Puasa, Takwa, dan Kemajuan Bangsa

Senin, 18 Mei 2020 - 08:05 WIB
loading...
Puasa, Takwa, dan Kemajuan Bangsa
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS. Foto: Ist
A A A
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS
Ketua Dewan Pakar Ikhwanul Mubalighin

SELURUH rakyat Indonesia mendambakan kehidupan bernegara yang maju, adil-makmur, dan berdaulat. Alhamdulillah sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan. Namun, dengan pendapatan nasional kotor (gross national income/GNI) per kapita USD3.970 pada 2019 (sebelum wabah Covid-19), Indonesia hingga kini masih tergolong kelompok negara berpendapatan menengah bawah.

Menurut Bank Dunia (2010), suatu negara berhak menyandang status negara makmur (berpendapatan tinggi), bila GNI per kapitanya lebih dari USD12.165 per tahun. Sebagai perbandingan, GNI per kapita Singapura sudah mencapai USD58.770, Brunei Darussalam USD31.020, Malaysia USD10.460, dan Thailand USD6.610. Selain itu, bangsa yang maju dan sejahtera memiliki indeks pembangunan manusia (IPM) di atas 80 (very high human development index). Hingga tahun lalu, IPM Indonesia hanya sebesar 70,5 (high HDI) yang menempati peringkat 111 di dunia dan ke-6 di ASEAN setelah Singapura (peringkat 9 dunia), Brunei Darussalam (43), Malaysia (61), Thailand (77), dan Filipina (106) berdasarkan data UNDP 2019.

Padahal, Indonesia memiliki potensi yang lengkap dan besar untuk menjadi negara maju nan makmur. Selain IPM yang belum mencapai nilai 80, hampir semua indikator yang menggambarkan kualitas SDM bangsa kita tergolong rendah, belum memenuhi kriteria sebagai bangsa maju. Kemudian pada 2016, Central Connecticut State University merilis laporan hasil risetnya berjudul The World’s Most Literate Nations yang menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 61 negara yang diteliti. Hanya satu tingkat di atas Botswana, negara sangat miskin di Benua Afrika.

Hasil penelitian PISA (Programme for International Student Assessment) yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan alam pelajar setingkat SLTP di seluruh dunia mengungkapkan bahwa pada 2015, dari 70 negara yang disurvei, Indonesia hanya menempati peringkat 62. Produktivitas tenaga kerja kita pun hanya setara dengan USD23.390 per tahun. Kita juga menghadapi darurat gizi buruk karena sekitar 30% anak balita mengalami stunting growth dan 33% menderita gizi buruk. Jika tidak segera diperbaiki, kita akan mewariskan generasi yang lemah fisik dan rendah kecerdasannya, a lost generation.

Berkah Puasa Ramadan
Sejatinya Allah Azza wa Jalla yang menciptakan manusia dan alam semesta dengan gamblang memberikan pedoman (kunci) untuk membuka pintu langit agar suatu bangsa bisa maju dan sejahtera, “Baldatun toyyibatun warobun ghafur”. Kunci tersebut adalah takwa. Sebagaimana firman-Nya, “Dan sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi….” (QS Al-A’raf: 96). Wujud nyata dari berkah dalam konteks kehidupan berbangsa adalah kemajuan, kesejahteraan, kedamaian, dan kedaulatan.

Takwa juga menjamin orang yang mengamalkannya kesuksesan dan kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Sebagaimana Allah tegaskan dalam Alquran Surat At-Talaq bahwa “… Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya” (ayat 2); “Memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya dan mencukupkan keperluannya …” (ayat 3); “menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya” (ayat 4); dan “Menghapus kesalahan-kesalahannya dan melipatgandakan pahala baginya” (ayat-5). Selain itu, Allah berfirman “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan hanya bagi orang-orang yang bertakwa” (QS Ali-‘Imran: 133).

Menurut jumhur ulama, takwa adalah mengerjakan semua perintah Allah dan meninggalkan setiap larangan-Nya. Harus dicatat bahwa perintah Allah itu bukan hanya berupa salat, puasa, zakat, haji, dan ibadah mahdhah lainnya, tetapi juga terkait muamalah (kesalehan sosial) seperti mengais rezeki secara halal, konsumsi makanan yang halal lagi baik, hidup bersih, menuntut dan mengamalkan iptek, bekerja keras, jujur, ikhlas, disiplin, menyayangi sesama, toleran, merawat dan melestarikan lingkungan, dan amal saleh lainnya.

Larangan pun bukan hanya mencuri, berzina, minuman keras, judi, dan narkoba, tetapi juga malas, bohong, zalim, dengki, marah, kikir, kemaksiatan, serta etos kerja buruk lainnya. Muslim yang memiliki iman yang kokoh, terutama kepada Allah SWT dan akhirat, pasti akan bertakwa. Pasalnya, jika tidak takwa, dia akan menjadi penghuni neraka. Siksaan yang paling ringan di neraka adalah seperti “Seseorang dipakaikan sandal, lalu mendidih ubun-ubunya” (hadis).

Maka itu, wajar ketika umat Islam beriman dan bertakwa secara kaffah (menyeluruh) dan ‘itibba (menurut yang dicontohkan Rasulullah SAW) sejak zaman Rasulullah SAW, Fatukh Mekah (7 M) sampai 16 M, umat Islam menggapai masa keemasannya; menjadi maju, sejahtera, berdaulat, dan menguasai lebih dari dua pertiga dunia. Di antara ilmuwan muslim yang namanya harum dan abadi sampai sekarang adalah Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi SAW, ilmuwan pelopor etos ilmiah), Al-Khawarizmi (Bapak Aljabar dan Algoritma), Al-Battani (astronom penemu waktu 24 jam per hari), Ibnu Farnas (desainer pertama pesawat terbang), Ibnu Khaldun (ilmu tata negara), dan Umar Khayyam (penyair yang merintis geometri analitis).

Paradoks Kehidupan Muslim
Karena maksud Allah mewajibkan orang beriman mengerjakan ibadah puasa Ramadan agar menjadi orang bertakwa (QS Al-Baqarah: 183), maka mestinya kualitas SDM Indonesia sudah sangat unggul dan Indonesia sudah menjadi negara maju dan sejahtera. Bayangkan, andaikan 230 juta muslim Indonesia (87% total penduduk) semuanya bertakwa, niscaya Indonesia sudah mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaannya.

Pertanyaannya, mengapa sudah 74 kali muslim Indonesia berpuasa Ramadan sejak 1945, tetapi Indonesia masih sebagai negara berkembang? Pertama, menurut sebuah survei (2017) bahwa muslim Indonesia yang menjalankan salat lima waktu hanya 25% dan puasa Ramadan hanya 50%. Dari jumlah tersebut ditengarai mayoritas mereka yang berpuasa kelasnya hanya puasa awam, hanya mendapatkan lapar dan dahaga alias gagal mencapai derajat takwa.

Kedua, pahala (reward) utama untuk mukmin yang takwa adalah surga di akhirat yang sifatnya jangka sangat panjang dan gaib. Sementara fakta kehidupan pada era kapitalisme sekarang justru mereka yang jauh dari Allah, bahkan bermaksiat kepada Allah, yang hidupnya sukses. Sebagian besar mereka menduduki jabatan tertinggi atau tinggi di negaranya, kaya raya bahkan superkaya, dan popularitasnya menjulang tinggi sehingga banyak muslim awam dan sekuler yang tergoda mengikuti pola hidup mereka.

Ketiga, boleh jadi karena kondisi kehidupan masyarakat yang tidak kondusif bagi kita untuk bertakwa. Tempat hiburan dan media massa, khususnya medsos dan elektronik, semakin masif dipenuhi berita, gambar, dan video yang merangsang nafsu berahi, perilaku konsumtif, tindak kriminal, dan kemaksiatan. Sistem politik yang menganut demokrasi liberal (bertentangan dengan Pancasila) sarat dengan politik uang, pencitraan, dan hipokrasi sehingga sampai sekarang sedikit sekali atau mungkin belum ada pemimpin dan elite politik kita yang capable (berkapasitas) sekaligus berintegritas dan negarawan.

Yang lebih menyesakkan dada, dunia pendidikan kita pun sudah terinfeksi virus sogok-menyogok, perjokian, menyontek, guru dan dosen tidak dihormati murid dan mahasiswanya, malas belajar, budaya instan, dan dekadensi moral lainnya. Budaya membaca, etos riset, dan moralitas kebajikan jauh dari standar kemajuan dunia pendidikan Barat, apalagi dibandingkan budaya ilmiah dan moralitas pada masa keemasan Islam.

Momentum Puasa Ramadan
Karena itu, seluruh umat Islam Indonesia harus menjadikan ibadah puasa Ramadan di tengah pandemi virus korona ini sebagai momentum untuk meningkatkan iman dan takwa kita kepada Allah SWT. Iman dan takwa yang istikamah (sepanjang masa) dan tidak hanya membuahkan kesalehan individual (rajin ibadah mahdhah), tetapi juga memancarkan kesalehan sosial berupa etos kerja unggul, akhlak mulia, dan semangat berbagi untuk mewujudkan Indonesia maju, adil-makmur, damai, dan berdaulat.

Untuk itu, selain salat wajib dan zakat, kita harus meningkatkan kuantitas dan kualitas amalan sunah, mulai salat tarawih, tahajud, tadarus dan tadabur Alquran, berzikir, bersedekah, sampai memberi makanan berbuka puasa kepada yang membutuhkan. Terpenting, kita niatkan ibadah puasa kita semata-mata hanya karena iman dan ikhlas kepada Allah SWT. Jangan pernah goyah iman kita dan tergoda untuk berbuat maksiat gara-gara menyaksikan banyak pendosa, bahkan melawan Allah SWT, tetapi kehidupan dunianya sangat sukses, jabatannya tinggi, hartanya melimpah, serta sangat populer dan dikagumi publik.

Faktanya, banyak orang yang sukses lahiriah (duniawi), tetapi jiwanya kering kerontang, gelisah, tidak pernah puas dengan yang dimiliknya, dan hidupnya penuh tekanan. Istri atau suaminya selingkuh, anak-anaknya berandalan, kecanduan narkoba, dan penderitaan batin lainnya. Kalaupun kehidupan dunianya tampak senang dan selamat (istijraj),kalau tidak sempat melakukan taubatan nasuha ketika ajal menjemputnya, di akhirat dia akan menjadi penghuni neraka.

Akhirnya, di bumi Pancasila ini para pemimpin bangsa dan elite politik harus menciptakan ekosistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang kondusif untuk penduduk negeri ini beriman dan bertakwa menurut agamanya masing-masing. Lebih dari itu, antarumat beragama harus saling menghormati dan hidup harmonis. Dengan demikian, Indonesia yang maju, adil-makmur, damai, dan berdaulat insya Allah akan segera terwujud, paling lama 2045.
(thm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1707 seconds (0.1#10.140)