Digitalisasi dan Keberlangsungan Usaha Mikro Perempuan
loading...
A
A
A
Kolaborasi ini diharapkan dapat mempermudah para pengusaha mikro perempuan untuk mengaplikasikan sistem daring dengan pendampingan langsung dan berkelanjutan. Ini sejalan dengan pengalaman dalam mendigitalisasikan pengusaha mikro di perdesaan dan daerah terisolasi melalui program “Go Digital ASEAN” yang disampaikan oleh Maloney Lindberg, representatif the Asia Foundation pada sebuah webinar berjudul Upskilling to Succeed-ASEAN MSMEs in the Digital Economy, 8 Oktober 2020. Go Digital ASEAN menargetkan 200.000 penerima manfaat, di mana 20.000 di antaranya dari Indonesia.
Terakhir, tidak selamanya pengusaha mikro dapat bergantung pada dukungan pemerintah karena sumber daya yang terbatas. Dalam mempercepat digitalisasi, perlu ada inisiasi independen dari pengusaha mikro sendiri. Untuk mendukung usaha digitalisasi mandiri, pemerintah melalui Kemendag dapat mendukung melalui mengurangi hambatan melakukan bisnis daring. Kemendag dapat mempertimbangkan untuk merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 50/2020 yang memandatkan semua penjual daring untuk memiliki izin. Menurut beberapa studi, aturan ini dapat menghambat transformasi digital pengusaha mikro karena perolehan izin di Indonesia cukup kompleks (Sugiyanto et al., 2020; Bachtiar et al., 2020; Aprilianti & Dina, 2021). Untuk memperoleh izin usaha mikro kecil (IUMK), dibutuhkan surat pengantar dari kecamatan, KTP dan kartu keluarga (KK) pemilik usaha, foto, dan formulir aplikasi yang terisi.
Walaupun sudah disederhanakan, pengusaha mikro yang berada di perdesaan masih ada yang tidak bisa mengakses karena tidak memiliki KTP (Bachtiar et al., 2020). IUMK dapat diperoleh melalui formulir online yang disebut Online Single Submission (OSS), tetapi tidak semua pengusaha mikro dapat memiliki kapasitas untuk menggunakan dan mengakses laman tersebut. Sebaliknya, sebagai kompensasi izin, upaya penegakan hukum untuk melindungi konsumen daring harus digencarkan. Penegakan hukum dapat dilakukan dengan merevisi UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Walaupun sebagian besar transaksi daring diatur dalam UU No 11/2008 dan No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta PP No 71/2019, namun tetap dibutuhkan penguatan melalui level UU yang dapat memberikan sanksi pidana. Selain itu, UU ITE dan PP No 71/2019 belum memasukkan beberapa area penting terkait transaksi daring, seperti mode bisnis dropshipping serta penanganan mekanisme keluhan antarnegara.
Dampak Digitalisasi
Memastikan keberlangsungan usaha mikro yang dimiliki perempuan sepatutnya menjadi prioritas dalam kerangka pemulihan ekonomi nasional. Digitalisasi dapat menjadi sebuah solusi, didukung oleh studi yang dilakukan oleh Lestariningsih et al (2017) bahwa peningkatan 10% akses internet terhadap perempuan akan meningkatkan produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar 0,51%. Peningkatan ini lebih besar dibandingkan dengan pria, yaitu 0,43%. Jika dilaksanakan secara efektif, usaha untuk mendigitalisasi pengusaha mikro perempuan juga dapat berkontribusi meningkatkan angkatan kerja perempuan dan selanjutnya memperkecil indeks ketimpangan gender Indonesia. Menurut UNDP (2020), partisipasi perempuan dan laki-laki pada angkatan kerja Indonesia masih timpang, 82% laki-laki dan 53% perempuan di atas usia 15 tahun pada 2019.
Terakhir, tidak selamanya pengusaha mikro dapat bergantung pada dukungan pemerintah karena sumber daya yang terbatas. Dalam mempercepat digitalisasi, perlu ada inisiasi independen dari pengusaha mikro sendiri. Untuk mendukung usaha digitalisasi mandiri, pemerintah melalui Kemendag dapat mendukung melalui mengurangi hambatan melakukan bisnis daring. Kemendag dapat mempertimbangkan untuk merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 50/2020 yang memandatkan semua penjual daring untuk memiliki izin. Menurut beberapa studi, aturan ini dapat menghambat transformasi digital pengusaha mikro karena perolehan izin di Indonesia cukup kompleks (Sugiyanto et al., 2020; Bachtiar et al., 2020; Aprilianti & Dina, 2021). Untuk memperoleh izin usaha mikro kecil (IUMK), dibutuhkan surat pengantar dari kecamatan, KTP dan kartu keluarga (KK) pemilik usaha, foto, dan formulir aplikasi yang terisi.
Walaupun sudah disederhanakan, pengusaha mikro yang berada di perdesaan masih ada yang tidak bisa mengakses karena tidak memiliki KTP (Bachtiar et al., 2020). IUMK dapat diperoleh melalui formulir online yang disebut Online Single Submission (OSS), tetapi tidak semua pengusaha mikro dapat memiliki kapasitas untuk menggunakan dan mengakses laman tersebut. Sebaliknya, sebagai kompensasi izin, upaya penegakan hukum untuk melindungi konsumen daring harus digencarkan. Penegakan hukum dapat dilakukan dengan merevisi UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Walaupun sebagian besar transaksi daring diatur dalam UU No 11/2008 dan No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta PP No 71/2019, namun tetap dibutuhkan penguatan melalui level UU yang dapat memberikan sanksi pidana. Selain itu, UU ITE dan PP No 71/2019 belum memasukkan beberapa area penting terkait transaksi daring, seperti mode bisnis dropshipping serta penanganan mekanisme keluhan antarnegara.
Dampak Digitalisasi
Memastikan keberlangsungan usaha mikro yang dimiliki perempuan sepatutnya menjadi prioritas dalam kerangka pemulihan ekonomi nasional. Digitalisasi dapat menjadi sebuah solusi, didukung oleh studi yang dilakukan oleh Lestariningsih et al (2017) bahwa peningkatan 10% akses internet terhadap perempuan akan meningkatkan produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar 0,51%. Peningkatan ini lebih besar dibandingkan dengan pria, yaitu 0,43%. Jika dilaksanakan secara efektif, usaha untuk mendigitalisasi pengusaha mikro perempuan juga dapat berkontribusi meningkatkan angkatan kerja perempuan dan selanjutnya memperkecil indeks ketimpangan gender Indonesia. Menurut UNDP (2020), partisipasi perempuan dan laki-laki pada angkatan kerja Indonesia masih timpang, 82% laki-laki dan 53% perempuan di atas usia 15 tahun pada 2019.
(bmm)