Ini Alasan DPR Tidak Memasukan Revisi UU ITE di Prolegnas Prioritas
loading...
A
A
A
BOGOR - Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Achmad Baidowi mengungkap alasan tidak memasukan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ) sebagai usulan prioritas Program Legislasi Nasional ( Prolegnas ).
Awik, sapaan akrab Achmad Baidowi menyebut, ada beberapa faktor revisi UU ITE tidak dimasukan dalam usulan prioritas Prolegnas DPR. Di antaranya adalah terbentur oleh UU Nomor 15 tahun 2015 tentang pembentukan peraturan dan perundang-undangan.
"DPR dalam hal ini sudah menyadari bahwa UU ITE ini harus direvisi, maka kemudian ketika penyusunan Prolegnas jangka menengah yakni 5 tahunan kami DPR bersepakat dari semua fraksi mengajukan Revisi UU ini sebagai usul inisiatif DPR," kata politikus PPP itu dalam Diskusi Daring Perhimpunan Pergerakan Indonesia dengan tema revisi UU ITE dan Wajah Demokrasi Indonesia, Jumat (25/2/2021).
Baca juga: Soal Revisi UU ITE, Mahfud MD: Jangan Alergi terhadap Perubahan
Namun, lanjut dia, usulan revisi UU ITE ini tidak masuk prioritas karena DPR terbentur oleh UU Nomor 15 tahun 2015 tentang Pembentukan Peraturan. "Yang mana ketentuan formilnya bahwa sebuah RUU bisa masuk unsur Prolegnas prioritas apabila dia sudah memiliki naskah akademik, yang kedua dia memiliki draf RUU-nya," ungkapnya.
Terkait dengan itu, kata Awik, di DPR waktu penyusunan prolegnas saat itu baru memiliki ide bahwa UU ini harus direvisi.
"Dengan segala dinamikanya aspirasi masukan dari masyarakat maka kemudian kita tampung, supaya nanti ketika pada saat naskah akademiknya revisi UU itu sudah ada, maka akan kita angkat atas usul inisiatif DPR dalam prolegnas prioritas," ujarnya.
Awik mengakui langkah tersebut terkesan prosedural, tapi itu sudah menjadi mekanisme yang diatur dalam UU.
Baca juga: SE Kapolri soal UU ITE Bisa Kurangi Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat
Selain itu, ia juga menjelaskan alasan DPR lama menyusun draf sebuah perundang-undangan, baik yang hendak dibuat maupun direvisi.
"DPR sendiri paham sekali bagaimana dinamika di DPR, ada 9 fraksi ada 9 kepala, jangankan membahas sebuah produk perundang-undangan yang sudah pasti dibahas. Menyusun draf saja itu setahun belum tentu selesai, baru draf itu," katanya.
Sebelumnya, ia juga sempat menyingung alasan wacana revisi UU ITE kembali ramai diperbincangkan dan mencuat ke publik. Menurutnya, ketika kita bicara revisi UU ITE ini, bermula dari pernyataan Presiden Jokowi.
"Padahal kalau kita cermati dari kalimat yang disampaikan itu ada kata kalau dalam implementasinya tidak menimbulkan masalah keadilan dan seterusnya, maka kami tidak akan segan mengajukan revisi kepada DPR," katanya.
Awik menyebut sebagai politikus bisa mencermati bahasa yang disampaikan Presiden Jokowi terkait bahasa jika memenuhi prasyarat kalau dalam implementasinya menimbulkan masalah. Namun kalau dalam implementasinya sesuai harapan tidak perlu.
"Apapun itu paling tidak kita mengapresiasi apa yang dilakukan pemerintah dalam hal ini sudah membentuk tim revisinya UU ITE maupun tim interpretasi yang merupakan istilah baru di pemerintah untuk membuat tim menerjemahkan ketentuan UU ITE," katanya.
Dalam kesempatan yang sama Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan menyebutkan pihaknya hanya meminta, seluruh aparat penegak hukum mencermati atas materi muatan norma yang katanya masih multitafsir itu.
"Itu kan solusinya gampang, bisa buat pedoman, petunjuk pelaksanaan, kesepahaman bersama. Sebab pada praktiknya ini sering kita lakukan pada saat kita membicarakan mengenai rezim hukum pilkada," katanya.
Menurutya, saat ini UU ITE memang masih menunggu dimasukan ke dalam Prolegnas jangka menengah tapi belum prioritas. Arteria malah menilai dan meminta kepada semua pihak termasuk juga pemerintah, tidak begitu reaksioner dalam revisi UU ITE ini.
"Jangan atas nama demokrasi, atas nama desakan publik, belakangan ada kasus-kasus yang menimpa beberapa nama itu, sehingga kita tersentak atau tersadarkan bahwa UU ITE ini harus direvisi," katanya.
Sebab, kata Arteria, UU ini sejak awal sudah bermasalah. Kemudian saat ini mendadak ramai dikagetkan dengan perlu tidaknya sebuah UU direvisi.
"Saya juga mohon kepada tim pemerintah nantinya, untuk bisa memahami, mengkaji melakukan pencermatan secara lebih mendalam dan kemudian inbox kepada Pak Presiden Jokowi, dan menjelaskan masalahnya ada di mana," ungkapnya.
Jika memang lex specialist, kata Arteria, kembalikan saja ke KUHP Pasal 310 dan 311. Sebab seluruh pihak harus sadar saat ini kemajuan teknologi ini sangat cepat.
"Derivasinya sangat banyak turunan-turunan, kalau mau kita cover dalam konteks UU, ya sama saja akan berkali-kali kita revisi UU. Makanya harus ada kesepahaman betul," katanya.
Menurutnya, jika orientasi dan semangat dari revisi UU ITE ini hanya pada giat-giat penegakan hukum, menurut Arteria, sebaiknya fokus revisinya pada perbuatan materiil apa saja yang bisa disangkakan dan dimintakan pertanggungjawaban pidananya.
"Jangan seperti sekarang, yang kena itu adalah penyebar, tapi kreator kontennya tidak kena, aktor intelektual di dalamnya juga tidak kena," katanya.
Awik, sapaan akrab Achmad Baidowi menyebut, ada beberapa faktor revisi UU ITE tidak dimasukan dalam usulan prioritas Prolegnas DPR. Di antaranya adalah terbentur oleh UU Nomor 15 tahun 2015 tentang pembentukan peraturan dan perundang-undangan.
"DPR dalam hal ini sudah menyadari bahwa UU ITE ini harus direvisi, maka kemudian ketika penyusunan Prolegnas jangka menengah yakni 5 tahunan kami DPR bersepakat dari semua fraksi mengajukan Revisi UU ini sebagai usul inisiatif DPR," kata politikus PPP itu dalam Diskusi Daring Perhimpunan Pergerakan Indonesia dengan tema revisi UU ITE dan Wajah Demokrasi Indonesia, Jumat (25/2/2021).
Baca juga: Soal Revisi UU ITE, Mahfud MD: Jangan Alergi terhadap Perubahan
Namun, lanjut dia, usulan revisi UU ITE ini tidak masuk prioritas karena DPR terbentur oleh UU Nomor 15 tahun 2015 tentang Pembentukan Peraturan. "Yang mana ketentuan formilnya bahwa sebuah RUU bisa masuk unsur Prolegnas prioritas apabila dia sudah memiliki naskah akademik, yang kedua dia memiliki draf RUU-nya," ungkapnya.
Terkait dengan itu, kata Awik, di DPR waktu penyusunan prolegnas saat itu baru memiliki ide bahwa UU ini harus direvisi.
"Dengan segala dinamikanya aspirasi masukan dari masyarakat maka kemudian kita tampung, supaya nanti ketika pada saat naskah akademiknya revisi UU itu sudah ada, maka akan kita angkat atas usul inisiatif DPR dalam prolegnas prioritas," ujarnya.
Awik mengakui langkah tersebut terkesan prosedural, tapi itu sudah menjadi mekanisme yang diatur dalam UU.
Baca juga: SE Kapolri soal UU ITE Bisa Kurangi Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat
Selain itu, ia juga menjelaskan alasan DPR lama menyusun draf sebuah perundang-undangan, baik yang hendak dibuat maupun direvisi.
"DPR sendiri paham sekali bagaimana dinamika di DPR, ada 9 fraksi ada 9 kepala, jangankan membahas sebuah produk perundang-undangan yang sudah pasti dibahas. Menyusun draf saja itu setahun belum tentu selesai, baru draf itu," katanya.
Sebelumnya, ia juga sempat menyingung alasan wacana revisi UU ITE kembali ramai diperbincangkan dan mencuat ke publik. Menurutnya, ketika kita bicara revisi UU ITE ini, bermula dari pernyataan Presiden Jokowi.
"Padahal kalau kita cermati dari kalimat yang disampaikan itu ada kata kalau dalam implementasinya tidak menimbulkan masalah keadilan dan seterusnya, maka kami tidak akan segan mengajukan revisi kepada DPR," katanya.
Awik menyebut sebagai politikus bisa mencermati bahasa yang disampaikan Presiden Jokowi terkait bahasa jika memenuhi prasyarat kalau dalam implementasinya menimbulkan masalah. Namun kalau dalam implementasinya sesuai harapan tidak perlu.
"Apapun itu paling tidak kita mengapresiasi apa yang dilakukan pemerintah dalam hal ini sudah membentuk tim revisinya UU ITE maupun tim interpretasi yang merupakan istilah baru di pemerintah untuk membuat tim menerjemahkan ketentuan UU ITE," katanya.
Dalam kesempatan yang sama Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan menyebutkan pihaknya hanya meminta, seluruh aparat penegak hukum mencermati atas materi muatan norma yang katanya masih multitafsir itu.
"Itu kan solusinya gampang, bisa buat pedoman, petunjuk pelaksanaan, kesepahaman bersama. Sebab pada praktiknya ini sering kita lakukan pada saat kita membicarakan mengenai rezim hukum pilkada," katanya.
Menurutya, saat ini UU ITE memang masih menunggu dimasukan ke dalam Prolegnas jangka menengah tapi belum prioritas. Arteria malah menilai dan meminta kepada semua pihak termasuk juga pemerintah, tidak begitu reaksioner dalam revisi UU ITE ini.
"Jangan atas nama demokrasi, atas nama desakan publik, belakangan ada kasus-kasus yang menimpa beberapa nama itu, sehingga kita tersentak atau tersadarkan bahwa UU ITE ini harus direvisi," katanya.
Sebab, kata Arteria, UU ini sejak awal sudah bermasalah. Kemudian saat ini mendadak ramai dikagetkan dengan perlu tidaknya sebuah UU direvisi.
"Saya juga mohon kepada tim pemerintah nantinya, untuk bisa memahami, mengkaji melakukan pencermatan secara lebih mendalam dan kemudian inbox kepada Pak Presiden Jokowi, dan menjelaskan masalahnya ada di mana," ungkapnya.
Jika memang lex specialist, kata Arteria, kembalikan saja ke KUHP Pasal 310 dan 311. Sebab seluruh pihak harus sadar saat ini kemajuan teknologi ini sangat cepat.
"Derivasinya sangat banyak turunan-turunan, kalau mau kita cover dalam konteks UU, ya sama saja akan berkali-kali kita revisi UU. Makanya harus ada kesepahaman betul," katanya.
Menurutnya, jika orientasi dan semangat dari revisi UU ITE ini hanya pada giat-giat penegakan hukum, menurut Arteria, sebaiknya fokus revisinya pada perbuatan materiil apa saja yang bisa disangkakan dan dimintakan pertanggungjawaban pidananya.
"Jangan seperti sekarang, yang kena itu adalah penyebar, tapi kreator kontennya tidak kena, aktor intelektual di dalamnya juga tidak kena," katanya.
(abd)