Polri Beri 12 Peringatan Virtual Police ke Akun Medsos yang Diduga Sebar Hoaks
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri sudah memberikan 12 kali peringatan ke akun media sosial (medsos) yang diduga menyebarkan informasi palsu atau hoaks . Hal itu merupakan bagian dari Virtual Police terkait penanganan kasus UU ITE .
"24 Februari 2021 dikirimkan melalui DM (direct message) sebanyak 12 peringatan virtual polisi kepada akun medsos. Kami sudah mulai jalan," ujar Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Slamet Uliandi, Jakarta, Rabu (24/2/2021).
Menurut Slamet, peringatan Virtual Police ini berkaitan dari Surat Edaran (SE) Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tentang kesadaran budaya beretika dalam dunia digital. Dalam SE itu, Kapolri meminta agar UU ITE diprioritaskan dengan mengedepankan Restorative Justice.
Slamet menjelaskan, setiap harinya Dittipidsiber melakukan patroli siber di media sosial mengawasi konten-konten yang terindikasi mengandung hoaks serta hasutan di berbagai platform, seperti di Facebook, Twitter, dan Instagram.
Dalam hal ini, kata Slamet, pihaknya telah meminta pendapat ahli pidana, ahli bahasa, maupun ahli ITE sebelum memberikan peringatan virtual ke terduga pelanggar UU ITE. Dengan demikian, peringatan virtual itu dilakukan berdasarkan pendapat ahli sehingga bukan pendapat subjektif penyidik kepolisian.
Pesan peringatan itu dikirimkan dua kali ke seseorang yang diduga mengunggah konten hoax atau ujaran kebencian. Dalam waktu 1x24 jam maka konten tersebut harus diturunkan.
Jika postingan di medsos yang diduga mengandung pelanggaran atau hoaks tersebut tidak diturunkan pemilik akun, penyidik akan memberikan peringatan kembali. Jika peringatan kedua tetap tidak digubris, maka akan ditingkatkan ke tahap pemanggilan untuk dimintai klarifikasi.
Menurut Slamet, penindakan akan dilakukan sebagai langkah terakhir. Siber Polri akan mengedepankan langkah-langkah humanis ketimbang penindakan.
"Tahapan-tahapan strategi yang dilakukan melalui beberapa proses. Pertama edukasi, kemudian peringatan virtual, setelah dilakukan peringatan virtual kita lakukan mediasi, restorative justice. Setelah restorative justice baru laporan polisi. Sehingga tidak semua pelanggaran atau penyimpangan di ruang siber dilakukan upaya penegakan hukum melainkan mengedepankan upaya mediasi dan restorative justice sehingga terciptanya ruang siber yang bersih, sehat, beretika, produktif dan beragam," papar Slamet.
Adapun tindak pidana yang bisa dilakukan dengan cara restorative justice misalnya pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan. Menurutnya, pelaku yang terlibat di kasus tersebut bisa tidak ditahan, karena restorative justice mengedepankan terciptanya keadilan dan keseimbangan antara pelaku dan korbannya.
"Kenapa tidak bisa ditahan karena sudah dikeluarkan oleh Kapolri kepada seluruh jajaran apabila akan naik sidik harus dilakukan gelar secara virtual oleh Mabes Polri sehingga inilah upaya Pak Jokowi-Pak Kapolri membuat untuk lebih tenang bangsa ini. Tapi bukan berarti tidak dilakukan penahanan terus kita semena-mena artinya kita sama sama koreksi diri," terangnya.
Di sisi lain, Slamet juga mengatakan kepolisian tidak akan menindak seseorang yang melakukan kritik terhadap pemerintah. Kritik tersebut harus disampaikan secara beradab, tetapi jika kritik disampaikan dengan menambahkan ujaran kebencian dan hoaks maka akan ditindak.
"Kritik itu sah-sah saja, namun ujaran kebencian, fitnah, dan kebohongan itu yang tidak baik. Seseorang kalau dia mengkritik pada saat dia mengkritik kalau dia berbuat jahat di dalam lubuk hatinya yang paling dalam dia tahu kok kalau dia berbuat kejahatan, dia tahu kok bahwa kritik itu mengandung hoaks, mengandung ujaran kebencian yang menurutnya ditambah-tambah atau diedit sehingga kalau bicara kritik kepada pemerintah kita tidak akan sentuh," tutup Slamet.
"24 Februari 2021 dikirimkan melalui DM (direct message) sebanyak 12 peringatan virtual polisi kepada akun medsos. Kami sudah mulai jalan," ujar Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Slamet Uliandi, Jakarta, Rabu (24/2/2021).
Menurut Slamet, peringatan Virtual Police ini berkaitan dari Surat Edaran (SE) Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tentang kesadaran budaya beretika dalam dunia digital. Dalam SE itu, Kapolri meminta agar UU ITE diprioritaskan dengan mengedepankan Restorative Justice.
Slamet menjelaskan, setiap harinya Dittipidsiber melakukan patroli siber di media sosial mengawasi konten-konten yang terindikasi mengandung hoaks serta hasutan di berbagai platform, seperti di Facebook, Twitter, dan Instagram.
Dalam hal ini, kata Slamet, pihaknya telah meminta pendapat ahli pidana, ahli bahasa, maupun ahli ITE sebelum memberikan peringatan virtual ke terduga pelanggar UU ITE. Dengan demikian, peringatan virtual itu dilakukan berdasarkan pendapat ahli sehingga bukan pendapat subjektif penyidik kepolisian.
Pesan peringatan itu dikirimkan dua kali ke seseorang yang diduga mengunggah konten hoax atau ujaran kebencian. Dalam waktu 1x24 jam maka konten tersebut harus diturunkan.
Jika postingan di medsos yang diduga mengandung pelanggaran atau hoaks tersebut tidak diturunkan pemilik akun, penyidik akan memberikan peringatan kembali. Jika peringatan kedua tetap tidak digubris, maka akan ditingkatkan ke tahap pemanggilan untuk dimintai klarifikasi.
Menurut Slamet, penindakan akan dilakukan sebagai langkah terakhir. Siber Polri akan mengedepankan langkah-langkah humanis ketimbang penindakan.
"Tahapan-tahapan strategi yang dilakukan melalui beberapa proses. Pertama edukasi, kemudian peringatan virtual, setelah dilakukan peringatan virtual kita lakukan mediasi, restorative justice. Setelah restorative justice baru laporan polisi. Sehingga tidak semua pelanggaran atau penyimpangan di ruang siber dilakukan upaya penegakan hukum melainkan mengedepankan upaya mediasi dan restorative justice sehingga terciptanya ruang siber yang bersih, sehat, beretika, produktif dan beragam," papar Slamet.
Adapun tindak pidana yang bisa dilakukan dengan cara restorative justice misalnya pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan. Menurutnya, pelaku yang terlibat di kasus tersebut bisa tidak ditahan, karena restorative justice mengedepankan terciptanya keadilan dan keseimbangan antara pelaku dan korbannya.
"Kenapa tidak bisa ditahan karena sudah dikeluarkan oleh Kapolri kepada seluruh jajaran apabila akan naik sidik harus dilakukan gelar secara virtual oleh Mabes Polri sehingga inilah upaya Pak Jokowi-Pak Kapolri membuat untuk lebih tenang bangsa ini. Tapi bukan berarti tidak dilakukan penahanan terus kita semena-mena artinya kita sama sama koreksi diri," terangnya.
Di sisi lain, Slamet juga mengatakan kepolisian tidak akan menindak seseorang yang melakukan kritik terhadap pemerintah. Kritik tersebut harus disampaikan secara beradab, tetapi jika kritik disampaikan dengan menambahkan ujaran kebencian dan hoaks maka akan ditindak.
"Kritik itu sah-sah saja, namun ujaran kebencian, fitnah, dan kebohongan itu yang tidak baik. Seseorang kalau dia mengkritik pada saat dia mengkritik kalau dia berbuat jahat di dalam lubuk hatinya yang paling dalam dia tahu kok kalau dia berbuat kejahatan, dia tahu kok bahwa kritik itu mengandung hoaks, mengandung ujaran kebencian yang menurutnya ditambah-tambah atau diedit sehingga kalau bicara kritik kepada pemerintah kita tidak akan sentuh," tutup Slamet.
(kri)