Vaksinasi dan Inokulasi Komunikasi
loading...
A
A
A
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
SALAH satu agenda sangat penting pada 2021 ini adalah vaksinasi Covid-19. Sudah dimulai sejak Rabu (13/1), yang ditandai dengan pemberian vaksin kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), beserta sejumlah tokoh lainnya. Ini merupakan ikhtiar dan menjadi salah satu dari ragam cara mengatasi pandemi yang saat ini mencatatkan rekor dengan angka yang positif terpapar korona melampaui 1 juta orang. Tak mudah memang, polarisasi persepsi masih terjadi, terlebih di era keberlimpahan komunikasi yang terfasilitasi ragam kanal, terutama media sosial. Belum lagi ketidaknyamanan dan ketidakpastian akibat pandemi berdampak pada kepercayaan publik yang tak mudah diyakinkan. Tulisan ini melihat vaksinasi dari sisi proses komunikasi yang semestinya dijalankan.
Komunikasi Persuasif
Dalam mengawal kesuksesan agenda vaksinasi ini diperlukan strategi komunikasi yang tepat untuk membangun pemahaman bersama dan penerimaan dari khalayak luas. Secara faktual, masyarakat masih terbagi di tiga zona. jika merujuk pada Social Judgement Theory dari Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif, sebagaimana dikutip Richard M Perloff dalam bukunya, The Dynamics of Persuasion (2003). Pertama, warga yang berada di zona penerimaan (latitude of acceptance) terhadap vaksin. Argumen kelompok ini umumnya vaksin diperlukan bagi sistem imunitas tubuh untuk melawan virus korona. Dengan begitu, risiko terinfeksi virus ini akan jauh lebih kecil. Jika pun seseorang yang sudah divaksin tertular Covid-19, vaksin bisa mencegah terjadinya gejala yang berat dan komplikasi. Sebagian dari kelompok yang menerima ada yang memahami bahwa bila vaksin diberikan secara massal, akan mendorong terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity). Meskipun jika ditanya lebih rinci, turunan teknis soal vaksinasi ini belum banyak dipahami masyarakat umum.
Kedua, warga yang berada di zona penolakan (latitude of rejection), yakni masyarakat yang sedari awal tidak bisa menerima dan tidak mau divaksin. Umumnya disebabkan tiga hal, yakni sikap, norma subjektif, dan lingkungan. Ada kelompok masyarakat yang sejak awal bersikap antipati pada apa pun yang diambil pemerintahan Jokowi. Hal ini bisa jadi faktornya banyak antara lain pilihan politik selama pemilihan presiden yang memengaruhi sikap oposisional dirinya dengan kebijakan-kebijakan Jokowi. Norma subjektif terhubung dengan kerangka rujukan normatif yang memandu subjektivitas dirinya terhadap vaksin, bisa agama, bisa juga sumber bacaan yang memandu kepercayaan, nalar, dan emosinya. Jangan abaikan pula faktor lingkungan, misalnya keluarga, kelompok sebaya (peer group), sosialisasi di sekolah, dan lain-lain.
Ketiga, warga yang berada di zona keraguan dan belum berkomitmen menerima atau menolak (latitude of noncommitment). Lapis masyarakat seperti ini masih memerlukan penjelasan, informasi yang lebih memadai, peneguhan intensi untuk mengubah sikap dan perilakunya dari ragu menjadi menerima atau menolak. Merujuk salah satu teori persuasi, Theory of Reasoned Action yang dikembangkan Martin Fishbein dan Icek Ajzen pada 1980 dalam bukunya, Predicting and Changing Behavior: The Reasoned Action Approach (2007), perubahan perilaku itu ditentukan oleh intensi seseorang. Masyarakat berperilaku dengan cara sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Dalam konteks inilah komunikasi memainkan peran dan fungsi strategisnya dalam vaksinasi. Tanpa komunikasi yang baik, vaksin ini tidak akan menyentuh kesadaran mayoritas warga untuk melakukannya.
Komunikasi Berjejaring
Sesungguhnya kalau kita mengikuti proses vaksinasi ini di Indonesia, masyarakat seharusnya tak perlu ragu, mengingat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA). Dengan izin tersebut, vaksin CoronaVac produksi Sinovac Life Science Co Ltd China dan PT Bio Farma (Persero) dapat digunakan untuk program vaksinasi di Indonesia. Dari sisi kerangka referensi evaluatif nilai pun bagi umat Islam telah keluar Fatwa MU Nomor 02 Tahun 2021 Tentang Produk Vaksin Covid-19 dari Sinovac dan PT Bio Farma (Persero). MUI menyatakan bahwa vaksin tersebut hukumnya suci dan halal. Vaksin tersebut boleh digunakan umat Islam sepanjang terjamin keamanannya menurut ahli yang kredibel dan kompeten.
Dari sisi rujukan baik kesehatan maupun agama sudah sangat memadai untuk meyakinkan warga agar ikut vaksinasi. Tetapi, tentu saja komunikasi tidak bersifat instan dan linear. Keluar izin dari BPOM, belum tentu dipahami substansinya. Misalnya banyak masyarakat yang masih bertanya tentang apa yang dimaksud dengan izin penggunaan darurat? Apakah vaksin ini tidak memiliki efek samping pada kesehatan manusia? Tentu masih banyak lagi pertanyaan lain yang harus dijelaskan ke masyarakat awam. Pun demikian dengan fatwa MUI. Substansi fatwa yang komprehensif berdasarkan kajian mendalam dari sejumlah pakar, kiai dan ulama, tidak serta merta bisa dipahami jika tak melakukan komunikasi ke basis masyarakat akar rumput.
Di tengah situasi seperti ini perlu inokulasi komunikasi. Istilah inokulasi komunikasi dikenalkan William J McGuire dalam Inoculation Theory, sebagaimana dikutip di bukunya Pfau, The Inoculation Model of Resistance to Influence (1997). Menganalogikan proses ini seperti di dunia medis, orang harus diberi vaksin untuk merangsang mekanisme daya tahan tubuhnya. Seseorang yang memiliki daya tahan tubuh kuat, tentu tak akan mudah terserang penyakit. Pun demikian dalam proses berkomunikasi, warga harus diberi informasi yang memadai untuk menaikkan “imunitas” pada pikiran warasnya. Bahkan, harus diberikan ulasan, argumentasi, logika berpikir, untuk membantah serangan-serangan virus post-truth termasuk hoaks yang merajalela di sekitar kita terhubung dengan vaksinasi Covid-19 ini.
Pendekatan utama dalam komunikasi yang mendesak dilakukan saat ini adalah sosialisasi vaksin berbasis komunitas. Masyarakat Indonesia, secara sosiologis adalah masyarakat paguyuban. Oleh karenanya, sosialisasi ke kantong-kantong warga untuk mendapatkan pemahaman bersama mutlak harus dilakukan. Komunitas akademis, kepemudaan, keagamaan, kebudayaan dan lain perlu didekati dengan cara yang tepat. Siapa yang menjadi target sasaran pesan? Memersuasi komunitas Gen Y dan Z dengan Gen X atau babyboomers tentu saja akan sangat berbeda. Selain itu, perlu menjaga ruang informasi di media massa dan media sosial dengan cara mengisi narasi tentang vaksinasi yang akan dikonsumsi khalayak. Kata kunci dan pesan-pesan yang mudah dipahami menjadi kunci. Terlebih di era digital, ketika informasi yang mudah dicernalah yang akan mendapat tempat untuk dibagikan dan diviralkan.
Hal yang penting dijaga dan dikelola pemerintah dalam konteks berkomunikasi dengan masyarakat, tentunya menyangkut kepercayaan publik yang tidak bisa serta merta ada dan menguat tanpa adanya komunikasi efektif, terutama dengan masyarakat awam. Paling tidak ada empat strategi yang bisa mendukung sosialisasi vaksinasi yang digencarkan pemerintah saat ini. Pertama, terus-menerus mengelola narasi yang penting dan mudah dipahami masyarakat lintas strata. Terutama untuk menyentuh pemahaman dan mendorong ketergerakan akan pentingnya vaksinasi dalam mengatasi pandemi.
Kedua, kontra narasi, yakni dengan merespons sekaligus menangkal serangan-serangan yang mendelegitimasi atau menyudutkan upaya vaksinasi ini. Kontra narasi ini bisa dimasifkan di media sosial karena biasanya serangan yang intens muncul dan menyebar di media sosial. Strategi memviralkan kontra narasi untuk mendapat gema atau resonansi di para netizen, sekaligus memperbesar potensi amplifikasi di media massa menjadi pola yang biasa terjadi dalam pertarungan opini.
Ketiga, komunikasi melalui orang maupun organisasi yang berpengaruh di masyarakat luas. Ini semacam strategi melalui influencer di media sosial. Tak bisa dinafikan sosok seperti para da’i dan para tokoh agama yang rajin terjun di masyarakat, para akademisi yang rajin mengisi forum-forum, para penyuluh, para budayawan, tokoh adat dan lain-lain menjadi para pembuat opini yang bisa memperluas jangkauan dan pengaruh pesan.
Keempat, jangan abaikan juga komunikasi lintas sektor kelembagaan pemerintah baik di pusat maupun daerah. Jangan sampai antara pemerintah pusat dan daerah berbeda-beda kebijakan maupun implementasi programnya. Nah yang jelas, untuk menyukseskan program nasional seperti vaksinasi di tengah ketidakpastian dan ketidaknyamanan seperti sekarang akan mendapatkan banyak tantangan.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
SALAH satu agenda sangat penting pada 2021 ini adalah vaksinasi Covid-19. Sudah dimulai sejak Rabu (13/1), yang ditandai dengan pemberian vaksin kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), beserta sejumlah tokoh lainnya. Ini merupakan ikhtiar dan menjadi salah satu dari ragam cara mengatasi pandemi yang saat ini mencatatkan rekor dengan angka yang positif terpapar korona melampaui 1 juta orang. Tak mudah memang, polarisasi persepsi masih terjadi, terlebih di era keberlimpahan komunikasi yang terfasilitasi ragam kanal, terutama media sosial. Belum lagi ketidaknyamanan dan ketidakpastian akibat pandemi berdampak pada kepercayaan publik yang tak mudah diyakinkan. Tulisan ini melihat vaksinasi dari sisi proses komunikasi yang semestinya dijalankan.
Komunikasi Persuasif
Dalam mengawal kesuksesan agenda vaksinasi ini diperlukan strategi komunikasi yang tepat untuk membangun pemahaman bersama dan penerimaan dari khalayak luas. Secara faktual, masyarakat masih terbagi di tiga zona. jika merujuk pada Social Judgement Theory dari Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif, sebagaimana dikutip Richard M Perloff dalam bukunya, The Dynamics of Persuasion (2003). Pertama, warga yang berada di zona penerimaan (latitude of acceptance) terhadap vaksin. Argumen kelompok ini umumnya vaksin diperlukan bagi sistem imunitas tubuh untuk melawan virus korona. Dengan begitu, risiko terinfeksi virus ini akan jauh lebih kecil. Jika pun seseorang yang sudah divaksin tertular Covid-19, vaksin bisa mencegah terjadinya gejala yang berat dan komplikasi. Sebagian dari kelompok yang menerima ada yang memahami bahwa bila vaksin diberikan secara massal, akan mendorong terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity). Meskipun jika ditanya lebih rinci, turunan teknis soal vaksinasi ini belum banyak dipahami masyarakat umum.
Kedua, warga yang berada di zona penolakan (latitude of rejection), yakni masyarakat yang sedari awal tidak bisa menerima dan tidak mau divaksin. Umumnya disebabkan tiga hal, yakni sikap, norma subjektif, dan lingkungan. Ada kelompok masyarakat yang sejak awal bersikap antipati pada apa pun yang diambil pemerintahan Jokowi. Hal ini bisa jadi faktornya banyak antara lain pilihan politik selama pemilihan presiden yang memengaruhi sikap oposisional dirinya dengan kebijakan-kebijakan Jokowi. Norma subjektif terhubung dengan kerangka rujukan normatif yang memandu subjektivitas dirinya terhadap vaksin, bisa agama, bisa juga sumber bacaan yang memandu kepercayaan, nalar, dan emosinya. Jangan abaikan pula faktor lingkungan, misalnya keluarga, kelompok sebaya (peer group), sosialisasi di sekolah, dan lain-lain.
Ketiga, warga yang berada di zona keraguan dan belum berkomitmen menerima atau menolak (latitude of noncommitment). Lapis masyarakat seperti ini masih memerlukan penjelasan, informasi yang lebih memadai, peneguhan intensi untuk mengubah sikap dan perilakunya dari ragu menjadi menerima atau menolak. Merujuk salah satu teori persuasi, Theory of Reasoned Action yang dikembangkan Martin Fishbein dan Icek Ajzen pada 1980 dalam bukunya, Predicting and Changing Behavior: The Reasoned Action Approach (2007), perubahan perilaku itu ditentukan oleh intensi seseorang. Masyarakat berperilaku dengan cara sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Dalam konteks inilah komunikasi memainkan peran dan fungsi strategisnya dalam vaksinasi. Tanpa komunikasi yang baik, vaksin ini tidak akan menyentuh kesadaran mayoritas warga untuk melakukannya.
Komunikasi Berjejaring
Sesungguhnya kalau kita mengikuti proses vaksinasi ini di Indonesia, masyarakat seharusnya tak perlu ragu, mengingat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA). Dengan izin tersebut, vaksin CoronaVac produksi Sinovac Life Science Co Ltd China dan PT Bio Farma (Persero) dapat digunakan untuk program vaksinasi di Indonesia. Dari sisi kerangka referensi evaluatif nilai pun bagi umat Islam telah keluar Fatwa MU Nomor 02 Tahun 2021 Tentang Produk Vaksin Covid-19 dari Sinovac dan PT Bio Farma (Persero). MUI menyatakan bahwa vaksin tersebut hukumnya suci dan halal. Vaksin tersebut boleh digunakan umat Islam sepanjang terjamin keamanannya menurut ahli yang kredibel dan kompeten.
Dari sisi rujukan baik kesehatan maupun agama sudah sangat memadai untuk meyakinkan warga agar ikut vaksinasi. Tetapi, tentu saja komunikasi tidak bersifat instan dan linear. Keluar izin dari BPOM, belum tentu dipahami substansinya. Misalnya banyak masyarakat yang masih bertanya tentang apa yang dimaksud dengan izin penggunaan darurat? Apakah vaksin ini tidak memiliki efek samping pada kesehatan manusia? Tentu masih banyak lagi pertanyaan lain yang harus dijelaskan ke masyarakat awam. Pun demikian dengan fatwa MUI. Substansi fatwa yang komprehensif berdasarkan kajian mendalam dari sejumlah pakar, kiai dan ulama, tidak serta merta bisa dipahami jika tak melakukan komunikasi ke basis masyarakat akar rumput.
Di tengah situasi seperti ini perlu inokulasi komunikasi. Istilah inokulasi komunikasi dikenalkan William J McGuire dalam Inoculation Theory, sebagaimana dikutip di bukunya Pfau, The Inoculation Model of Resistance to Influence (1997). Menganalogikan proses ini seperti di dunia medis, orang harus diberi vaksin untuk merangsang mekanisme daya tahan tubuhnya. Seseorang yang memiliki daya tahan tubuh kuat, tentu tak akan mudah terserang penyakit. Pun demikian dalam proses berkomunikasi, warga harus diberi informasi yang memadai untuk menaikkan “imunitas” pada pikiran warasnya. Bahkan, harus diberikan ulasan, argumentasi, logika berpikir, untuk membantah serangan-serangan virus post-truth termasuk hoaks yang merajalela di sekitar kita terhubung dengan vaksinasi Covid-19 ini.
Pendekatan utama dalam komunikasi yang mendesak dilakukan saat ini adalah sosialisasi vaksin berbasis komunitas. Masyarakat Indonesia, secara sosiologis adalah masyarakat paguyuban. Oleh karenanya, sosialisasi ke kantong-kantong warga untuk mendapatkan pemahaman bersama mutlak harus dilakukan. Komunitas akademis, kepemudaan, keagamaan, kebudayaan dan lain perlu didekati dengan cara yang tepat. Siapa yang menjadi target sasaran pesan? Memersuasi komunitas Gen Y dan Z dengan Gen X atau babyboomers tentu saja akan sangat berbeda. Selain itu, perlu menjaga ruang informasi di media massa dan media sosial dengan cara mengisi narasi tentang vaksinasi yang akan dikonsumsi khalayak. Kata kunci dan pesan-pesan yang mudah dipahami menjadi kunci. Terlebih di era digital, ketika informasi yang mudah dicernalah yang akan mendapat tempat untuk dibagikan dan diviralkan.
Hal yang penting dijaga dan dikelola pemerintah dalam konteks berkomunikasi dengan masyarakat, tentunya menyangkut kepercayaan publik yang tidak bisa serta merta ada dan menguat tanpa adanya komunikasi efektif, terutama dengan masyarakat awam. Paling tidak ada empat strategi yang bisa mendukung sosialisasi vaksinasi yang digencarkan pemerintah saat ini. Pertama, terus-menerus mengelola narasi yang penting dan mudah dipahami masyarakat lintas strata. Terutama untuk menyentuh pemahaman dan mendorong ketergerakan akan pentingnya vaksinasi dalam mengatasi pandemi.
Kedua, kontra narasi, yakni dengan merespons sekaligus menangkal serangan-serangan yang mendelegitimasi atau menyudutkan upaya vaksinasi ini. Kontra narasi ini bisa dimasifkan di media sosial karena biasanya serangan yang intens muncul dan menyebar di media sosial. Strategi memviralkan kontra narasi untuk mendapat gema atau resonansi di para netizen, sekaligus memperbesar potensi amplifikasi di media massa menjadi pola yang biasa terjadi dalam pertarungan opini.
Ketiga, komunikasi melalui orang maupun organisasi yang berpengaruh di masyarakat luas. Ini semacam strategi melalui influencer di media sosial. Tak bisa dinafikan sosok seperti para da’i dan para tokoh agama yang rajin terjun di masyarakat, para akademisi yang rajin mengisi forum-forum, para penyuluh, para budayawan, tokoh adat dan lain-lain menjadi para pembuat opini yang bisa memperluas jangkauan dan pengaruh pesan.
Keempat, jangan abaikan juga komunikasi lintas sektor kelembagaan pemerintah baik di pusat maupun daerah. Jangan sampai antara pemerintah pusat dan daerah berbeda-beda kebijakan maupun implementasi programnya. Nah yang jelas, untuk menyukseskan program nasional seperti vaksinasi di tengah ketidakpastian dan ketidaknyamanan seperti sekarang akan mendapatkan banyak tantangan.
(bmm)