Digitalisasi Demokrasi
loading...
A
A
A
Fadhli Harahab
Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA)/Analis Politik UIN Jakarta
KEMAJUAN teknologi digital telah mendorong masyarakat global menuju era serba efisien, mudah dan terbuka. Di zaman yang ditandai pesatnya perkembangan komputerisasi membuat masyarakat tidak lagi tersekat dan dibatasi jarak waktu untuk dapat mengakses apapun, khususnya informasi berbasis internet .
Seiring perkembangan itu pula, perlahan-lahan budaya masyarakat mulai bergeser dari serba analog/manual menuju serba automatic/digital. Keserbaan digital juga turut mempengaruhi perubahan dalam banyak aspek kehidupan, kecenderungan interaksi dan transaksi mulai berubah dari yang bersifat nyata ke dunia maya.
Efek dari digitalisasi ini telah memaksa siapa pun untuk mampu beradaptasi agar dapat bertahan dan eksis dalam percaturan global. Memaksa mereka dari kehidupan nyata menuju bayang-bayang yang terdistorsi oleh kecanggihan teknologi.
Peralihan pesat penggunaan teknologi berbasis internet dari hari ke hari pula ikut mendisruspi kondisi kehidupan masyarakat ke arah digitalisasi permanen yang pada akhirnya memunculkan cara dan pola baru dalam hal mengantisipasi, bertindak bahkan mengevaluasi sesuatu.
Terlepas dari efek negatif yang bisa ditimbulkan akibat semakin maraknya digitalisasi di berbagai lini, proses pembaruan sistem tentu tak bisa dihindari apa lagi mengenyampingkannya begitu saja. Artinya, mengabaikan kemajuan teknologi sama saja dengan mengelak dari sebuah proses menuju perbaikan yang lebih sempurna.
Arah Demokrasi Indonesia
Memastikan kemajuan proses berdemokrasi di Tanah Air tentu tak semudah mengukur kedalaman laut atau samudra, mengukur akselerasi kecepatan kendaraan atau mengukur suhu lokasi menggunakan alat canggih dengan hasil objektif dan akurat.
Namun demikian, indikasi kemajuan dari proses itu masih bisa tercermati dan dianalisa. Setidaknya secara subtansi, praktik demokrasi tanah air tergolong baik bahkan terbaik dibandingkan banyak negara lainnya di kawasan Eropa yang sudah lebih dulu mengakses sistem ini.
Kebebasan berpendapat dan berbicara serta berekspresi, perlindungan hukum dan HAM hingga proses transisi dan pembagian kekuasaan dalam pemerintahan diatur konstitusional yang berlandaskan pada prinsip dasar demokrasi.
Seiring perkembangan itu, peningkatan kualitas demokrasi prosedural juga perlu mendapat perhatian lebih. Bagaimana kemudian seluruh stakeholder mampu mendesain demokrasi prosedural agar lebih efisien, hamat biaya dan lebih akuntable serta transparan.
Mengatur agar aspirasi masyarakat lebih terakomodasi langsung, tanpa sekat pembatas. Masyarakat tidak perlu lagi melakukan demonstarasi di jalan hanya untuk merespons nasib mereka. Begitu juga lembaga legislasi harus lebih transparan dalam membuat regulasi. Tidak tertutup oleh dinding parlemen sehingga terkesan sarat kepentingan politik saja.
Berkaca dari sejumlah negara kawasan Asia, seperti Taiwan yang sudah lebih dewasa dalam mengelolah demokrasi digital. Taiwan dirasa bisa menjadi contoh bagaimana digital dapat dimanfaatkan sebagai alat utama pendukung demokratisasi.
Di Taiwan barang kali tidak akan lagi ditemukan aksi demonstrasi besar hingga perusakan fasilitas umum pasca penerapan digitalisasi di parlemen. Pasca gerakan sunflower 2014, publik Taiwan dengan mudah dapat menyampaikan aspirasi mereka secara langsung melalui teknologi audia visual. Kemajuan digital memudahkan pengontrolan terhadap produk UU hingga mengakses data pribadi anggota parlemen.
Di level eksekutif, Taiwan juga tak kalah cemerlang. Tata kelola birokrasi pemerintahan yang efisien membuat pelayanan terhadap masyarakat semakin mudah dan hemat biaya. Mengadopsi digital goverment menjadikan pelayanan tak lagi berbelit-belit alias satu pintu. Sehingga akuntabilitas dan transparansi menjadi hal lumrah dalam sistem ini.
Bukan hal yang mudah dan singkat memang untuk mereformasi sistem di Taiwan. Mereka memerlukan puluhan tahun untuk merancang digitalisasi berbagai aspek kenegaraan termasuk birokrasi yang efisien. Bukan karena disebabkan COVID-19, melainkan keinginan seluruh stakeholder bersama kehendak rakyat.
Di Tanah Air, COVID-19 dirasa menjadi momentum bagi semua pihak untuk mendorong proses digitalisasi ini. Bukan ebatas pada tahapan pemilu seperti e-voting atau e-rekap, tetapi di berbagai lintas aspek berdemokrasi.
RUU Pemilu dan Digitalisasi
Revisi UU Pemilu masih menjadi perdebatan panas setiap kali menjelang momentum politik elektoral tiba. Sayangnya, perdebatan alot tidak terjadi pada masalah krusial yang mestinya segera dituntaskan.
Persoalan yang kerap mengalami perdebatan masih seputar hal yang sama, seperti permasalahan Parlementary Threshold, Presidential Threshold dan sekelumit tindak kecurangan dalam pemilu.
Wacana ini juga terjadi dalam rencana pembahasan RUU kali ini, hanya ada penambahan satu masalah yaitu jadwal pilkada serentak. Terkesan tidak ada pembahasan yang maju dan bersifat futuristik, evaluasi menghasilkan evaluasi, bukan evaluasi menghasilkan perbaikan.
Persoalan masa depan, khususnya mengefesiensikan prosedur pemilu seperti terabaikan. Digitalisasi pemilu yang seharusnya menjadi salah satu pembahasan urgen seperti tidak mendapat celah. Padahal, kemajuan teknologi dewasa ini sudah menembus sendi-sendi berbagai elemen masyarakat.
Penggunaan teknologi dalam pemilu masih saja menjadi sekadar wacana dari tahun ke tahun, dari pilkada ke pilkada dan dari pemilu ke pemilu. Alasannya masih sama: terbentur UU, kurang safaty hingga minimnya fasilitas berbasis internet.
Padahal, jika ditelisik penggunaan teknologi berbasis internet dalam pemilu akan memotong begitu banyak prosedur yang tentunya akan mengurangi celah kecurangan dalam pemilu. Memutus mata rantai money politik hingga menghindari jatuhnya korban jiwa akibat banyaknya administrasi yang harus diselesaikan petugas di lapangan.
Sebetulnya regulasi kepemiluan telah mengatur hal ini, namun langkah cepat masih terbentur persoalan yang disebutkan di atas. Momentum covid-19 ini seharusnya mendorong seluruh stakeholder mampu berpikir bagaimana mempercepat aturan main dalam proses pemilu tersebut.
UU Pilkada Pasal 85 Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Perppu nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota menjadi UU menyinggung soal ini, bahwa pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan cara memberi tanda satu kali pada surat suara, atau memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik.
Secara mendasar, penggunaan elektronik dalam sistem pemilu tanah air telah terumus melalui regulasi yang ada, tinggal bagaimana menyempurnakannya sehingga menjadi aturan yang dapat di implemtasikan secara massif.
Terlepas dari segala kekurangan dan kendala yang diprediski bakal menghalau proses digitalisasi ini, tentu saja kemauan kuat seluruh stakeholder dan pemangku kebijakan menjadi penentu arah proses demokrasi tanah air. Apakah mandek atau lebih berkembang maju ke depan.
Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA)/Analis Politik UIN Jakarta
KEMAJUAN teknologi digital telah mendorong masyarakat global menuju era serba efisien, mudah dan terbuka. Di zaman yang ditandai pesatnya perkembangan komputerisasi membuat masyarakat tidak lagi tersekat dan dibatasi jarak waktu untuk dapat mengakses apapun, khususnya informasi berbasis internet .
Seiring perkembangan itu pula, perlahan-lahan budaya masyarakat mulai bergeser dari serba analog/manual menuju serba automatic/digital. Keserbaan digital juga turut mempengaruhi perubahan dalam banyak aspek kehidupan, kecenderungan interaksi dan transaksi mulai berubah dari yang bersifat nyata ke dunia maya.
Efek dari digitalisasi ini telah memaksa siapa pun untuk mampu beradaptasi agar dapat bertahan dan eksis dalam percaturan global. Memaksa mereka dari kehidupan nyata menuju bayang-bayang yang terdistorsi oleh kecanggihan teknologi.
Peralihan pesat penggunaan teknologi berbasis internet dari hari ke hari pula ikut mendisruspi kondisi kehidupan masyarakat ke arah digitalisasi permanen yang pada akhirnya memunculkan cara dan pola baru dalam hal mengantisipasi, bertindak bahkan mengevaluasi sesuatu.
Terlepas dari efek negatif yang bisa ditimbulkan akibat semakin maraknya digitalisasi di berbagai lini, proses pembaruan sistem tentu tak bisa dihindari apa lagi mengenyampingkannya begitu saja. Artinya, mengabaikan kemajuan teknologi sama saja dengan mengelak dari sebuah proses menuju perbaikan yang lebih sempurna.
Arah Demokrasi Indonesia
Memastikan kemajuan proses berdemokrasi di Tanah Air tentu tak semudah mengukur kedalaman laut atau samudra, mengukur akselerasi kecepatan kendaraan atau mengukur suhu lokasi menggunakan alat canggih dengan hasil objektif dan akurat.
Namun demikian, indikasi kemajuan dari proses itu masih bisa tercermati dan dianalisa. Setidaknya secara subtansi, praktik demokrasi tanah air tergolong baik bahkan terbaik dibandingkan banyak negara lainnya di kawasan Eropa yang sudah lebih dulu mengakses sistem ini.
Kebebasan berpendapat dan berbicara serta berekspresi, perlindungan hukum dan HAM hingga proses transisi dan pembagian kekuasaan dalam pemerintahan diatur konstitusional yang berlandaskan pada prinsip dasar demokrasi.
Seiring perkembangan itu, peningkatan kualitas demokrasi prosedural juga perlu mendapat perhatian lebih. Bagaimana kemudian seluruh stakeholder mampu mendesain demokrasi prosedural agar lebih efisien, hamat biaya dan lebih akuntable serta transparan.
Mengatur agar aspirasi masyarakat lebih terakomodasi langsung, tanpa sekat pembatas. Masyarakat tidak perlu lagi melakukan demonstarasi di jalan hanya untuk merespons nasib mereka. Begitu juga lembaga legislasi harus lebih transparan dalam membuat regulasi. Tidak tertutup oleh dinding parlemen sehingga terkesan sarat kepentingan politik saja.
Berkaca dari sejumlah negara kawasan Asia, seperti Taiwan yang sudah lebih dewasa dalam mengelolah demokrasi digital. Taiwan dirasa bisa menjadi contoh bagaimana digital dapat dimanfaatkan sebagai alat utama pendukung demokratisasi.
Di Taiwan barang kali tidak akan lagi ditemukan aksi demonstrasi besar hingga perusakan fasilitas umum pasca penerapan digitalisasi di parlemen. Pasca gerakan sunflower 2014, publik Taiwan dengan mudah dapat menyampaikan aspirasi mereka secara langsung melalui teknologi audia visual. Kemajuan digital memudahkan pengontrolan terhadap produk UU hingga mengakses data pribadi anggota parlemen.
Di level eksekutif, Taiwan juga tak kalah cemerlang. Tata kelola birokrasi pemerintahan yang efisien membuat pelayanan terhadap masyarakat semakin mudah dan hemat biaya. Mengadopsi digital goverment menjadikan pelayanan tak lagi berbelit-belit alias satu pintu. Sehingga akuntabilitas dan transparansi menjadi hal lumrah dalam sistem ini.
Bukan hal yang mudah dan singkat memang untuk mereformasi sistem di Taiwan. Mereka memerlukan puluhan tahun untuk merancang digitalisasi berbagai aspek kenegaraan termasuk birokrasi yang efisien. Bukan karena disebabkan COVID-19, melainkan keinginan seluruh stakeholder bersama kehendak rakyat.
Di Tanah Air, COVID-19 dirasa menjadi momentum bagi semua pihak untuk mendorong proses digitalisasi ini. Bukan ebatas pada tahapan pemilu seperti e-voting atau e-rekap, tetapi di berbagai lintas aspek berdemokrasi.
RUU Pemilu dan Digitalisasi
Revisi UU Pemilu masih menjadi perdebatan panas setiap kali menjelang momentum politik elektoral tiba. Sayangnya, perdebatan alot tidak terjadi pada masalah krusial yang mestinya segera dituntaskan.
Persoalan yang kerap mengalami perdebatan masih seputar hal yang sama, seperti permasalahan Parlementary Threshold, Presidential Threshold dan sekelumit tindak kecurangan dalam pemilu.
Wacana ini juga terjadi dalam rencana pembahasan RUU kali ini, hanya ada penambahan satu masalah yaitu jadwal pilkada serentak. Terkesan tidak ada pembahasan yang maju dan bersifat futuristik, evaluasi menghasilkan evaluasi, bukan evaluasi menghasilkan perbaikan.
Persoalan masa depan, khususnya mengefesiensikan prosedur pemilu seperti terabaikan. Digitalisasi pemilu yang seharusnya menjadi salah satu pembahasan urgen seperti tidak mendapat celah. Padahal, kemajuan teknologi dewasa ini sudah menembus sendi-sendi berbagai elemen masyarakat.
Penggunaan teknologi dalam pemilu masih saja menjadi sekadar wacana dari tahun ke tahun, dari pilkada ke pilkada dan dari pemilu ke pemilu. Alasannya masih sama: terbentur UU, kurang safaty hingga minimnya fasilitas berbasis internet.
Padahal, jika ditelisik penggunaan teknologi berbasis internet dalam pemilu akan memotong begitu banyak prosedur yang tentunya akan mengurangi celah kecurangan dalam pemilu. Memutus mata rantai money politik hingga menghindari jatuhnya korban jiwa akibat banyaknya administrasi yang harus diselesaikan petugas di lapangan.
Sebetulnya regulasi kepemiluan telah mengatur hal ini, namun langkah cepat masih terbentur persoalan yang disebutkan di atas. Momentum covid-19 ini seharusnya mendorong seluruh stakeholder mampu berpikir bagaimana mempercepat aturan main dalam proses pemilu tersebut.
UU Pilkada Pasal 85 Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Perppu nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota menjadi UU menyinggung soal ini, bahwa pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan cara memberi tanda satu kali pada surat suara, atau memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik.
Secara mendasar, penggunaan elektronik dalam sistem pemilu tanah air telah terumus melalui regulasi yang ada, tinggal bagaimana menyempurnakannya sehingga menjadi aturan yang dapat di implemtasikan secara massif.
Terlepas dari segala kekurangan dan kendala yang diprediski bakal menghalau proses digitalisasi ini, tentu saja kemauan kuat seluruh stakeholder dan pemangku kebijakan menjadi penentu arah proses demokrasi tanah air. Apakah mandek atau lebih berkembang maju ke depan.
(abd)