Tak Sekadar Revisi UU ITE, Masyarakat Juga Harus Bijak Bermedsos
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kabar bohong atau hoaks saat ini bisa dikatakan sudah sangat meresahkan, tetapi saling lapor atas nama pencemaran nama baik juga tidak kalah mengkhawatirkan.
Iklim demokrasi di Tanah Air seperti sedang diuji dengan ragam persoalan khususnya yang terjadi di dunia maya. Untuk mengatasi itu tidak sekedar pendekatan regulasi, tetapi edukasi secara massif perlu juga dilakukan untuk membangun iklim dan ruang dunia maya menjadi sehat dan beradab.
Aktivis media sosial, Enda Nasution mengatakan untuk mengatasi itu tidak cukup dengan menggunakan UU ITE. Menurut dia, UU ITE sendiri sebenarnya tidak melulu berbicara di ranah hukum, tetapi ada juga di tataran sosial tentang bagaimana membuat masyarakat untuk menjadi bijak dalam menggunakan media sosial (medsos).
Hal tersebut, menurut dia, kadang tidak disadari oleh masyarakat. ”Saya sendiri juga sudah membuat ’gerakan bijak bersosmed’ yang mana kami terus mengeluarkan tips-tips dan informasi-informasi seputar bagaimana kita bisa bijak dalam menggunakan media sosial. Lalu ada juga gerakan yang bernama ’cyber kreasi’ yang sudah tersebar di seluruh Indonesia untuk menggalakkan literasi digital di masyarakat,” tutur Enda di Jakarta, Rabu 24 Februari 2021.
Menurut Enda, yang sering melakukan pelaporan tersebut kadang justru bukan pihak yang disebut dalam konten, tapi malah mungkin para pendukungnya.
Dia menyebut pelaporan seringkali dimaksudkan sebagai intimidasi agar siapa pun yang membuat posting tersebut menghapus, mencabut atau menarik kembali postingannya tersebut.
”Kenapa indikasinya dibilang seperti itu, karena sebenarnya mayoritas pelaporan menggunakan UU ITE ini tidak sampai ke tingkat pengadilan. Tapi lebih ke intimidasi saja biar postingan tersebut dicabut dan yang terlapor meminta maaf,” katanya.
Dia menambahkan, saat terjadi kecenderungan pelaporan menggunakan UU ITE ini. Tetapi dia menyebut bahwa hal ini terjadi juga karena pengguna medsos di Indonesia semakin banyak.
Semua postingan, selama si penerimanya merasa bahwa itu adalah fitnah atau pencemaran nama baik maka bisa dilaporkan. Itulah kenapa, menurut Enda, UU ITE ini disebut sebagai pasal karet.
”Misalnya gini ada yang bilang ’eh kamu jelek deh’ atau ’eh kamu kuliahnya enggak benar’. Kalau saya merasa terhina itu bisa saya melaporkan menggunakan UU ITE,” ucapnya.
Jika ingin aman, lanjut dia, jangan mengatakan hal-hal negatif terhadap orang lain, jangan mengkritik orang lain karena tidak adanya batasan tadi. Memang menurutnya akan selalu ada risiko orang lain melaporkan postingan seperti apa pun itu bentuknya. Tetapi kalau soal hoaks menurutnya itu adalah persoalan yang berbeda.
”Hoaks itu ada yang sifatnya misinformasi ada juga disinformasi. Kalau misinformasi itu informasinya yang tidak akurat tetapi tidak ada niat jelek atau niat jahat dibelakangnya. Tetapi kalau disinformasi itu secara sengaja menyebarkan informasi yang dibuat salah atau untuk menyerang orang lain. Dan itu ada pasalnya di UU ITE yang dilarang untuk menyebarkan berita bohong,” ungkapnya.
Dia mengapresiasi rencana pemerintah untuk melakukan revisi UU ITE, meskipun menurutnya hal itu tidak bisa dilaksanakan dalam waktu dekat karena harus melalui berbagai proses yang panjang.
Enda memprediksi revisi bisa sampai dua tahun karena perlu dikaji terlebih dahulu oleh pemerintah. Dari situ pun nanti masih dikaji lagi di DPR dan menurutnya ini jangka panjang.
”Untuk jangka pendeknya, saya menyambut baik kemarin yang dilakukan oleh Kapolri mengeluarkan surat edaran untuk membuat semacam panduan untuk penegak hukum untuk menanggapi laporan yang diterima. Jadi tidak harus segala-segalanya ini ditindaklanjuti ke (proses hukum-red),” tuturnya.
Di samping itu, dia berpendapat sangat penting bagi masyarakat Indonesia untuk bijak dalam bermedsos. Dia mendukung erakan bijak bersosmed apalagi jika ada yang mau bergabung. Terlebih, bila ada dukungan dari pemerintah sehingga gerakan tersebut bisa punya skala yang jauh lebih besar lagi.
”Kita kemarin di tahun 2019 sudah sempat ke tiga kota, tapi karena pandemi sekarang kalau melakukan secara fisik juga tidak mungkin. Jadi kalau kita bisa punya semacam gerakan-gerakan di berbagai provinsi dan kota itu akan jauh lebih baik lagi untuk mengedukasi masyarakat,” tuturnya.
Iklim demokrasi di Tanah Air seperti sedang diuji dengan ragam persoalan khususnya yang terjadi di dunia maya. Untuk mengatasi itu tidak sekedar pendekatan regulasi, tetapi edukasi secara massif perlu juga dilakukan untuk membangun iklim dan ruang dunia maya menjadi sehat dan beradab.
Aktivis media sosial, Enda Nasution mengatakan untuk mengatasi itu tidak cukup dengan menggunakan UU ITE. Menurut dia, UU ITE sendiri sebenarnya tidak melulu berbicara di ranah hukum, tetapi ada juga di tataran sosial tentang bagaimana membuat masyarakat untuk menjadi bijak dalam menggunakan media sosial (medsos).
Hal tersebut, menurut dia, kadang tidak disadari oleh masyarakat. ”Saya sendiri juga sudah membuat ’gerakan bijak bersosmed’ yang mana kami terus mengeluarkan tips-tips dan informasi-informasi seputar bagaimana kita bisa bijak dalam menggunakan media sosial. Lalu ada juga gerakan yang bernama ’cyber kreasi’ yang sudah tersebar di seluruh Indonesia untuk menggalakkan literasi digital di masyarakat,” tutur Enda di Jakarta, Rabu 24 Februari 2021.
Menurut Enda, yang sering melakukan pelaporan tersebut kadang justru bukan pihak yang disebut dalam konten, tapi malah mungkin para pendukungnya.
Dia menyebut pelaporan seringkali dimaksudkan sebagai intimidasi agar siapa pun yang membuat posting tersebut menghapus, mencabut atau menarik kembali postingannya tersebut.
”Kenapa indikasinya dibilang seperti itu, karena sebenarnya mayoritas pelaporan menggunakan UU ITE ini tidak sampai ke tingkat pengadilan. Tapi lebih ke intimidasi saja biar postingan tersebut dicabut dan yang terlapor meminta maaf,” katanya.
Dia menambahkan, saat terjadi kecenderungan pelaporan menggunakan UU ITE ini. Tetapi dia menyebut bahwa hal ini terjadi juga karena pengguna medsos di Indonesia semakin banyak.
Semua postingan, selama si penerimanya merasa bahwa itu adalah fitnah atau pencemaran nama baik maka bisa dilaporkan. Itulah kenapa, menurut Enda, UU ITE ini disebut sebagai pasal karet.
”Misalnya gini ada yang bilang ’eh kamu jelek deh’ atau ’eh kamu kuliahnya enggak benar’. Kalau saya merasa terhina itu bisa saya melaporkan menggunakan UU ITE,” ucapnya.
Jika ingin aman, lanjut dia, jangan mengatakan hal-hal negatif terhadap orang lain, jangan mengkritik orang lain karena tidak adanya batasan tadi. Memang menurutnya akan selalu ada risiko orang lain melaporkan postingan seperti apa pun itu bentuknya. Tetapi kalau soal hoaks menurutnya itu adalah persoalan yang berbeda.
”Hoaks itu ada yang sifatnya misinformasi ada juga disinformasi. Kalau misinformasi itu informasinya yang tidak akurat tetapi tidak ada niat jelek atau niat jahat dibelakangnya. Tetapi kalau disinformasi itu secara sengaja menyebarkan informasi yang dibuat salah atau untuk menyerang orang lain. Dan itu ada pasalnya di UU ITE yang dilarang untuk menyebarkan berita bohong,” ungkapnya.
Dia mengapresiasi rencana pemerintah untuk melakukan revisi UU ITE, meskipun menurutnya hal itu tidak bisa dilaksanakan dalam waktu dekat karena harus melalui berbagai proses yang panjang.
Enda memprediksi revisi bisa sampai dua tahun karena perlu dikaji terlebih dahulu oleh pemerintah. Dari situ pun nanti masih dikaji lagi di DPR dan menurutnya ini jangka panjang.
”Untuk jangka pendeknya, saya menyambut baik kemarin yang dilakukan oleh Kapolri mengeluarkan surat edaran untuk membuat semacam panduan untuk penegak hukum untuk menanggapi laporan yang diterima. Jadi tidak harus segala-segalanya ini ditindaklanjuti ke (proses hukum-red),” tuturnya.
Di samping itu, dia berpendapat sangat penting bagi masyarakat Indonesia untuk bijak dalam bermedsos. Dia mendukung erakan bijak bersosmed apalagi jika ada yang mau bergabung. Terlebih, bila ada dukungan dari pemerintah sehingga gerakan tersebut bisa punya skala yang jauh lebih besar lagi.
”Kita kemarin di tahun 2019 sudah sempat ke tiga kota, tapi karena pandemi sekarang kalau melakukan secara fisik juga tidak mungkin. Jadi kalau kita bisa punya semacam gerakan-gerakan di berbagai provinsi dan kota itu akan jauh lebih baik lagi untuk mengedukasi masyarakat,” tuturnya.
(dam)