Menuju Negara Paripurna
loading...
A
A
A
Hasibullah Satrawi
Ketua Pengurus Aliansi Indonesia Damai (Aida)
Tanggal 16 Desember 2020 menjadi hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya dalam proses menuju negara paripurna. Pada tanggal itu Presiden Republik Indonesia Joko Widodo secara simbolik menyerahkan kompensasi bagi para korban aksi terorisme di masa lalu. Dari total 215 korban aksi terorisme yang akan mendapatkan kompensasi pada tahapan sementara ini, sebagian korban diundang ke Istana Merdeka untuk menerima kompensasi secara simbolik.
Berdasarkan UU Nomor 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35/2020 sebagai peraturan turunan, yang dimaksud dengan korban aksi terorisme di masa lalu adalah mereka yang menjadi korban dari aksi terorisme yang terjadi sebelum undang-undang tersebut disahkan (2018) hingga peristiwa terjadinya aksi terorisme di Bali pada 2002 (dikenal dengan istilah Bom Bali I). Ketentuan peralihan dalam undang-undang tersebut (Pasal 43L) menyebutkan bahwa korban di masa lalu yang belum mendapatkan layanan medis, psikologi, psikososial, dan kompensasi berhak (bisa diproses) untuk mendapatkan hak-hak tersebut (ayat 1).
Bahkan pemberian kompensasi untuk korban di masa lalu diberikan keistimewaan; tidak harus melalui putusan pengadilan (sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat 6), melainkan bisa melalui penetapan dan penghitungan yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK (Pasal 43L ayat 6). Jenis kompensasi inilah yang secara simbolik diberikan Presiden pada 16 Desember 2020 kepada perwakilan korban dengan disaksikan oleh segenap pimpinan LPSK dan sejumlah pejabat negara dari lembaga terkait lain.
Sejarah Hak Korban Terorisme
Pada awalnya para korban aksi terorisme di Indonesia tidak mendapatkan hak apa pun dari negara, baik hak medis, psikologis, psikososial ataupun kompensasi. Para korban di negeri ini baru berhak mendapatkan dukungan dari negara seiring disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15/2003. UU ini memberikan dua hak bagi para korban aksi terorisme, yaitu hak restitusi (ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku terorisme) atau kompensasi (hak ganti rugi yang dibebankan kepada negara). Pemberian kompensasi di dalam undang-undang ini diatur berdasarkan putusan pengadilan (Pasal 36 ayat 4).
Berdasarkan pengalaman Aliansi Indonesia Damai (Aida) mendampingi para korban aksi terorisme di masa lalu, tidak ada satu pun dari mereka yang mendapatkan hak kompensasi maupun restitusi. Alih-alih mendapatkan salah satu dari kedua hak tersebut, para korban maupun keluarganya bahkan tidak mengetahui bahwa ada hak yang diatur oleh undang-undang untuk mereka.
Lalu bagaimana dengan hak medis, psikologis, maupun psikososial? Berdasarkan undang-undang di atas bisa dipastikan, para korban aksi terorisme di masa lalu (sebelum 2014) tidak ada yang mendapatkan hak-hak tersebut. Mengingat undang-undang tersebut telah disahkan pada 2003 dan hanya mengatur dua hak restitusi dan atau kompensasi. Dengan demikian, kalaupun ada dari para korban aksi terorisme di masa lalu yang mendapatkan layanan medis, maka hal tersebut tidak bisa disebut sebagai hak (mengingat belum diatur di dalam undang-undang), melainkan lebih sebagai uang kerahiman atau belas kasihan dari pejabat negara tertentu. Kalaupun ada lembaga negara yang membantu para korban aksi terorisme di masa lalu (termasuk layanan medis), hal tersebut dapat dipastikan dimasukkan dalam ketentuan perundang-undangan lain di luar hak-hak yang diatur untuk korban aksi terorisme.
Sangat miris, di saat para korban aksi terorisme di masa lalu hanya mendapatkan “belas kasihan” dari pejabat negara (karena belum ada undang-undang yang mengatur tentang hak medis, psikologis dan psikososial), sejumlah negara asing justru banyak membantu para korban di Indonesia. Bahkan tak sedikit dari para korban yang mendapatkan layanan medis sekaligus dirawat di negara tersebut dengan biaya yang juga ditanggung oleh negara asing itu.
Dalam konteks seperti ini bisa ditegaskan, tidak ada negara dalam peristiwa aksi terorisme di masa lalu. Negara tidak ada pada saat aksi-aksi terorisme itu terjadi. Negara juga tidak ada pada saat para korban mengalami segala dampak dari aksi terorisme yang ada.
Padahal, secara teori, aksi terorisme tidak ditargetkan kepada para korban, khususnya dari masyarakat sipil. Mengingat para pelaku terorisme tidak ada masalah dengan para korban, khususnya dari kalangan sipil. Alih-alih, para pelaku terorisme bahkan tidak kenal dengan para korban. Sebaliknya, para pelaku terorisme ada masalah dengan sistem ataupun kebijakan negara hingga mereka merencanakan aksi yang sejatinya ditargetkan kepada negara maupun aparatnya, khususnya aparat keamanan. Alih-alih menghancurkan negara dan menggantinya sesuai dengan sistem negara yang mereka perjuangkan, aksi terorisme justru melukai, bahkan membunuh, banyak masyarakat sipil.
Dalam konteks seperti ini, penulis kerap menyebut para korban aksi terorisme sebagai martir negara. Mereka terluka, bahkan meninggal dunia, karena kejahatan yang dialamatkan kepada negara. Mereka terluka, bahkan meninggal dunia, karena kelalaian negara dalam melindungi segenap tumpah darah warganya. Lebih miris lagi, puluhan tahun negara membiarkan para martirnya berjuang sendirian untuk menghadapi segala dampak fisik maupun psikis yang timbul dari aksi terorisme yang ada.
Peran Strategis LPSK
Sejarah pemenuhan hak korban terorisme di Indonesia mengalami perubahan yang sangat besar pada 2014. Pada tahun ini Indonesia merevisi UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi UU Nomor 31/2014. Dalam undang-undang ini untuk pertama kalinya hak medis, psikologis, dan psikososial diberikan oleh negara kepada para korban aksi terorisme (Pasal 6). Bahkan undang-undang ini juga memuat ulang ketentuan hak kompensasi dan restitusi yang implementasinya dirujuk kembali ke UU Nomor 15/2003, yakni harus melalui putusan pengadilan (Pasal 7 ayat 4).
Melalui LPSK negara hadir untuk pertama kali bagi para korban, memberikan layanan medis, layanan psikologis, dan juga psikososial. Kehadiran negara (melalui LPSK) pada 2014 dan seterusnya berdasarkan hak yang diatur di dalam undang-undang, bukan berdasarkan belas kasihan dari pejabat negara tertentu seperti sebelum tahun 2014 (karena belum ada ketentuan yang mengatur secara spesifik). Bahkan ketentuan kompensasi yang sudah diundangkan sejak 2003 akhirnya bisa diimplementasikan pada 2017 dalam kasus bom Samarinda, sebagian korban bom Thamrin (2016), sebagian korban bom Kampung Melayu (2017), sebagian korban bom Surabaya (2018) dan sebagian korban bom Sibolga (2019).
Kehadiran negara melalui LPSK kepada para korban sangat strategis. Tidak hanya karena sesuai dengan ketentuan UU (sebagaimana di atas), melainkan dan terutama karena secara teori terorisme dialamatkan kepada negara maupun pejabatnya. Pada saat yang sama negara memiliki kewajiban untuk melindungi segenap warganya. Karena itu, LPSK perlu didukung oleh semua pihak (mulai dari komunitas korban hingga kementerian maupun lembaga negara terkait) untuk terus mengimplementasikan dan memenuhi hak-hak korban terorisme sesuai kebutuhan faktual yang ada di lapangan. Mengingat dalam konteks pemenuhan hak-hak korban terorisme, peran LPSK selama ini telah menjadi bukti nyata dari keberadaan negara.
Tahun 2018 menjadi “tahun penyempurna” bagi sejarah hak-hak korban terorisme di Indonesia, paling tidak secara normatif. Pada tahun ini revisi atas UU Nomor 15/2003 disahkan menjadi UU Nomor 5/2018. Dalam undang-undang ini hak-hak korban terorisme mengalami penguatan, bahkan kompensasi untuk korban aksi terorisme di masa lalu pun turut diatur dalam undang-undang ini. Bahkan ketentuan terkait kompensasi bagi korban aksi terorisme di masa lalu sangat istimewa karena diatur melalui mekanisme penghitungan dan penetapan dari LPSK, bukan melalui putusan pengadilan. Akhirnya, setelah pemerintah menerbitkan PP Nomor 35/2020 sebagai peraturan turunan, kompensasi untuk korban aksi terorisme di masa lalu diberikan secara simbolik oleh Presiden Joko Widodo pada 16 Desember lalu.
Berdasarkan pengalaman penulis menghadiri forum-forum internasional terkait korban terorisme (termasuk yang diselenggarakan oleh lembaga di bawah PBB), tidak banyak negara yang memiliki aturan khusus untuk pemenuhan hak-hak korban terorisme, khususnya kompensasi untuk korban aksi terorisme di masa lalu. Tidak sedikit negara yang memberikan hak kepada korban aksi terorisme dan korban kejahatan lain. Padahal, terorisme berbeda dengan kejahatan lain, minimal dalam hal tidak adanya hubungan (baik langsung atau tidak) antara pelaku dan korban dari sebuah tindak pidana terorisme.
Pengalaman menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada dalam dunia terorisme (termasuk dalam pemenuhan hak korban) bisa dijadikan sebagai model sekaligus modal berarti bagi bangsa ini dalam upaya menyempurnakan kekurangan yang lain di bidang yang lain pula. Misalnya persoalan HAM di masa lalu, masalah kebebasan beragama atau berkeyakinan dan masalah-masalah lain. Hingga negara ini terus berproses menuju negara paripurna.
Negara sejatinya melindungi segenap tumpah darah warganya, memberi perlakuan yang sama kepada mereka, menjamin hak-hak dasar mereka sebagai warga negara yang setara sekaligus menindak siapa pun yang membuat warga negara tidak mendapat hak-haknya. Termasuk bila pelanggaran tersebut dilakukan oleh pejabat negara. Karena pada akhirnya rakyatlah yang berdaulat.
Adapun pemerintah atau pejabat negara merupakan pelayan, abdi atau pihak yang duduk di manajemen yang bertugas me-manage proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Hingga semuanya bisa mendapatkan semua yang tak bisa didapat kecuali melalui hidup berbangsa dan bernegara. Tanpa semua itu, apalah arti berbangsa dan bernegara.
(ymn)