Menuju Negara Paripurna
loading...
A
A
A
Dalam konteks seperti ini bisa ditegaskan, tidak ada negara dalam peristiwa aksi terorisme di masa lalu. Negara tidak ada pada saat aksi-aksi terorisme itu terjadi. Negara juga tidak ada pada saat para korban mengalami segala dampak dari aksi terorisme yang ada.
Padahal, secara teori, aksi terorisme tidak ditargetkan kepada para korban, khususnya dari masyarakat sipil. Mengingat para pelaku terorisme tidak ada masalah dengan para korban, khususnya dari kalangan sipil. Alih-alih, para pelaku terorisme bahkan tidak kenal dengan para korban. Sebaliknya, para pelaku terorisme ada masalah dengan sistem ataupun kebijakan negara hingga mereka merencanakan aksi yang sejatinya ditargetkan kepada negara maupun aparatnya, khususnya aparat keamanan. Alih-alih menghancurkan negara dan menggantinya sesuai dengan sistem negara yang mereka perjuangkan, aksi terorisme justru melukai, bahkan membunuh, banyak masyarakat sipil.
Dalam konteks seperti ini, penulis kerap menyebut para korban aksi terorisme sebagai martir negara. Mereka terluka, bahkan meninggal dunia, karena kejahatan yang dialamatkan kepada negara. Mereka terluka, bahkan meninggal dunia, karena kelalaian negara dalam melindungi segenap tumpah darah warganya. Lebih miris lagi, puluhan tahun negara membiarkan para martirnya berjuang sendirian untuk menghadapi segala dampak fisik maupun psikis yang timbul dari aksi terorisme yang ada.
Peran Strategis LPSK
Sejarah pemenuhan hak korban terorisme di Indonesia mengalami perubahan yang sangat besar pada 2014. Pada tahun ini Indonesia merevisi UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi UU Nomor 31/2014. Dalam undang-undang ini untuk pertama kalinya hak medis, psikologis, dan psikososial diberikan oleh negara kepada para korban aksi terorisme (Pasal 6). Bahkan undang-undang ini juga memuat ulang ketentuan hak kompensasi dan restitusi yang implementasinya dirujuk kembali ke UU Nomor 15/2003, yakni harus melalui putusan pengadilan (Pasal 7 ayat 4).
Melalui LPSK negara hadir untuk pertama kali bagi para korban, memberikan layanan medis, layanan psikologis, dan juga psikososial. Kehadiran negara (melalui LPSK) pada 2014 dan seterusnya berdasarkan hak yang diatur di dalam undang-undang, bukan berdasarkan belas kasihan dari pejabat negara tertentu seperti sebelum tahun 2014 (karena belum ada ketentuan yang mengatur secara spesifik). Bahkan ketentuan kompensasi yang sudah diundangkan sejak 2003 akhirnya bisa diimplementasikan pada 2017 dalam kasus bom Samarinda, sebagian korban bom Thamrin (2016), sebagian korban bom Kampung Melayu (2017), sebagian korban bom Surabaya (2018) dan sebagian korban bom Sibolga (2019).
Kehadiran negara melalui LPSK kepada para korban sangat strategis. Tidak hanya karena sesuai dengan ketentuan UU (sebagaimana di atas), melainkan dan terutama karena secara teori terorisme dialamatkan kepada negara maupun pejabatnya. Pada saat yang sama negara memiliki kewajiban untuk melindungi segenap warganya. Karena itu, LPSK perlu didukung oleh semua pihak (mulai dari komunitas korban hingga kementerian maupun lembaga negara terkait) untuk terus mengimplementasikan dan memenuhi hak-hak korban terorisme sesuai kebutuhan faktual yang ada di lapangan. Mengingat dalam konteks pemenuhan hak-hak korban terorisme, peran LPSK selama ini telah menjadi bukti nyata dari keberadaan negara.
Tahun 2018 menjadi “tahun penyempurna” bagi sejarah hak-hak korban terorisme di Indonesia, paling tidak secara normatif. Pada tahun ini revisi atas UU Nomor 15/2003 disahkan menjadi UU Nomor 5/2018. Dalam undang-undang ini hak-hak korban terorisme mengalami penguatan, bahkan kompensasi untuk korban aksi terorisme di masa lalu pun turut diatur dalam undang-undang ini. Bahkan ketentuan terkait kompensasi bagi korban aksi terorisme di masa lalu sangat istimewa karena diatur melalui mekanisme penghitungan dan penetapan dari LPSK, bukan melalui putusan pengadilan. Akhirnya, setelah pemerintah menerbitkan PP Nomor 35/2020 sebagai peraturan turunan, kompensasi untuk korban aksi terorisme di masa lalu diberikan secara simbolik oleh Presiden Joko Widodo pada 16 Desember lalu.
Berdasarkan pengalaman penulis menghadiri forum-forum internasional terkait korban terorisme (termasuk yang diselenggarakan oleh lembaga di bawah PBB), tidak banyak negara yang memiliki aturan khusus untuk pemenuhan hak-hak korban terorisme, khususnya kompensasi untuk korban aksi terorisme di masa lalu. Tidak sedikit negara yang memberikan hak kepada korban aksi terorisme dan korban kejahatan lain. Padahal, terorisme berbeda dengan kejahatan lain, minimal dalam hal tidak adanya hubungan (baik langsung atau tidak) antara pelaku dan korban dari sebuah tindak pidana terorisme.
Pengalaman menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada dalam dunia terorisme (termasuk dalam pemenuhan hak korban) bisa dijadikan sebagai model sekaligus modal berarti bagi bangsa ini dalam upaya menyempurnakan kekurangan yang lain di bidang yang lain pula. Misalnya persoalan HAM di masa lalu, masalah kebebasan beragama atau berkeyakinan dan masalah-masalah lain. Hingga negara ini terus berproses menuju negara paripurna.
Padahal, secara teori, aksi terorisme tidak ditargetkan kepada para korban, khususnya dari masyarakat sipil. Mengingat para pelaku terorisme tidak ada masalah dengan para korban, khususnya dari kalangan sipil. Alih-alih, para pelaku terorisme bahkan tidak kenal dengan para korban. Sebaliknya, para pelaku terorisme ada masalah dengan sistem ataupun kebijakan negara hingga mereka merencanakan aksi yang sejatinya ditargetkan kepada negara maupun aparatnya, khususnya aparat keamanan. Alih-alih menghancurkan negara dan menggantinya sesuai dengan sistem negara yang mereka perjuangkan, aksi terorisme justru melukai, bahkan membunuh, banyak masyarakat sipil.
Dalam konteks seperti ini, penulis kerap menyebut para korban aksi terorisme sebagai martir negara. Mereka terluka, bahkan meninggal dunia, karena kejahatan yang dialamatkan kepada negara. Mereka terluka, bahkan meninggal dunia, karena kelalaian negara dalam melindungi segenap tumpah darah warganya. Lebih miris lagi, puluhan tahun negara membiarkan para martirnya berjuang sendirian untuk menghadapi segala dampak fisik maupun psikis yang timbul dari aksi terorisme yang ada.
Peran Strategis LPSK
Sejarah pemenuhan hak korban terorisme di Indonesia mengalami perubahan yang sangat besar pada 2014. Pada tahun ini Indonesia merevisi UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi UU Nomor 31/2014. Dalam undang-undang ini untuk pertama kalinya hak medis, psikologis, dan psikososial diberikan oleh negara kepada para korban aksi terorisme (Pasal 6). Bahkan undang-undang ini juga memuat ulang ketentuan hak kompensasi dan restitusi yang implementasinya dirujuk kembali ke UU Nomor 15/2003, yakni harus melalui putusan pengadilan (Pasal 7 ayat 4).
Melalui LPSK negara hadir untuk pertama kali bagi para korban, memberikan layanan medis, layanan psikologis, dan juga psikososial. Kehadiran negara (melalui LPSK) pada 2014 dan seterusnya berdasarkan hak yang diatur di dalam undang-undang, bukan berdasarkan belas kasihan dari pejabat negara tertentu seperti sebelum tahun 2014 (karena belum ada ketentuan yang mengatur secara spesifik). Bahkan ketentuan kompensasi yang sudah diundangkan sejak 2003 akhirnya bisa diimplementasikan pada 2017 dalam kasus bom Samarinda, sebagian korban bom Thamrin (2016), sebagian korban bom Kampung Melayu (2017), sebagian korban bom Surabaya (2018) dan sebagian korban bom Sibolga (2019).
Kehadiran negara melalui LPSK kepada para korban sangat strategis. Tidak hanya karena sesuai dengan ketentuan UU (sebagaimana di atas), melainkan dan terutama karena secara teori terorisme dialamatkan kepada negara maupun pejabatnya. Pada saat yang sama negara memiliki kewajiban untuk melindungi segenap warganya. Karena itu, LPSK perlu didukung oleh semua pihak (mulai dari komunitas korban hingga kementerian maupun lembaga negara terkait) untuk terus mengimplementasikan dan memenuhi hak-hak korban terorisme sesuai kebutuhan faktual yang ada di lapangan. Mengingat dalam konteks pemenuhan hak-hak korban terorisme, peran LPSK selama ini telah menjadi bukti nyata dari keberadaan negara.
Tahun 2018 menjadi “tahun penyempurna” bagi sejarah hak-hak korban terorisme di Indonesia, paling tidak secara normatif. Pada tahun ini revisi atas UU Nomor 15/2003 disahkan menjadi UU Nomor 5/2018. Dalam undang-undang ini hak-hak korban terorisme mengalami penguatan, bahkan kompensasi untuk korban aksi terorisme di masa lalu pun turut diatur dalam undang-undang ini. Bahkan ketentuan terkait kompensasi bagi korban aksi terorisme di masa lalu sangat istimewa karena diatur melalui mekanisme penghitungan dan penetapan dari LPSK, bukan melalui putusan pengadilan. Akhirnya, setelah pemerintah menerbitkan PP Nomor 35/2020 sebagai peraturan turunan, kompensasi untuk korban aksi terorisme di masa lalu diberikan secara simbolik oleh Presiden Joko Widodo pada 16 Desember lalu.
Berdasarkan pengalaman penulis menghadiri forum-forum internasional terkait korban terorisme (termasuk yang diselenggarakan oleh lembaga di bawah PBB), tidak banyak negara yang memiliki aturan khusus untuk pemenuhan hak-hak korban terorisme, khususnya kompensasi untuk korban aksi terorisme di masa lalu. Tidak sedikit negara yang memberikan hak kepada korban aksi terorisme dan korban kejahatan lain. Padahal, terorisme berbeda dengan kejahatan lain, minimal dalam hal tidak adanya hubungan (baik langsung atau tidak) antara pelaku dan korban dari sebuah tindak pidana terorisme.
Pengalaman menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada dalam dunia terorisme (termasuk dalam pemenuhan hak korban) bisa dijadikan sebagai model sekaligus modal berarti bagi bangsa ini dalam upaya menyempurnakan kekurangan yang lain di bidang yang lain pula. Misalnya persoalan HAM di masa lalu, masalah kebebasan beragama atau berkeyakinan dan masalah-masalah lain. Hingga negara ini terus berproses menuju negara paripurna.