Arah Baru NU 100 Tahun: Kemandirian Ekonomi
loading...
A
A
A
Success Story
Hingga kini sebenarnya sudah banyak gerakan pemberdayaan ekonomi umat maupun menata amal usaha NU. Diperkirakan sekitar 5.000 koperasi berbadan hukum yang dibuat oleh warga NU atau oleh lembaga NU. Industri kreatif maupun perdagangan berbasis NU juga banyak berkembang. Seperti pembuatan batik, sarung, kopiah, mukena, dan aneka produk konsumsi lain. Lembaga, ikatan dan himpunan pengusaha di lingkungan santri dan NU juga telah bermunculan.
Cerita sukses ekonomi pesantren yang berhasil memperkuat basis ekonominya dengan mendirikan koperasi-koperasi pesantren bisa dijadikan template. Contoh yang paling jelas di antaranya Koperasi Pesantren dan BMT Pesantren Sidogiri Pasuruan, Ponpes An-Nuqoyah di Guluk-guluk Sumenep, Ponpes Nurul Jadid di Paiton-Probolinggo, Pesantren Drajat di Lamongan, dan masih banyak lagi lainnya. Khusus pengembangan ekonomi di Pesantren Sidogiri sekarang asetnya sudah mencapai Rp2,7 triliun.
Cerita sukses tersebut belum menjadi contoh bagi pesantren dan organisasi struktural NU karena, pertama, sikap konvensional pengurus NU dan pimpinan pesantren yang berlebihan dalam menyikapi perubahan zaman, khususnya percepatan ekonomi digital. NU terasa gagap dalam merespons persoalan yang membutuhkan jawaban segera bagi warganya di bidang ekonomi. Meski, Lazisnu harus di nilai berhasil menjadi rintisan sosial ekonomi model baru.
Kedua, orientasi politik yang kuat di kalangan elite NU. Tak bisa dimungkiri, kekuatan nahdliyin yang besar dianggap efektif untuk mewujudkan tujuan politik seseorang atau kelompok tertentu. Ini akibat besarnya syahwat politik dan transaksi ekonomi yang melanda warga NU dari tingkatan teratas hingga terbawah.
Ketiga, belum adanya visi besar, kebijakan ekonomi makro dan riil, dan strategi jangka panjang dari NU sebagai induk jamaah maupun jamiahnya agar bergerak pada sektor ekonomi modern seperti fintech dan e-commerce di zaman disruptif-VUCA.
Ekonomi Modern NU
Bagaimana melecut pembangunan ekonomi yang adaptasi dengan ekonomi modern? Sebuah percepatan ekonomi bisa dicapai melalui dua hal yaitu power dan capital. Power adalah pengaruh dan personalia kader NU yang mendapat amanat untuk memimpin negara, khususnya wakil presiden RI dan beberapa menteri anggota kabinet Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin. Struktur kekuasaan ini tentu seharusnya berimplikasi untuk mengader warga NU dalam upaya melahirkan kelas baru entrepreneur di Indonesia. Adapun capital adalah kekuatan modal yang harus di miliki oleh NU untuk menggerakkan mesin perekonomian, dalam hal ini capital economy NU masih lemah.
Karena itu, melecut ekonomi modern NU harus dengan cara menyeimbangkan antara power yang telah dimilikinya dengan percepatan modal NU yang harus bergerak pada sektor keuangan dan pembiayaan dengan menggunakan instrumen fintech dan e-commerce.
Dalam hitungan valuasi aset, menurut catatan Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) NU, tidak kurang 24.000 pesantren secara kultural maupun struktural berada di bawah NU dan tersebar hingga pelosok-pelosok Indonesia. Begitu juga perguruan tinggi dan rumah sakit di lingkungan NU sangat banyak.
Jadi, sesungguhnya potensi ekonomi NU dengan asetnya yang besar merupakan kekuatan baru untuk menggerakkan NU ke arah matra sosial ekonomi dalam menapaki modernitas kehidupan. Satu saja kuncinya, diperlukan “manajer keuangan-bisnis” yang bisa menggerakkan potensi ekonomi menjadi kekuatan riil ekonomi NU. Caranya, kegiatan ekonomi NU harus beradaptasi, bahkan bisa menggerakkan pada instrumen pasar modal, e-commerce, fintech yang kesemuanya harus menguasai digital competence di bidang bisnis dan ekonomi.
Jelang usia NU 100 tahun adalah saat terbaik untuk memfokuskan upaya-upaya untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, tetapi tetap memerankan politik etik kenegaraan. Pengorganisasian kekuatan nahdliyin melalui kaderisasi semisal MKNU dan PKPNU harus tetap berjalan untuk meningkatkan ghirah, fikrah, ubudiyah, dan harakah NU dengan napas Aswaja sebagai Islam moderat. Namun, itu semua memerlukan topangan tonggak besar, yaitu “membangun kemandirian ekonomi” agar NU menjadi penentu arah kebijakan dan perubahan negara.
Hingga kini sebenarnya sudah banyak gerakan pemberdayaan ekonomi umat maupun menata amal usaha NU. Diperkirakan sekitar 5.000 koperasi berbadan hukum yang dibuat oleh warga NU atau oleh lembaga NU. Industri kreatif maupun perdagangan berbasis NU juga banyak berkembang. Seperti pembuatan batik, sarung, kopiah, mukena, dan aneka produk konsumsi lain. Lembaga, ikatan dan himpunan pengusaha di lingkungan santri dan NU juga telah bermunculan.
Cerita sukses ekonomi pesantren yang berhasil memperkuat basis ekonominya dengan mendirikan koperasi-koperasi pesantren bisa dijadikan template. Contoh yang paling jelas di antaranya Koperasi Pesantren dan BMT Pesantren Sidogiri Pasuruan, Ponpes An-Nuqoyah di Guluk-guluk Sumenep, Ponpes Nurul Jadid di Paiton-Probolinggo, Pesantren Drajat di Lamongan, dan masih banyak lagi lainnya. Khusus pengembangan ekonomi di Pesantren Sidogiri sekarang asetnya sudah mencapai Rp2,7 triliun.
Cerita sukses tersebut belum menjadi contoh bagi pesantren dan organisasi struktural NU karena, pertama, sikap konvensional pengurus NU dan pimpinan pesantren yang berlebihan dalam menyikapi perubahan zaman, khususnya percepatan ekonomi digital. NU terasa gagap dalam merespons persoalan yang membutuhkan jawaban segera bagi warganya di bidang ekonomi. Meski, Lazisnu harus di nilai berhasil menjadi rintisan sosial ekonomi model baru.
Kedua, orientasi politik yang kuat di kalangan elite NU. Tak bisa dimungkiri, kekuatan nahdliyin yang besar dianggap efektif untuk mewujudkan tujuan politik seseorang atau kelompok tertentu. Ini akibat besarnya syahwat politik dan transaksi ekonomi yang melanda warga NU dari tingkatan teratas hingga terbawah.
Ketiga, belum adanya visi besar, kebijakan ekonomi makro dan riil, dan strategi jangka panjang dari NU sebagai induk jamaah maupun jamiahnya agar bergerak pada sektor ekonomi modern seperti fintech dan e-commerce di zaman disruptif-VUCA.
Ekonomi Modern NU
Bagaimana melecut pembangunan ekonomi yang adaptasi dengan ekonomi modern? Sebuah percepatan ekonomi bisa dicapai melalui dua hal yaitu power dan capital. Power adalah pengaruh dan personalia kader NU yang mendapat amanat untuk memimpin negara, khususnya wakil presiden RI dan beberapa menteri anggota kabinet Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin. Struktur kekuasaan ini tentu seharusnya berimplikasi untuk mengader warga NU dalam upaya melahirkan kelas baru entrepreneur di Indonesia. Adapun capital adalah kekuatan modal yang harus di miliki oleh NU untuk menggerakkan mesin perekonomian, dalam hal ini capital economy NU masih lemah.
Karena itu, melecut ekonomi modern NU harus dengan cara menyeimbangkan antara power yang telah dimilikinya dengan percepatan modal NU yang harus bergerak pada sektor keuangan dan pembiayaan dengan menggunakan instrumen fintech dan e-commerce.
Dalam hitungan valuasi aset, menurut catatan Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) NU, tidak kurang 24.000 pesantren secara kultural maupun struktural berada di bawah NU dan tersebar hingga pelosok-pelosok Indonesia. Begitu juga perguruan tinggi dan rumah sakit di lingkungan NU sangat banyak.
Jadi, sesungguhnya potensi ekonomi NU dengan asetnya yang besar merupakan kekuatan baru untuk menggerakkan NU ke arah matra sosial ekonomi dalam menapaki modernitas kehidupan. Satu saja kuncinya, diperlukan “manajer keuangan-bisnis” yang bisa menggerakkan potensi ekonomi menjadi kekuatan riil ekonomi NU. Caranya, kegiatan ekonomi NU harus beradaptasi, bahkan bisa menggerakkan pada instrumen pasar modal, e-commerce, fintech yang kesemuanya harus menguasai digital competence di bidang bisnis dan ekonomi.
Jelang usia NU 100 tahun adalah saat terbaik untuk memfokuskan upaya-upaya untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, tetapi tetap memerankan politik etik kenegaraan. Pengorganisasian kekuatan nahdliyin melalui kaderisasi semisal MKNU dan PKPNU harus tetap berjalan untuk meningkatkan ghirah, fikrah, ubudiyah, dan harakah NU dengan napas Aswaja sebagai Islam moderat. Namun, itu semua memerlukan topangan tonggak besar, yaitu “membangun kemandirian ekonomi” agar NU menjadi penentu arah kebijakan dan perubahan negara.