Kota Sehat, Solusi Tepat Menghadapi Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Virus korona yang menyebar cepat ke berbagai kota di seluruh dunia, menjadi momentum terbaik untuk menggugah kembali pentingnya kota sehat. Dengan langkah ini ke depan kota-kota di dunia bisa lebih kuat menghadapi berbagai ancaman pandemi .
Perubahan persepsi tentang perlunya kota sehat muncul karena fakta ya kota-kota modern yang didesain khusus pun tak mampu membendung pandemi virus korona. Dengan demikian, kota idealnya bukan hanya mengoneksikan antara bekerja, lalu lintas kerja, wisata, dan hiburan saja. Kini semua orang membutuhkan kota yang sehat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada awal Februari menggelar peluncuran jaringan kota sehat di Qatar. Anggota jaringan yang terdiri dari entitas pemerintah dan lembaga non-pemerintah dan swasta akan mewujudkan agenda kota sehat sebagai strategi kesehatan nasional.
Pertemuan Doha tersebut merupakan aksi lanjut dari Alliance for Healthy Cities berdiri untuk menjadi ajang peningkatan kerja sama dan perawatan kesehatan antar kota, dan organisasi di seluruh dunia yang digelar di Helsinki, 2003.
Hingga pada 2016 digelar Konferensi Global ke-9 yang mempromosikan kesehatan digelar di Shanghai. Konferensi itu digelar disela-sela Forum Wali Kota Internasional di mana pemimpin kota memainkan peranan utama untuk menciptakan lingkungan urban yang sehat seiring dengan meningkatnya populasi. Saat itu, lebih dari 100 wali kota bersiap mengadopsi Shanghai Consensus on Health Cities 2016.
"Pemerintah perlu mengembangkan rencana strategi dan kebijakan untuk mewujudkan pendekatan kota sehat dengan partisipasti komunitas, kemitraan, pemberdayaan dan ekuitas," kata pejabat WHO, Roberto Bertollini, dilansir The Peninsula Qatar.
WHO sebenarnya telah mengampanyekan program Kota Sehat sejak 1986 dengan lahirnya Ottawa Charter for Health Promotion. Sejak itu, program kota sehat pun menyebar ke seluruh dunia. Kota sehat memiliki tujuan, menurut WHO, adalah menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan, menyediakan kualitas kehidupan yang baik, menyediakan sanitas dasar dan higienitas, dan mendukung akses perawatan kesehatan.
“Program kota sehat seharusnya mempromosikan pemberdayaan masyarakat dan memperkuat partisipasi masyarakat,” kata Sadriya Al Kohji, Kepala Jaringan Kota Sehat WHO.
“Kota sehat juga bisa menciptakan struktur organisasi untuk implementasi program kesehatan publik dan memperkuat sinergisitas lintas sektoral serta membangun masa depan yang lebih sehat bagi anak-anak,” ujarnya.
Kota-kota di dunia selama ini mengabaikan upaya pencegahan terhadap terjadinya pandemi. Pertumbuhan kota di dunia juga masih berfokus pada Revolusi Industri yang menyebabkan jalanan dipenuhi polusi, seperti London dan New York. Pertumbuhan kota maju juga tidak mampu membendung berbagai wabah di mana sistem sanitasi menjadi hal utama.
“Banyak orang tinggal di kota yang menjadi jebakan kematian karena mengurangi ekspektasi kehidupan,” kata penulis buku The Fever and Pandemic, Sonia Shah. Menurut dia, justru banyak kota yang mengundang kematian dan wabah.
Dalam beberapa tahun terakhir, juga banyak kota fokus pada kesehatan dalam perencanaan dan pertumbuhannya.
“Untuk daya tahan dan keberlanjutan, kota memerlukan desain dan evaluasi berbasis lensa kesehatan,” kata Layla McCay, direktur Centre for Urban Design and Mental Health.
Banyak kota yang sudah memberikan contoh. Sejak 2016, Singapura membangun banyak taman untuk terapi dan meningkatkan kesehatan mental dan emosi. Di Tokyo, penduduk juga bekerja sama dengan desainer untuk mendesain lingkungan yang lebih hijau.
Di masa pandemi, kota yang padat dan sibuk menjadi permasalahan besar. Tanpa langkah kesehatan publik untuk melawan penyebaran infeksi, maka kota itu akan menghadapi masalah.
“Kota yang menjadi pusat dan penghubung komersial dan mobiltas umumnya berpenduduk padat dan terkoneksi sehingga memunculkan risiko pandemi,” kata Rebecca Katz, direktur Centre for Global Health Science and Security dan Robert Muggah, direktur Igarapé Institute.
Dengan estimasi 68% populasi dunia akan tinggal di kota pada 2050, maka dibutuhkan desain kota yang baik untuk menghadapi pandemi yang bukan hanya korona saja.
Kota-kota kaya seperti Kopenhagen yang memiliki ruang terbuka hijau dan jalur sepeda menjadi pengecualian. Tapi berbeda dengan kota yang kurang beruntung seperti Nairobi, di Kenya dan Dhaka, Bangladesh.
“Tanpa sanitasi yang baik atau akses air bersih untuk mencuci tangan menjadikan pandemi bisa menyebar,” kata Elvis Garcia, pakar kesehatan publik di Harvard Graduate School of Design. “Dalam 10 tahun, 10% populasi dunia akan tinggal di kota dengan akses air, kesehatan dan sanitasi yang terbatas,” katanya.
Kepadatan penduduk menjadi faktor penting yang mempengaruhi penyebaran penyakit infeksi seperti virus korona. Itu dikarenakan munculnya kerumunan yang meningkatkan frekuensi penyebaran penyakit. Misalnya, Wuhan, kota yang menjadi awal munculnya virus korona, dikenal sebagai kota padat dengan 11 juta jiwa.
Sepertinya New York merupakan pusat wabah korona di Amerika Serikat karena merupakan kota paling padat di Negeri Paman Sam. Di masa depan atau pascapandemi, kota harus memiliki pedestrian yang lebar dan memiliki ruang terbuka hijau.
Dalam pandangan Johan Woltjer dari Universitas Westminster, pandemi akan mnjadi bagian kehidupan manusia, untuk itu kota harus bisa beradaptasi.
“Selama krisis, kita seperti pada momen untuk bisa memiliki kota yang memiliki pusat kesehatan yang fleksibel dan luas,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, Rumah Sakit Nightingale di London mampu menambung 4.000 pasien. Di Wuhan, rumah sakit dengan 1.000 tempat tidur bisa dibangun dalam sembilan hari. “Kota harus mampu berubah dengan cepat, baik suplai produk esensial, berlanja dan rute evakuasi,” kata Woltjer.
Apresiasi untuk Kota Sehat di Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mendorong terciptanya kota sehat dengan memberikan apresiasi Kabupaten Kota Sehat (KKS) sejak 2005 lalu.
KKS bukanlah sebuah lomba melainkan apresiasi pemerinta pusat pada pemerintah daerah yang sudah menyelenggarakan KKS sesuai Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 34 tahun 2005 dan Nomor:1138/Menkes/PB/VIII/2005.
Pemerintah berharap seluruh wilayah di Tanah Air dapat bersih, aman, dan nyaman demi meningkatkan sarana, produktivitas, dan perekonomian. Penyelenggara KKS terdiri dari banyak sektor, mulai dari Kawasan Pemukiman, Sarana dan Prasarana Umum, Kawasan Sarana Lalu Lintas Tertib dan Pelayanan Transportasi, Kawasan Industri dan Perkantoran Sehat, Kawasan Pariwisata Sehat, Kawasan Pangan dan Gizi, Kehidupan Masyarakat Sehat dan Mandiri hingga Kehidupan Sosial Sehat.
“Kondisi sehat, baik fisik, mental, ataupun spiritual dapat membuat kita menjadi lebih produktif,” ungkap Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin. Senada dengan Budi, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menilai kesehatan merupakan isu strategis dan sentral untuk mendukung program pembangunan nasional.
Dalam pandangan Ketua Ahli Kesehatan Masyarakat yang juga dosen Universitas Indonesia (UI) Ede S Darmawan, konsep kota sehat dibangun sebelum kehidupan sosial terjadi. Idealnya, lingkungan mendukung untuk kehidupan manusia yang sehat dan menyehatkan.
Namun sayangnya yang terjadi saat ini adalah sudah banyak kota artificial dan tidak alami. Dengan demikian sudah banyak perubahan di lingkungan tersebut. Lingkungan tersebut memang dilengkapi dengan fasilitas pendukung untuk kehidupan namun menjadi rusak.
“Kota sehat itu bagaimana mempertahankan, bagaimana kondisi lingkungan yang sehat dan menyehatkan. Yang namanya kota selain kelengkapan fasilitas juga kelengkapan keteraturan jadi seharusnya disitulah idealnya,” katanya kepada KORAN SINDO.
Konsep utama kota sehat adalah ketersediaan udara yang sehat dan cukup. Sedangkan di tatanan atas konsep kota sehat adalah kawasan. Sekali lagi, Ede mengingatkan bahwa konsep dasaranya adalah udara yang bersih. “Untuk menyehatkan orang basicnya udara yang sehat cukup, baru kemudian makanan, pakaian, kehidupan, tempat tinggal dan pelayanan. Kawasan itu adanya diatas, basickya udara yang bersih. Idealnya semakin menjadi kota seharusnya lebih teratur, udara bersih kehidupan lebih baik,” tambahnya.
Namun sayangnya saat ini banyak kota yang tumbuh tidak jelas, sehingga dampak buruknya banyak walaupun itu terjadi karena trade off. Maksudnya adalah kerusakan yang terjadi karena berkembangnya kehidupan dan pelayanan banyak orang. “Sebenarnya membangun kota sehat jadi tujuan utama. Kota yang lifeable, workable. Suatu kota menjadi hidup tapi orang bisa menempun dengna jalan kaki, bukan berisi himpunan beton,” tukas Ede.
Pengamat tata kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga mengatakan, saat ini konsep kota sehat belum menjadi dasar pengembangan kota. Padahal seiring dengan pandemi, konsep kota sehat sudah wajib diterapkan di Indonesia. Selain itu kata Nirwono, WHO dan UN Habitat merekomendasikan seluruh negara untuk membangun kota sehat sesuai standar WHO.
“Konsep kota sehat belum menjadi dasar pengembangan kota, padahal seiring dengna pandemi konsep kota sehat sdh wajib diterapkan di Indonesia. WHO dan UN Habitat merekomendasikan seluruh negara utk membgn kota sehat sesuai standar WHO,” kata Nirwono.
Menurut Nirwono, kota-kota di dunia yang dinilai masuk kategori kota sehat misalnya Singapura, Auckland dan Madinah. Dia berpendapat, kota sehat sebagai bagian dari SDGs sehingga Indonesia wajib menerapkan Goals/Tujuan 11 mewujudkan kota yang aman (sehat), inklusif, tangguh, berkelanjutan. Namun saat ini belum ada keseriusan dar pemerintah dalam mewujudkan kota sehat.
“Belum ada keseriusan dalam mewujudkan kota sehat, ini tampak pada ketidaksiapan dalam menghadapi pandemi covid-19, masih banyak permukiman kumuh miskin yang tdampak parah pandemi, infrastruktur kesehatan masyarakat (tenaga medis, fasilitas kesehatan terbatas),” tegasnya.
Perubahan persepsi tentang perlunya kota sehat muncul karena fakta ya kota-kota modern yang didesain khusus pun tak mampu membendung pandemi virus korona. Dengan demikian, kota idealnya bukan hanya mengoneksikan antara bekerja, lalu lintas kerja, wisata, dan hiburan saja. Kini semua orang membutuhkan kota yang sehat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada awal Februari menggelar peluncuran jaringan kota sehat di Qatar. Anggota jaringan yang terdiri dari entitas pemerintah dan lembaga non-pemerintah dan swasta akan mewujudkan agenda kota sehat sebagai strategi kesehatan nasional.
Baca Juga
Pertemuan Doha tersebut merupakan aksi lanjut dari Alliance for Healthy Cities berdiri untuk menjadi ajang peningkatan kerja sama dan perawatan kesehatan antar kota, dan organisasi di seluruh dunia yang digelar di Helsinki, 2003.
Hingga pada 2016 digelar Konferensi Global ke-9 yang mempromosikan kesehatan digelar di Shanghai. Konferensi itu digelar disela-sela Forum Wali Kota Internasional di mana pemimpin kota memainkan peranan utama untuk menciptakan lingkungan urban yang sehat seiring dengan meningkatnya populasi. Saat itu, lebih dari 100 wali kota bersiap mengadopsi Shanghai Consensus on Health Cities 2016.
"Pemerintah perlu mengembangkan rencana strategi dan kebijakan untuk mewujudkan pendekatan kota sehat dengan partisipasti komunitas, kemitraan, pemberdayaan dan ekuitas," kata pejabat WHO, Roberto Bertollini, dilansir The Peninsula Qatar.
WHO sebenarnya telah mengampanyekan program Kota Sehat sejak 1986 dengan lahirnya Ottawa Charter for Health Promotion. Sejak itu, program kota sehat pun menyebar ke seluruh dunia. Kota sehat memiliki tujuan, menurut WHO, adalah menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan, menyediakan kualitas kehidupan yang baik, menyediakan sanitas dasar dan higienitas, dan mendukung akses perawatan kesehatan.
“Program kota sehat seharusnya mempromosikan pemberdayaan masyarakat dan memperkuat partisipasi masyarakat,” kata Sadriya Al Kohji, Kepala Jaringan Kota Sehat WHO.
“Kota sehat juga bisa menciptakan struktur organisasi untuk implementasi program kesehatan publik dan memperkuat sinergisitas lintas sektoral serta membangun masa depan yang lebih sehat bagi anak-anak,” ujarnya.
Kota-kota di dunia selama ini mengabaikan upaya pencegahan terhadap terjadinya pandemi. Pertumbuhan kota di dunia juga masih berfokus pada Revolusi Industri yang menyebabkan jalanan dipenuhi polusi, seperti London dan New York. Pertumbuhan kota maju juga tidak mampu membendung berbagai wabah di mana sistem sanitasi menjadi hal utama.
“Banyak orang tinggal di kota yang menjadi jebakan kematian karena mengurangi ekspektasi kehidupan,” kata penulis buku The Fever and Pandemic, Sonia Shah. Menurut dia, justru banyak kota yang mengundang kematian dan wabah.
Dalam beberapa tahun terakhir, juga banyak kota fokus pada kesehatan dalam perencanaan dan pertumbuhannya.
“Untuk daya tahan dan keberlanjutan, kota memerlukan desain dan evaluasi berbasis lensa kesehatan,” kata Layla McCay, direktur Centre for Urban Design and Mental Health.
Banyak kota yang sudah memberikan contoh. Sejak 2016, Singapura membangun banyak taman untuk terapi dan meningkatkan kesehatan mental dan emosi. Di Tokyo, penduduk juga bekerja sama dengan desainer untuk mendesain lingkungan yang lebih hijau.
Di masa pandemi, kota yang padat dan sibuk menjadi permasalahan besar. Tanpa langkah kesehatan publik untuk melawan penyebaran infeksi, maka kota itu akan menghadapi masalah.
“Kota yang menjadi pusat dan penghubung komersial dan mobiltas umumnya berpenduduk padat dan terkoneksi sehingga memunculkan risiko pandemi,” kata Rebecca Katz, direktur Centre for Global Health Science and Security dan Robert Muggah, direktur Igarapé Institute.
Dengan estimasi 68% populasi dunia akan tinggal di kota pada 2050, maka dibutuhkan desain kota yang baik untuk menghadapi pandemi yang bukan hanya korona saja.
Kota-kota kaya seperti Kopenhagen yang memiliki ruang terbuka hijau dan jalur sepeda menjadi pengecualian. Tapi berbeda dengan kota yang kurang beruntung seperti Nairobi, di Kenya dan Dhaka, Bangladesh.
“Tanpa sanitasi yang baik atau akses air bersih untuk mencuci tangan menjadikan pandemi bisa menyebar,” kata Elvis Garcia, pakar kesehatan publik di Harvard Graduate School of Design. “Dalam 10 tahun, 10% populasi dunia akan tinggal di kota dengan akses air, kesehatan dan sanitasi yang terbatas,” katanya.
Kepadatan penduduk menjadi faktor penting yang mempengaruhi penyebaran penyakit infeksi seperti virus korona. Itu dikarenakan munculnya kerumunan yang meningkatkan frekuensi penyebaran penyakit. Misalnya, Wuhan, kota yang menjadi awal munculnya virus korona, dikenal sebagai kota padat dengan 11 juta jiwa.
Sepertinya New York merupakan pusat wabah korona di Amerika Serikat karena merupakan kota paling padat di Negeri Paman Sam. Di masa depan atau pascapandemi, kota harus memiliki pedestrian yang lebar dan memiliki ruang terbuka hijau.
Dalam pandangan Johan Woltjer dari Universitas Westminster, pandemi akan mnjadi bagian kehidupan manusia, untuk itu kota harus bisa beradaptasi.
“Selama krisis, kita seperti pada momen untuk bisa memiliki kota yang memiliki pusat kesehatan yang fleksibel dan luas,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, Rumah Sakit Nightingale di London mampu menambung 4.000 pasien. Di Wuhan, rumah sakit dengan 1.000 tempat tidur bisa dibangun dalam sembilan hari. “Kota harus mampu berubah dengan cepat, baik suplai produk esensial, berlanja dan rute evakuasi,” kata Woltjer.
Apresiasi untuk Kota Sehat di Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mendorong terciptanya kota sehat dengan memberikan apresiasi Kabupaten Kota Sehat (KKS) sejak 2005 lalu.
KKS bukanlah sebuah lomba melainkan apresiasi pemerinta pusat pada pemerintah daerah yang sudah menyelenggarakan KKS sesuai Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 34 tahun 2005 dan Nomor:1138/Menkes/PB/VIII/2005.
Pemerintah berharap seluruh wilayah di Tanah Air dapat bersih, aman, dan nyaman demi meningkatkan sarana, produktivitas, dan perekonomian. Penyelenggara KKS terdiri dari banyak sektor, mulai dari Kawasan Pemukiman, Sarana dan Prasarana Umum, Kawasan Sarana Lalu Lintas Tertib dan Pelayanan Transportasi, Kawasan Industri dan Perkantoran Sehat, Kawasan Pariwisata Sehat, Kawasan Pangan dan Gizi, Kehidupan Masyarakat Sehat dan Mandiri hingga Kehidupan Sosial Sehat.
“Kondisi sehat, baik fisik, mental, ataupun spiritual dapat membuat kita menjadi lebih produktif,” ungkap Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin. Senada dengan Budi, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menilai kesehatan merupakan isu strategis dan sentral untuk mendukung program pembangunan nasional.
Dalam pandangan Ketua Ahli Kesehatan Masyarakat yang juga dosen Universitas Indonesia (UI) Ede S Darmawan, konsep kota sehat dibangun sebelum kehidupan sosial terjadi. Idealnya, lingkungan mendukung untuk kehidupan manusia yang sehat dan menyehatkan.
Namun sayangnya yang terjadi saat ini adalah sudah banyak kota artificial dan tidak alami. Dengan demikian sudah banyak perubahan di lingkungan tersebut. Lingkungan tersebut memang dilengkapi dengan fasilitas pendukung untuk kehidupan namun menjadi rusak.
“Kota sehat itu bagaimana mempertahankan, bagaimana kondisi lingkungan yang sehat dan menyehatkan. Yang namanya kota selain kelengkapan fasilitas juga kelengkapan keteraturan jadi seharusnya disitulah idealnya,” katanya kepada KORAN SINDO.
Konsep utama kota sehat adalah ketersediaan udara yang sehat dan cukup. Sedangkan di tatanan atas konsep kota sehat adalah kawasan. Sekali lagi, Ede mengingatkan bahwa konsep dasaranya adalah udara yang bersih. “Untuk menyehatkan orang basicnya udara yang sehat cukup, baru kemudian makanan, pakaian, kehidupan, tempat tinggal dan pelayanan. Kawasan itu adanya diatas, basickya udara yang bersih. Idealnya semakin menjadi kota seharusnya lebih teratur, udara bersih kehidupan lebih baik,” tambahnya.
Namun sayangnya saat ini banyak kota yang tumbuh tidak jelas, sehingga dampak buruknya banyak walaupun itu terjadi karena trade off. Maksudnya adalah kerusakan yang terjadi karena berkembangnya kehidupan dan pelayanan banyak orang. “Sebenarnya membangun kota sehat jadi tujuan utama. Kota yang lifeable, workable. Suatu kota menjadi hidup tapi orang bisa menempun dengna jalan kaki, bukan berisi himpunan beton,” tukas Ede.
Pengamat tata kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga mengatakan, saat ini konsep kota sehat belum menjadi dasar pengembangan kota. Padahal seiring dengan pandemi, konsep kota sehat sudah wajib diterapkan di Indonesia. Selain itu kata Nirwono, WHO dan UN Habitat merekomendasikan seluruh negara untuk membangun kota sehat sesuai standar WHO.
“Konsep kota sehat belum menjadi dasar pengembangan kota, padahal seiring dengna pandemi konsep kota sehat sdh wajib diterapkan di Indonesia. WHO dan UN Habitat merekomendasikan seluruh negara utk membgn kota sehat sesuai standar WHO,” kata Nirwono.
Menurut Nirwono, kota-kota di dunia yang dinilai masuk kategori kota sehat misalnya Singapura, Auckland dan Madinah. Dia berpendapat, kota sehat sebagai bagian dari SDGs sehingga Indonesia wajib menerapkan Goals/Tujuan 11 mewujudkan kota yang aman (sehat), inklusif, tangguh, berkelanjutan. Namun saat ini belum ada keseriusan dar pemerintah dalam mewujudkan kota sehat.
“Belum ada keseriusan dalam mewujudkan kota sehat, ini tampak pada ketidaksiapan dalam menghadapi pandemi covid-19, masih banyak permukiman kumuh miskin yang tdampak parah pandemi, infrastruktur kesehatan masyarakat (tenaga medis, fasilitas kesehatan terbatas),” tegasnya.
(ynt)