Arah Baru NU 100 Tahun: Kemandirian Ekonomi

Senin, 01 Februari 2021 - 06:00 WIB
loading...
Arah Baru NU 100 Tahun: Kemandirian Ekonomi
Ali Masykur Musa (Foto: Istimewa)
A A A
Ali Masykur Musa
Ketua Umum PP ISNU

Nahdlatul Ulama (NU) dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Kehadirannya selalu bersenyawa dengan dinamika sosial yang mengitarinya. Apa yang mengitari itu? Tiada lain tuntutan kesejahteraan warganya di tengah-tengah percepatan pembangunan Indonesia. Meskipun organisasi sosial keagamaan terbesar, kenyataannya, di bidang ekonomi NU masih marginal.

Hari-hari ini NU sedang memperingati hari lahir ke-95. NU kini mendekati usia 100 Tahun. Gaung dan semaraknya sudah terasa. Sejak awal berdiri pada 31 Januari 1926, NU berjuang mengembangkan etos kecendekiaan, kejuangan, dan kemandirian. Tiga etos ini adalah perwujudan dari tiga organ yang merupakan embrio berdirinya NU, yaitu Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Nahdlatut Tujjar.

Tashwirul Afkar mewakili semangat kecendekiaan dan keulamaan, Nahdlatul Wathan mewakili semangat kejuangan kebangsaan, dan Nahdlatut Tujjar mewakili semangat kemandirian ekonomi. Tiga etos terpadu dalam pola gerak NU dari masa ke masa.

Dari tiga etos perjuangan tersebut aspek mewujudkan kemandirian ekonomi demi kesejahteraan warga NU (nahdliyin) masih belum berhasil. Hingga kini basis ekonomi sebagian besar nahdliyin masih lemah, bahkan pada tingkat dasar, yaitu pemenuhan kebutuhan rutin harian. Etos Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Perniagaan-Ekonomi) inilah yang perlu menjadi arah baru. Jadi, orientasi NU harus bergeser dari sosial keagamaan ke sosial-ekonomi, meski tidak meninggalkan sosial-keagamaan dan sosial-politik.

Kemandirian ekonomi merupakan prasyarat bagi kemandirian politik kebangsaan NU. Tanpa ekonomi yang kokoh NU tidak dapat berperan sebagai organisasi masyarakat yang mampu berfungsi sebagai kontrol-positif pemerintah. Agar NU tidak menjadi objek politik baik oleh partai politik maupun oleh pemerintah, kemandirian ekonomi adalah jawabannya.

Arah baru kemandirian ekonomi NU juga untuk menjawab fakta adanya globalisasi dan liberalisasi ekonomi Indonesia yang pengaruhnya terasa hingga ke perdesaan sebagai basis warga NU. Fakta ini telah memengaruhi perilaku transaksional di kalangan NU—dan rakyat secara umum—karena pragmatisme politik akibat dari liberasi politik. Tentu perilaku ini bertentangan dengan ajaran dasar NU yang mengedepankan sikap ghirah dan harakah dalam memperjuangkan Aswaja.

Pendulum Gerakan Ekonomi NU
Gerakan ekonomi NU sebenarnya tidak jalan di tempat, tetapi berjalan cukup dinamis menurut ukuran tradisi NU sendiri. Namun, jika dibandingkan dengan perubahan zaman yang begitu cepat dan perkembangan di ormas-ormas keagamaan lain, apa yang dicapai NU di sektor ini masih jauh dari ideal.

Setelah Nahdlatut Tujjar, gerakan penguatan ekonomi NU dibangun kembali pada 1937, Ketua Tanfidhiyah NU KH Mahfoedz Shidiq pada masa itu membentuk koperasi Syirkah Muawwanah untuk memperkuat modal para petani di perdesaan. Namun, dalam perkembangannya koperasi ini terbengkalai. Pengamat berpendapat, hal itu terjadi sebagai dampak keterlibatan NU dalam politik praktis.

Setelah NU kembali ke khittah menjadi organisasi sosial-keagamaan pada 1984, ide penguatan ekonomi umat itu muncul kembali. Pada 1990 NU menandatangani kesepakatan dengan Bank Summa untuk membentuk Bank Nusumma, dan rintisan ekonomi lain di bawah kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid. Namun, keberadaan Nusumma dan rintisan ekonomi NU tidak mampu bertahan dari terpaan badai krisis ekonomi 1997.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2875 seconds (0.1#10.140)