Imigran (Makin) Merana di Tengah Corona
loading...
A
A
A
Shafinaz Nachiar
Jurnalis MNC Group Media, News Presenter Seputar Inews RCTI.
SEMUA masyarakat di seluruh dunia mengetahui bahwa wabah pandemi Covid-19 sangat berdampak pada berbagai sektor, terutama ekonomi. Di Indonesia, pandemi Covid-19 menyebabkan banyak masyarakat miskin mendadak, bahkan terpaksa alih profesi akibat di PHK.
Kesulitan dirasakan merata bagi si miskin dan si kaya. Kesulitan ekonomi pun tidak hanya dirasakan warga negara Indonesia saja, melainkan warga negara asing yang tinggal di Indonesia merasakan dampaknya.
Saya membicarakan nasib para pencari suaka, bukan pengusaha asing. Indonesia sudah sejak beberapa tahun kebelakang menjadi negara dengan banyak para pencari suaka. Tak sedikit dari mereka yang sudah berada di Indonesia hingga puluhan tahun, hanya menunggu kepastian suaka oleh UNHCR. Kini sebagian para pencari suaka tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satunya Jakarta, tepatnya di Kalideres, Jakarta Barat.
Jakarta sampai dengan 22 Mei 2020 mendatang masih akan menjalankan PSBB atau lockdown 'kecil kecilan'. Bayangkan tanpa PSBB pun, para imigran ini sudah terbiasa "terisolasi' di gedung tanpa listrik, tak bisa bekerja, dan hanya bergantung pada bantuan masyarakat. Di tengah PSBB Jakarta, mereka memutuskan karantina sendiri, sehingga makin kecil kemungkinan mereka bisa keluar untuk mencari tambahan makanan.
Kondisi kesulitan para imigran sama sulitnya dengan banyaknya warga miskin di Jakarta, bedanya WNI yang miskin bisa bebas berusaha bekerja serabutan. Sementara para imigran dilarang melakukan apapun karena mereka ilegal dan berisiko pidana jika bekerja tanpa izin.
Banyak yang menganggap para imigran sebagai 'parasit' negara. Tidak salah, tapi saya yakin bukan keinginan mereka untuk ada di Indonesia dengan waktu yang sangat lama dan luntang lantung tanpa kejelasan. Saya pun percaya, bahwa pekerjaan untuk mencarikan negara tujuan bagi para pencari suaka bukan pekerjaan mudah dan merupakan kendala semula negara yang menjadi tujuan para pencari suaka.
Saya berkesempatan untuk berbincang langsung melalui sambungan video call dengan salah satu imigran yang 'dituakan' yaitu, Hasan Ramazan Rateq di penampungan Kalideres, Jakarta Barat. Menurutnya, UNHCR pernah mendatangi penampungan satu kali pada saat mensosialisasikan Covid-19 kepada para imigran. UNHCR juga hadir memberikan hand sanitizer, sabun cuci tangan cair dan masker.
Dari laporan 230 hand sanitizer yang dikirimkan, para imigran hanya menerima 195 botol dan para imigran diberikan satu botol cuci tangan untuk setiap orang yang ada di penampungan. Setelah bantuan ini diberikan, belum lagi pihak yang datang mengunjungi. Upaya untuk mengecek kesehatan atau rapid test untuk para imigran juga belum dilakukan. Sementara rapid test penting dilakukan mengingat mereka sangat sulit melakukan physical distancing dan besar kemungkinan akibat hal tersebut bisa saling menularkan penyakit.
Bagaimana bisa melakukan physical distancing, jika kapasitas penampungan untuk 100 orang, namun imigiran disana hingga 230 orang. Mereka tinggal di dalam gedung, hanya dibatasi kain terpal dan tenda antara satu keluarga dengan yang lainnya. Dalam satu tenda kecil, bisa berisi dua orang dewasa dan dua anak kecil. Tidak ada fasilitas apa-apa, selain kipas kecil untuk menyejukkan hari-hari mereka di dalam penampungan, itupun biaya listrik dibayar oleh donatur.
Jurnalis MNC Group Media, News Presenter Seputar Inews RCTI.
SEMUA masyarakat di seluruh dunia mengetahui bahwa wabah pandemi Covid-19 sangat berdampak pada berbagai sektor, terutama ekonomi. Di Indonesia, pandemi Covid-19 menyebabkan banyak masyarakat miskin mendadak, bahkan terpaksa alih profesi akibat di PHK.
Kesulitan dirasakan merata bagi si miskin dan si kaya. Kesulitan ekonomi pun tidak hanya dirasakan warga negara Indonesia saja, melainkan warga negara asing yang tinggal di Indonesia merasakan dampaknya.
Saya membicarakan nasib para pencari suaka, bukan pengusaha asing. Indonesia sudah sejak beberapa tahun kebelakang menjadi negara dengan banyak para pencari suaka. Tak sedikit dari mereka yang sudah berada di Indonesia hingga puluhan tahun, hanya menunggu kepastian suaka oleh UNHCR. Kini sebagian para pencari suaka tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satunya Jakarta, tepatnya di Kalideres, Jakarta Barat.
Jakarta sampai dengan 22 Mei 2020 mendatang masih akan menjalankan PSBB atau lockdown 'kecil kecilan'. Bayangkan tanpa PSBB pun, para imigran ini sudah terbiasa "terisolasi' di gedung tanpa listrik, tak bisa bekerja, dan hanya bergantung pada bantuan masyarakat. Di tengah PSBB Jakarta, mereka memutuskan karantina sendiri, sehingga makin kecil kemungkinan mereka bisa keluar untuk mencari tambahan makanan.
Kondisi kesulitan para imigran sama sulitnya dengan banyaknya warga miskin di Jakarta, bedanya WNI yang miskin bisa bebas berusaha bekerja serabutan. Sementara para imigran dilarang melakukan apapun karena mereka ilegal dan berisiko pidana jika bekerja tanpa izin.
Banyak yang menganggap para imigran sebagai 'parasit' negara. Tidak salah, tapi saya yakin bukan keinginan mereka untuk ada di Indonesia dengan waktu yang sangat lama dan luntang lantung tanpa kejelasan. Saya pun percaya, bahwa pekerjaan untuk mencarikan negara tujuan bagi para pencari suaka bukan pekerjaan mudah dan merupakan kendala semula negara yang menjadi tujuan para pencari suaka.
Saya berkesempatan untuk berbincang langsung melalui sambungan video call dengan salah satu imigran yang 'dituakan' yaitu, Hasan Ramazan Rateq di penampungan Kalideres, Jakarta Barat. Menurutnya, UNHCR pernah mendatangi penampungan satu kali pada saat mensosialisasikan Covid-19 kepada para imigran. UNHCR juga hadir memberikan hand sanitizer, sabun cuci tangan cair dan masker.
Dari laporan 230 hand sanitizer yang dikirimkan, para imigran hanya menerima 195 botol dan para imigran diberikan satu botol cuci tangan untuk setiap orang yang ada di penampungan. Setelah bantuan ini diberikan, belum lagi pihak yang datang mengunjungi. Upaya untuk mengecek kesehatan atau rapid test untuk para imigran juga belum dilakukan. Sementara rapid test penting dilakukan mengingat mereka sangat sulit melakukan physical distancing dan besar kemungkinan akibat hal tersebut bisa saling menularkan penyakit.
Bagaimana bisa melakukan physical distancing, jika kapasitas penampungan untuk 100 orang, namun imigiran disana hingga 230 orang. Mereka tinggal di dalam gedung, hanya dibatasi kain terpal dan tenda antara satu keluarga dengan yang lainnya. Dalam satu tenda kecil, bisa berisi dua orang dewasa dan dua anak kecil. Tidak ada fasilitas apa-apa, selain kipas kecil untuk menyejukkan hari-hari mereka di dalam penampungan, itupun biaya listrik dibayar oleh donatur.