. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak mengerti bahwa ilmu pengetahuan itu dinamis dan terus berkembang. Masyarakat juga memiliki pemahaman yang rendah bahwa ketika mereka menggunakan handphone atau kuota atau menaiki pesawat dan mobil, kesemuanya itu adalah hasil teknologi. Namun, teknologi vaksin, mereka tidak mempercayainya.
Selanjutnya, diskusi Digital Literacy Talks berjudul Strategi Kolaborasi Melawan Hoaks yang menghadirkan Anthonius Malau (Koordinator Pengendalian Konten Internet KemKominfo), Dewi Sari (Mafindo), Dr Andi Khomeni (KCPEN), dengan moderator Indriyatno Banyumurti (ICT Watch).
Diskusi ini mengungkapkan bahwa negara telah memiliki tim yang bekerja 24 jam penuh, 3 shift yang terdiri atas 90 orang, yang bertugas untuk memberikan label konten-konten yang melanggar peraturan perundang-undangan dengan sistem kecerdasan artifisial, lalu memberikan tautan kepada informasi yang benar, yang diproduksi oleh mitra-mitra Komimfo seperti media misalnya, hingga memutus akses. Hal ini penting dilakukan, mengingat masyarakat mengkonsumsi lima informasi hoaks tentang Covid dalam sehari.
Ini baru tentang Covid, belum ditambah informasi lain seperti politik, ekonomi, sosial, selebritis. Sejauh ini telah ada 122 kasus yang sedang diproses oleh Kepolisian terkait berita hoaks seputar Covid.
Panitia tidak hanya memfasilitasi vaksin, namun juga mendesain berbagai diskusi, digital talks, yang harapannya akan menjadi tambahan bekal berita bagi awak media tentang upaya mensosialisasikan pengetahuan seputar pandemi dan vaksinasi, yang bersandar pada pilar-pilar literasi digital Indonesia yaitu Digital Skill, Digital Culture, Digital Ethic, Digital Safety, Digital Economy, dan Digital Society.
Digital literacy talks pertama bertajuk Peranan Aplikasi Tech Health dalam Pemenuhan Kebutuhan Kesehatan Mental selama Pandemi yang menghadirkan Adeline Hindarto (VP Government Relation & Public Affairs HaloDoc), Defryansyah Amin MPsi (psikolog), Atwirlany Ritonga (penyuluh sosial ahli madya Asdep Pelayanan bagi Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus Deputi Perlindungan Khusus Anak) dengan moderator Indriatno Banyumurti (ICT Watch).
Menurut para pembicara, pandemi telah mendorong bukan hanya peningkatan kasus kesehatan fisik tetapi juga kasus Kesehatan mental, khususnya anak menjadi semakin rentan. Ganguan mental yang diderita anak dapat terjadi akibat aksi kekerasan seksual.
Kekerasan seksual tidak berarti selalu terjadi kekerasan secara fisik. Mengirimkan materi-materi yang berisikan konten seksual, sudah termasuk dalam definisi kekerasan seksual. Dengan demikian, argumentasi bahwa anak menerima dengan "ikhlas" konten tersebut, sangatlah tidak tepat. Mengingat, anak secara psikologis masih dalam kondisi labil.
Di tengah pandemi, aktivitas fisik terbatas, kehadiran layanan tele-health telah menjadi salah satu solusi agar tanpa melakukan kontak fisik, kebutuhan akan Kesehatan dapat terpenuhi.
Efisiensi waktu dalam hal melakukan perjalanan ke layanan Kesehatan, juga antrean untuk dapat menerima layanan Kesehatan, dapat teratasi dengan teknologi IT. Yang menarik layanan tersebut, tidak hanya untuk Kesehatan fisik, tetapi sekarang juga untuk Kesehatan mental. Oleh karenanya kehadiran teknologi untuk dapat melayani selama 24 jam, menjadi sebuah pelayanan yang harus tersedia.
Tele-health yang melayani gangguan Kesehatan mental menjadi alternatif dari upaya mengatasi stigma bagi individu yang ingin mencari pertolongan ketika mengalami gangguan mental. Banyak individu yang enggan untuk berkonsultasi perihal gangguan mental yang dirasakan, karena khawatir, orang akan memberikan label bahwa dirinya orang sakit jiwa misalnya.
Padahal, salah satu first aid, pertolongan pertama ketika mengalami gejala gangguan mental seperti kecemasan, depresi, ialah dengan mencari wadah untuk mencurahkan apa yang dirasakan, sehingga ketegangan dapat dilepaskan. Diskusi ini memberikan masukan bahwa ada beberapa jalan untuk bisa mengatasi gangguan mental seperti ibadah, meditasi, relaksasi, pernapasan.
Digital Literacy Talks berikutnya bertajuk Peran Netizen dalam Penangangan Covid-19 yang menghadirkan Yosi Mokalu (Ketua Umum Siberkreasi), Dr Tirta Mandira Hudhi (Konten kreator), Firza Radiany (Pandemic Talks) dengan moderator Basra Amru (Tim Komunikasi Publik KPCPEN).
Diskusi merekomendasikan upaya untuk mendiseminasi kebijakan kesehatan termasuk vaksin harus mampu menjangkau semua arah dan menggunakan pendekatan hybrid. Tidak semuanya dapat disosialisasikan hanya lewat media sosial misalnya. Jangan menggunakan Bahasa yang sangat tinggi. Semisal slogan 3M dibuat menjadi mangan, mangan, masker. Hal ini tidak merubah substansi, hanya memastikan bahwa masyarakat dapat cepat menerimanya. Pengalaman di dunia digital, judul yang dinilai “berat” dan “tinggi” biasanya memiliki pembaca yang sedikit.
Dibandingkan dengan pernyataan yang sederhana, akan memperoleh apresiasi yang luas dan besar. Di dunia media sosial, banyak orang yang dinilai tidak mungkin menyebarkan hoaks, justru menjadi penyebar hoaks, justru yang kemudian menyebarkannya, karena motifnya ialah ingin menginformasikan suatu informasi yang dinilai penting dan strategis seperti seputar vaksin.
Saat ini perlu didorong agar bukan hanya seseorang kemudian dapat memahami mana informasi yang benar mana yang hoaks, tetapi juga mampu menjadi agen yang siap menginformasikan kepada orang lain tentang kebenaran sebuah informasi. Hal ini memang tidak mudah dilakukanm, terutama di lingkungan keluarga sendiri. Peluang terjadi konflik di dalam keluarga memang besar.
Dibutuhkan strategi komunikasi yang memperhatikan adat ketimuran, yang mengedepankan sopan santun. Perlu menjadikan hasil studi Microsoft yang mengatakan bahwa netijen Indonesia yang tidak santun di Asia Tenggara.
Diskusi ini mengungkapkan tentang hal yang mendorong masyarakat terus mengkonsumsi hoaks.
Masyarakat secara umum tidak mampu membedakan antara pendapat (opini) dari ahli dengan testimoni. Masyarakat memiliki cara pandang bahwa bagaimana sebuah ilmu yang disebut dengan ilmu pasti, justru informasinya berubah-ubah. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak mengerti bahwa ilmu pengetahuan itu dinamis dan terus berkembang. Masyarakat juga memiliki pemahaman yang rendah bahwa ketika mereka menggunakan handphone atau kuota atau menaiki pesawat dan mobil, kesemuanya itu adalah hasil teknologi. Namun, teknologi vaksin, mereka tidak mempercayainya.
Selanjutnya, diskusi Digital Literacy Talks berjudul Strategi Kolaborasi Melawan Hoaks yang menghadirkan Anthonius Malau (Koordinator Pengendalian Konten Internet KemKominfo), Dewi Sari (Mafindo), Dr Andi Khomeni (KCPEN), dengan moderator Indriyatno Banyumurti (ICT Watch).
Diskusi ini mengungkapkan bahwa negara telah memiliki tim yang bekerja 24 jam penuh, 3 shift yang terdiri atas 90 orang, yang bertugas untuk memberikan label konten-konten yang melanggar peraturan perundang-undangan dengan sistem kecerdasan artifisial, lalu memberikan tautan kepada informasi yang benar, yang diproduksi oleh mitra-mitra Komimfo seperti media misalnya, hingga memutus akses. Hal ini penting dilakukan, mengingat masyarakat mengkonsumsi lima informasi hoaks tentang Covid dalam sehari.
Ini baru tentang Covid, belum ditambah informasi lain seperti politik, ekonomi, sosial, selebritis. Sejauh ini telah ada 122 kasus yang sedang diproses oleh Kepolisian terkait berita hoaks seputar Covid.
(dam)