Mengudeta Ketua Umum Partai
loading...
A
A
A
Jamaludin Ghafur
Dosen Hukum Tata Negara dan Anggota Dewan Pakar Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
BELUM lama ini jagat nasional digemparkan dengan berita tentang isu kudeta jabatan salah satu ketua umum partai. Adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sang pemimpin Partai Demokrat, yang menyatakan bahwa ada upaya dari kelompok tertentu untuk mendongkel dan melengserkan dirinya dari jabatan ketua umum.
Biasanya, kudeta kekuasaan atau pengambilalihan kekuasaan secara paksa hanya dikenal dalam sistem politik otoriter. Sementara dalam sistem demokrasi, konflik apa pun, termasuk persoalan pergantian kepemimpinan, akan selalu dilakukan melalui cara-cara damai dan konstitusional.
Sebab, demokrasi yang pada esensinya adalah kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, akan memberikan jaminan bagi berlangsungnya pemerintahan secara tenteram dan damai. Rakyat yang diperintah tidak mungkin mengganggu, memberontak, atau merebut kekuasaan terhadap diri mereka sendiri sebagai yang memerintah. Dalam demokrasi terjadi kemanunggalan antara yang memerintah dan yang diperintah.
Oleh karena itu, kalau hari ini muncul isu adanya upaya kudeta kepemimpinan dalam parpol, maka hal ini menjadi sinyalemen kuat bahwa partai politik di Indonesia kurang atau bahkan tidak dikelola secara demokratis sehingga pemimpinnya tidak memiliki legitimasi yang kuat di mata para anggota dan konstituennya.
Problem Demokratisasi Internal Partai
Penyelenggaraan urusan internal organisasi partai politik (parpol) secara demokratis (intra party-democracy) merupakan sebuah keniscayaan sebab parpol merupakan institusi vital bagi tegaknya demokrasi. Tentu tidaklah masuk akal jika partai politik menuntut kehidupan politik yang demokratis, jika dalam tubuhnya sendiri, nilai-nilai demokrasi tersebut tidak terpraktikkan.
Dalam kacamata Alan Ware (1979), demokrasi internal parpol merupakan prasyarat yang harus dilakukan agar demokrasi di tingkat negara dapat diwujudkan. Sebab, sebuah program demokratis tidak mungkin bisa dikembangkan oleh parpol yang tidak demokratis.
Setidaknya ada tiga dimensi, di mana nilai-nilai demokrasi harus ditegakkan oleh parpol, yaitu dalam rangka rekrutmen kandidat/calon pejabat publik, penyelenggaraan pemilihan ketua umum partai, dan dalam hal perumusan kebijakan-kebijakan penting partai.
Dalam konteks pemilihan ketua umum, fakta yang ada menunjukkan bahwa mayoritas partai tidak melakukannya secara demokratis. Setidaknya ada tiga indikator untuk menjustifikasi pernyataan ini, Pertama, sejak reformasi kita bersepakat beberapa jabatan publik dibatasi masa jabatannya selama dua periode. Anehnya, banyak parpol justru dipimpin oleh ketua umum tanpa pembatasan masa jabatan sama sekali. Jadi, tidak heran bila beberapa parpol dipimpin oleh seorang ketua umum lebih dari dua periode, bahkan ada partai yang sejak berdiri tidak pernah berganti ketua umum.
Kedua, maraknya calon tunggal dalam proses pencalonan atau kandidasi ketua umum parpol dengan menutup pintu persaingan bagi munculnya calon-calon potensial lainnya sehingga pemilihan tidak berlangsung secara kompetitif.
Ketiga, pada saat pengisian jabatan penting dalam negara diwajibkan dilakukan melalui mekanisme pemilihan langsung, mayoritas praktik pemilihan ketua umum parpol justru mengalami rezim aklamasi.
Pembenahan Aturan Hukum
Undang-Undang (UU) Partai Politik sendiri sebenarnya telah mengamanatkan agar pemilihan ketua umum parpol dilakukan secara demokratis. Hal ini termaktub dalam Pasal 22 Undang-Undang No 2/2011 yang berbunyi, Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART.
Sayangnya, sekalipun UU telah secara tegas mengamanatkan agar pemilihan ketum parpol dilakukan secara demokratis, sifat pengaturannya masih sangat umum dan abstrak sehingga berpotensi menyebabkan makna dari pasal tersebut sulit diterjemahkan secara tepat dalam tataran praktik. UU Parpol tidak memberikan petunjuk secara rinci tentang apa dan bagaimana suksesi kepemimpinan yang demokratis tersebut.
Padahal seperti disampaikan oleh Satjipto Rahardjo (1978), salah satu ciri utama dari peraturan yang baik adalah selalu menghendaki agar apa yang dituju itu dirumuskan dengan jelas, dalam arti: dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kekaburan makna; dan dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan arah pelaksanaannya dengan jelas (operasional).
Dampak dari tidak rigidnya pembentuk UU mengatur demokratisasi pemilihan ketua umum parpol ini, masing-masing parpol kemudian menerjemahkan makna “dipilih secara demokratis” tersebut secara berbeda-beda. Bahkan harus diakui, sebagian partai justru mendesain mekanisme pemilihan ketua umumnya jauh dari nilai-nilai demokrasi.
Karenanya, agar tercipta kepastian hukum maka sudah selayaknya pengaturan tentang pemilihan ketua umum parpol yang demokratis dalam UU untuk diperbaiki. Setidaknya ada lima hal yang mesti diatur secara tegas, yaitu perihal pemilik suara atau pemilih, syarat pencalonan, mekanisme pemilihan, tingkat atau derajat kompetisi pemilihan, dan pembatasan kekuasaan.
Dengan kejelasan pengaturan ini, akan membuka peluang atas segala bentuk penyelenggaraan pemilihan ketua umum yang tidak demokratis untuk dibatalkan oleh pengadilan sehingga isu kudeta kepemimpinan dalam parpol diharapkan tidak akan terulang kembali pada masa yang akan datang.
Dosen Hukum Tata Negara dan Anggota Dewan Pakar Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
BELUM lama ini jagat nasional digemparkan dengan berita tentang isu kudeta jabatan salah satu ketua umum partai. Adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sang pemimpin Partai Demokrat, yang menyatakan bahwa ada upaya dari kelompok tertentu untuk mendongkel dan melengserkan dirinya dari jabatan ketua umum.
Biasanya, kudeta kekuasaan atau pengambilalihan kekuasaan secara paksa hanya dikenal dalam sistem politik otoriter. Sementara dalam sistem demokrasi, konflik apa pun, termasuk persoalan pergantian kepemimpinan, akan selalu dilakukan melalui cara-cara damai dan konstitusional.
Sebab, demokrasi yang pada esensinya adalah kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, akan memberikan jaminan bagi berlangsungnya pemerintahan secara tenteram dan damai. Rakyat yang diperintah tidak mungkin mengganggu, memberontak, atau merebut kekuasaan terhadap diri mereka sendiri sebagai yang memerintah. Dalam demokrasi terjadi kemanunggalan antara yang memerintah dan yang diperintah.
Oleh karena itu, kalau hari ini muncul isu adanya upaya kudeta kepemimpinan dalam parpol, maka hal ini menjadi sinyalemen kuat bahwa partai politik di Indonesia kurang atau bahkan tidak dikelola secara demokratis sehingga pemimpinnya tidak memiliki legitimasi yang kuat di mata para anggota dan konstituennya.
Problem Demokratisasi Internal Partai
Penyelenggaraan urusan internal organisasi partai politik (parpol) secara demokratis (intra party-democracy) merupakan sebuah keniscayaan sebab parpol merupakan institusi vital bagi tegaknya demokrasi. Tentu tidaklah masuk akal jika partai politik menuntut kehidupan politik yang demokratis, jika dalam tubuhnya sendiri, nilai-nilai demokrasi tersebut tidak terpraktikkan.
Dalam kacamata Alan Ware (1979), demokrasi internal parpol merupakan prasyarat yang harus dilakukan agar demokrasi di tingkat negara dapat diwujudkan. Sebab, sebuah program demokratis tidak mungkin bisa dikembangkan oleh parpol yang tidak demokratis.
Setidaknya ada tiga dimensi, di mana nilai-nilai demokrasi harus ditegakkan oleh parpol, yaitu dalam rangka rekrutmen kandidat/calon pejabat publik, penyelenggaraan pemilihan ketua umum partai, dan dalam hal perumusan kebijakan-kebijakan penting partai.
Dalam konteks pemilihan ketua umum, fakta yang ada menunjukkan bahwa mayoritas partai tidak melakukannya secara demokratis. Setidaknya ada tiga indikator untuk menjustifikasi pernyataan ini, Pertama, sejak reformasi kita bersepakat beberapa jabatan publik dibatasi masa jabatannya selama dua periode. Anehnya, banyak parpol justru dipimpin oleh ketua umum tanpa pembatasan masa jabatan sama sekali. Jadi, tidak heran bila beberapa parpol dipimpin oleh seorang ketua umum lebih dari dua periode, bahkan ada partai yang sejak berdiri tidak pernah berganti ketua umum.
Kedua, maraknya calon tunggal dalam proses pencalonan atau kandidasi ketua umum parpol dengan menutup pintu persaingan bagi munculnya calon-calon potensial lainnya sehingga pemilihan tidak berlangsung secara kompetitif.
Ketiga, pada saat pengisian jabatan penting dalam negara diwajibkan dilakukan melalui mekanisme pemilihan langsung, mayoritas praktik pemilihan ketua umum parpol justru mengalami rezim aklamasi.
Pembenahan Aturan Hukum
Undang-Undang (UU) Partai Politik sendiri sebenarnya telah mengamanatkan agar pemilihan ketua umum parpol dilakukan secara demokratis. Hal ini termaktub dalam Pasal 22 Undang-Undang No 2/2011 yang berbunyi, Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART.
Sayangnya, sekalipun UU telah secara tegas mengamanatkan agar pemilihan ketum parpol dilakukan secara demokratis, sifat pengaturannya masih sangat umum dan abstrak sehingga berpotensi menyebabkan makna dari pasal tersebut sulit diterjemahkan secara tepat dalam tataran praktik. UU Parpol tidak memberikan petunjuk secara rinci tentang apa dan bagaimana suksesi kepemimpinan yang demokratis tersebut.
Padahal seperti disampaikan oleh Satjipto Rahardjo (1978), salah satu ciri utama dari peraturan yang baik adalah selalu menghendaki agar apa yang dituju itu dirumuskan dengan jelas, dalam arti: dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kekaburan makna; dan dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan arah pelaksanaannya dengan jelas (operasional).
Dampak dari tidak rigidnya pembentuk UU mengatur demokratisasi pemilihan ketua umum parpol ini, masing-masing parpol kemudian menerjemahkan makna “dipilih secara demokratis” tersebut secara berbeda-beda. Bahkan harus diakui, sebagian partai justru mendesain mekanisme pemilihan ketua umumnya jauh dari nilai-nilai demokrasi.
Karenanya, agar tercipta kepastian hukum maka sudah selayaknya pengaturan tentang pemilihan ketua umum parpol yang demokratis dalam UU untuk diperbaiki. Setidaknya ada lima hal yang mesti diatur secara tegas, yaitu perihal pemilik suara atau pemilih, syarat pencalonan, mekanisme pemilihan, tingkat atau derajat kompetisi pemilihan, dan pembatasan kekuasaan.
Dengan kejelasan pengaturan ini, akan membuka peluang atas segala bentuk penyelenggaraan pemilihan ketua umum yang tidak demokratis untuk dibatalkan oleh pengadilan sehingga isu kudeta kepemimpinan dalam parpol diharapkan tidak akan terulang kembali pada masa yang akan datang.
(bmm)