Seperti Koruptor, Psikolog Forensik Usul Pembatasan Ruang Gerak Buzzer
loading...
A
A
A
JAKARTA - Aksi para pendengung ( buzzer ) di media sosial (medsos) tengah menjadi sorotan. Kasus yang tengah membetot perhatian saat ini adalah cuitan Permadi Arya alias Abu Janda yang menyebut Islam arogan dan dugaan rasisme terhadap mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM ) Natalius Pigai.
Kedua cuitan itu sekarang sedang ditangani Bareskrim Polri. Cuitan yang dianggap berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dikhawatirkan dapat menimbulkan permusuhan diantara masyarakat.
Baca Juga: Kontribusi Abu Janda dan Lawan Sesama Buzzer: Langgengnya Permusuhan
Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan kebencian adalah urusan perasaan. Sementara rasisme berangkat dari bias implisit. Lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menerangkan perasaan dan bias itu ada pada dimensi pribadi (si pembenci dan di rasis) dan muncul secara alamiah.
(Baca: Menguak Persaingan Bisnis Tidak Sehat dengan Memakai Buzzer)
Namun, muncul kecurigaan para pendengung itu mendapatkan bayaran dan di jagat medsos kerap dijuluki dengan sebutan buzzer. Reza menjelaskan ketika pendengung itu diduga melakukan perbuatan pidana, ekspresi kebencian dan rasisme tidak bisa lagi dipandang sebagai dinamika psikologis yang bersifat alamiah.
“Postingannya bukan sungguh-sungguh ekspresi suasana hati. Bukan didorong oleh motif emosional, melainkan motif instrumental,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (2/2/2021).
Baca Juga: Isu Kudeta di Demokrat, Politikus PKB Sebut Jokowi Sangat Hormati SBY
Dia menduga jangan-jangan aksi buzzer yang diduga melakukan tindak pidana di medsos mirip dengan kejahatan terorganisir. Buzzer sangat mungkin sebatas eksekutor lapangan tetapi sebenarnya ada otak dan penyandang dana di belakang mereka.
“Dengan bentuknya sebagai kejahatan terorganisasi, maka kerja aparat penegak hukum tidak cukup pada pemidanaan terhadap si buzzer saja. Perlu diproses pula secara hukum siapa otak dan penyandang dananya,” tegasnya.
(Baca: Kasus Dugaan Rasis, Abu Janda Kembali Diperiksa Polisi 4 Februari)
Reza membuka wacana bagi para buzzer yang berbuat pidana diberikan hukuman tambahan berupa pelarangan memiliki akun medsos. Penerapan ini seperti pada kasus-kasus politisi yang terlibat korupsi. Hakim kerap mencabut hak politiknya.
“Dasar berpikirnya adalah pembatasan ruang gerak: ruang hidup virtual si buzzeRp harus dibatasi guna mempersempit zona residivismenya,” pungkasnya.
Lihat Juga: Psikolog Forensik: Penyelidikan Kasus Vina Cirebon Cenderung Cari Pengakuan Pakai Kekerasan
Kedua cuitan itu sekarang sedang ditangani Bareskrim Polri. Cuitan yang dianggap berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dikhawatirkan dapat menimbulkan permusuhan diantara masyarakat.
Baca Juga: Kontribusi Abu Janda dan Lawan Sesama Buzzer: Langgengnya Permusuhan
Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan kebencian adalah urusan perasaan. Sementara rasisme berangkat dari bias implisit. Lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menerangkan perasaan dan bias itu ada pada dimensi pribadi (si pembenci dan di rasis) dan muncul secara alamiah.
(Baca: Menguak Persaingan Bisnis Tidak Sehat dengan Memakai Buzzer)
Namun, muncul kecurigaan para pendengung itu mendapatkan bayaran dan di jagat medsos kerap dijuluki dengan sebutan buzzer. Reza menjelaskan ketika pendengung itu diduga melakukan perbuatan pidana, ekspresi kebencian dan rasisme tidak bisa lagi dipandang sebagai dinamika psikologis yang bersifat alamiah.
“Postingannya bukan sungguh-sungguh ekspresi suasana hati. Bukan didorong oleh motif emosional, melainkan motif instrumental,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (2/2/2021).
Baca Juga: Isu Kudeta di Demokrat, Politikus PKB Sebut Jokowi Sangat Hormati SBY
Dia menduga jangan-jangan aksi buzzer yang diduga melakukan tindak pidana di medsos mirip dengan kejahatan terorganisir. Buzzer sangat mungkin sebatas eksekutor lapangan tetapi sebenarnya ada otak dan penyandang dana di belakang mereka.
“Dengan bentuknya sebagai kejahatan terorganisasi, maka kerja aparat penegak hukum tidak cukup pada pemidanaan terhadap si buzzer saja. Perlu diproses pula secara hukum siapa otak dan penyandang dananya,” tegasnya.
(Baca: Kasus Dugaan Rasis, Abu Janda Kembali Diperiksa Polisi 4 Februari)
Reza membuka wacana bagi para buzzer yang berbuat pidana diberikan hukuman tambahan berupa pelarangan memiliki akun medsos. Penerapan ini seperti pada kasus-kasus politisi yang terlibat korupsi. Hakim kerap mencabut hak politiknya.
“Dasar berpikirnya adalah pembatasan ruang gerak: ruang hidup virtual si buzzeRp harus dibatasi guna mempersempit zona residivismenya,” pungkasnya.
Lihat Juga: Psikolog Forensik: Penyelidikan Kasus Vina Cirebon Cenderung Cari Pengakuan Pakai Kekerasan
(muh)