Mengudeta Ketua Umum Partai
loading...
A
A
A
Ketiga, pada saat pengisian jabatan penting dalam negara diwajibkan dilakukan melalui mekanisme pemilihan langsung, mayoritas praktik pemilihan ketua umum parpol justru mengalami rezim aklamasi.
Pembenahan Aturan Hukum
Undang-Undang (UU) Partai Politik sendiri sebenarnya telah mengamanatkan agar pemilihan ketua umum parpol dilakukan secara demokratis. Hal ini termaktub dalam Pasal 22 Undang-Undang No 2/2011 yang berbunyi, Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART.
Sayangnya, sekalipun UU telah secara tegas mengamanatkan agar pemilihan ketum parpol dilakukan secara demokratis, sifat pengaturannya masih sangat umum dan abstrak sehingga berpotensi menyebabkan makna dari pasal tersebut sulit diterjemahkan secara tepat dalam tataran praktik. UU Parpol tidak memberikan petunjuk secara rinci tentang apa dan bagaimana suksesi kepemimpinan yang demokratis tersebut.
Padahal seperti disampaikan oleh Satjipto Rahardjo (1978), salah satu ciri utama dari peraturan yang baik adalah selalu menghendaki agar apa yang dituju itu dirumuskan dengan jelas, dalam arti: dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kekaburan makna; dan dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan arah pelaksanaannya dengan jelas (operasional).
Dampak dari tidak rigidnya pembentuk UU mengatur demokratisasi pemilihan ketua umum parpol ini, masing-masing parpol kemudian menerjemahkan makna “dipilih secara demokratis” tersebut secara berbeda-beda. Bahkan harus diakui, sebagian partai justru mendesain mekanisme pemilihan ketua umumnya jauh dari nilai-nilai demokrasi.
Karenanya, agar tercipta kepastian hukum maka sudah selayaknya pengaturan tentang pemilihan ketua umum parpol yang demokratis dalam UU untuk diperbaiki. Setidaknya ada lima hal yang mesti diatur secara tegas, yaitu perihal pemilik suara atau pemilih, syarat pencalonan, mekanisme pemilihan, tingkat atau derajat kompetisi pemilihan, dan pembatasan kekuasaan.
Dengan kejelasan pengaturan ini, akan membuka peluang atas segala bentuk penyelenggaraan pemilihan ketua umum yang tidak demokratis untuk dibatalkan oleh pengadilan sehingga isu kudeta kepemimpinan dalam parpol diharapkan tidak akan terulang kembali pada masa yang akan datang.
Pembenahan Aturan Hukum
Undang-Undang (UU) Partai Politik sendiri sebenarnya telah mengamanatkan agar pemilihan ketua umum parpol dilakukan secara demokratis. Hal ini termaktub dalam Pasal 22 Undang-Undang No 2/2011 yang berbunyi, Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART.
Sayangnya, sekalipun UU telah secara tegas mengamanatkan agar pemilihan ketum parpol dilakukan secara demokratis, sifat pengaturannya masih sangat umum dan abstrak sehingga berpotensi menyebabkan makna dari pasal tersebut sulit diterjemahkan secara tepat dalam tataran praktik. UU Parpol tidak memberikan petunjuk secara rinci tentang apa dan bagaimana suksesi kepemimpinan yang demokratis tersebut.
Padahal seperti disampaikan oleh Satjipto Rahardjo (1978), salah satu ciri utama dari peraturan yang baik adalah selalu menghendaki agar apa yang dituju itu dirumuskan dengan jelas, dalam arti: dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kekaburan makna; dan dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan arah pelaksanaannya dengan jelas (operasional).
Dampak dari tidak rigidnya pembentuk UU mengatur demokratisasi pemilihan ketua umum parpol ini, masing-masing parpol kemudian menerjemahkan makna “dipilih secara demokratis” tersebut secara berbeda-beda. Bahkan harus diakui, sebagian partai justru mendesain mekanisme pemilihan ketua umumnya jauh dari nilai-nilai demokrasi.
Karenanya, agar tercipta kepastian hukum maka sudah selayaknya pengaturan tentang pemilihan ketua umum parpol yang demokratis dalam UU untuk diperbaiki. Setidaknya ada lima hal yang mesti diatur secara tegas, yaitu perihal pemilik suara atau pemilih, syarat pencalonan, mekanisme pemilihan, tingkat atau derajat kompetisi pemilihan, dan pembatasan kekuasaan.
Dengan kejelasan pengaturan ini, akan membuka peluang atas segala bentuk penyelenggaraan pemilihan ketua umum yang tidak demokratis untuk dibatalkan oleh pengadilan sehingga isu kudeta kepemimpinan dalam parpol diharapkan tidak akan terulang kembali pada masa yang akan datang.
(bmm)