Pembangunan Melek Bencana

Jum'at, 05 Februari 2021 - 06:05 WIB
loading...
Pembangunan Melek Bencana
Yonvitner (Foto: Istimewa)
A A A
Yonvitner
Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB)

AWAL tahun ini bencana alam kembali melanda sejumlah daerah di Tanah Air. Bencana tersebut merenggut korban jiwa dan kerugian material yang tidak sedikit. Besarnya dampak kejadian bencana seolah mempertegas lemahnya komitmen kita dalam pengawasan pembangunan.

Mungkin kita tidak abai dalam konteks perencanaan dan konsepsi, namun kita sering abai dalam implementasi pembangunan. Kalau diambil garis lurus, kita bisa lihat setiap kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) selalu mengamanatkan penilaian daya dukung dan daya tampung sebagai basis tata ruang. Kebutuhan daya dukung dan daya tampung jelas untuk memperkuat substansi kebencanaan. Sesungguhnya kita sadar bahwa risiko pembangunan ke depan adalah adanya potensi bencana yang dapat atau tidak dapat diprediksi. Itulah sebabnya KLHS mengamanatkan daya dukung dan daya tampung.

Kejadian bencana banjir awal 2020 di Jakarta dan 2021 di Kalimantan Selatan menyentak kita semua. Sering kita berpikir bahwa itu takdir yang tidak bisa ditolak. Juga tidak jarang dikatakan itu sebagai bentuk peringatan Allah SWT, teguran. Namun, satu hal yang perlu kita ingat bahwa kejadian yang terjadi saat ini adalah bentuk dari kelengahan dan kelemahan kita dalam mengelola alam.

Kembali kita perlu sadari di mana kelemahan dan kelengahan itu bersumber. Penulis melihat paling tidak ada tiga titik awal kelemahan yang menjadi pangkal dari tidak terkelolanya kejadian bencana yang saat ini terjadi. Pertama, kita tidak mampu memprediksi dengan baik daya dukung dan daya tampung ekosistem. Kedua, tidak adanya pengawasan dan monitoring pembangunan secara baik, dan ketiga, terlambatnya kita memberikan edukasi kepada masyarakat dalam menentukan keseimbangan pembangunan. Untuk itu, penulis melihat ketiga hal di atas sebagai agenda yang harus dituntaskan.

Tiga Agenda
Ketiga agenda yang tertinggal tersebut harus dituntaskan satu per satu. Pertama, soal daya dukung dan daya tampung. Dalam kajian KLHS sering kita melihat daya dukung dan daya tampung tidak terformulasi dengan baik. Daya dukung fisik lahan menerima pembangunan, daya dukung sosial menerima pengaruh, daya dukung ekologi melakukan resilience, serta daya dukung politik dalam memberikan pertimbangan.

Daya dukung ini seharusnya dijabarkan dalam sebuah model prediksi tampung maksimum dan minimum. Kejadian banjir dan longsor saat ini memperlihatkan kepada kita menurunnya kemampuan lahan menahan laju air. Proses penyerapan dan penyimpanan air tidak mampu diprediksi dengan baik. Seharusnya ketika kita menembang sebuah pohon di dataran tinggi untuk kepentingan pembukaan lahan bagi pembangunan perumahan, hotel atau infrastruktur lainnya, kita sadar bahwa itu sudah menghilangkan kemampuan lahan dalam menahan laju air. Akibatnya air langsung bergerak, baik melalui celah tanah yang terbuka yang membawa erosi dan longsor maupun langsung ke badan air.

Ketika kejadian banjir ini terjadi, kita juga tidak paham berapa lama kondisi akan membaik untuk kembali pulih (resilience). Satu pohon menentukan lamanya air tertahan sebelum mengalir ke anak sungai (ini termasuk skenario daya dukung). Selanjutnya daya dukung juga di tengah, yaitu kemampuan tampung badan air. Sering kali kita menggunakan model prediksi untuk hal ini namun sering juga model yang disajikan tidak operasional.

Di sini penulis berpikir solusinya adalah daya dukung dan daya tampung dalam bentuk model yang operasional dalam pembangunan, tidak sekadar model konseptual yang tertuang dalam dokumen KLHS. Sehingga, dalam penyusunan pedoman KLHS dan tata ruang, orang harus mampu menyiapkan ini, bukan sekadar mampu menyelesaikan administrasi proyek. Banyak terjadi selama ini pelaksana proyek terjebak dalam urusan administrasi dari substansi. Titik lemah ini yang seharusnya diisi kampus atau universitas. Setiap kajian harus dilakukan dan didampingi pakar dari kampus yang tentunya punya banyak desain perencanaan. Teknis pembangunan dapat dilakukan konsultan teknik. Model prediksi daya tampung dan daya dukung menjadi ranah yang tidak boleh diabaikan dalam tata ruang dan pembangunan.

Agenda kedua, yaitu memperkuat pelaksanaan monitoring pembangun. Monitoring inilah yang menjadi titik lemah pembangunan saat ini. Ketika tata ruang menempati lokasi budi daya dan pemanfaatan, kemudian pemerintah lupa mengontrol dan mengawasi pelaksanaannya. Kontrol yang penulis maksud tidak hanya terhadap pembangunan besar yang harus memiliki dokumen amdal, juga terhadap pembangunan oleh rakyat. Percepatan pertumbuhan penduduk yang diiringi pembangunan yang begitu masif saat ini memperlihatkan pembangunan yang tidak terkendali.

Kejadian banjir yang sering terjadi adalah akibat lemahnya pengawasan pembangunan. Masyarakat dibiarkan membangun di pinggir sungai, saluran air yang berisiko bencana tinggi, menebang dan memperjualbelikan lahan di perbukitan. Bahkan, di saluran-saluran air kecil, masyarakat tidak segan untuk menimbun, menutup untuk mendirikan rumah atau bangunan di atasnya.

Penulis melihat solusinya adalah pengawasan pembangunan harus dilakukan dari pembangunan perumahan oleh rakyat sampai pembangunan oleh pengembang. Pemerintah harus menyampaikan kepada masyarakat kecil sekalipun bahwa membangun di pinggir sungai, di atas gorong-gorong, di daerah lereng, adalah berisiko tinggi. Harus diberikan edukasi dan penyadaran hidup aman, sehat, dan berkualitas. Kementerian PUPR harusnya melakukan kontrol sampai titik terbawah, tidak sekadar membangun jalan tol atau megaproyek infrastruktur sebagai bentuk keberhasilan. Indikator kinerja Kementerian PUPR seharusnya menyertakan berkurangnya perumahan terkena bencana dan berkurangnya pembangunan di daerah berisiko bencana tinggi. Cara pandang dan kerja yang radikal tapi harus dilakukan demi mewujudkan masyarakat yang sehat dan berkualitas.

Agenda ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah edukasi kepada masyarakat. Pembiaran hidup di pinggir sungai di daerah lembah, di kawasan berisiko harus diantisipasi dengan mulai memberikan edukasi rutin dan terjadwal.

Kelangkaan ruang untuk perumahan sudah mulai terjadi, keterbatasan sumber daya untuk pangan akan terus menggerogoti alam yang terus menurun kemampuannya. Hanya dengan edukasi, kita akan mendapati risiko bencana tersebut dapat dikelola. Indikator kinerja pemerintah ke depan tidak lagi sebatas persentase penyerapan anggaran, namun sampai pada tahap implementasi dan output program dan berkurangnya kerugian akibat bencana. Pembangunan yang melek bencana akan dapat mengurangi potensi risiko dan kerugian yang akan menjadi beban negara dalam jangka panjang. Saatnya menempatkan informasi risiko bencana dalam perencanaan ruang pembangunan dan investasi di negara ini.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1834 seconds (0.1#10.140)