Komisi IX Minta Pemerintah Perbaiki Manajemen dan Kinerja BPJS Kesehatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memerlukan perbaikan yang komprehensif agar defisit anggaran tidak terus terjadi. Harus ada solusi jangka pendek dan panjang sehingga jalan keluar dari masalah yang ada tidak hanya kenaikan iuran bulan.
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menilai pemerintah tidak peka dan berempati terhadap situasi masyarakat yang sedang terpukul karena pandemi Covid-19. Kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan sangat mencederai kemanusiaan.
"Kenaikan ini juga menjadi pil pahit bagi masyarakat di momen Lebaran tahun ini. Beban hidup rakyat sudah berat, makin bertambah berat dengan kenaikan beberapa produk," ujarnya dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Sabtu (16/5/2020).
Lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, pemerintah menetapkan iuran peserta mandiri BPJS Kelas I Rp150.000 dan Kelas II Rp100.000. Kenaikan itu berlaku pada 1 Juli 2020. Sementara itu, kelas III Rp25.500 dari seharusnya sebesar Rp42.000. Pemerintah menanggung Rp16.500, tapi Januari 2021 menjadi Rp35.000.
"Pemerintah harusnya fokus dalam penanganan kesehatan, terutama Covid-19, dengan menggunakan anggaran kesehatan yang sudah disiapkan. Jangan bikin pusing rakyat dengan kebijakan yang kontradiktif," tutur politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Netty memberikan saran yang harus dilakukan pemerintah untuk penyelesaian jangka pendek dan panjang. Pertama, sebaiknya melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS.
Langkah itu akan meredam gejolak di masyarakat karena kebijakan kenaikan premi BPJS Kesehatan. Pemerintah harus menjadi contoh yang baik sebagai institusi yang taat hukum. Bukan sebaliknya, tidak menaati putusan MA.
Kedua, penuhi hak kesehatan masyarakat, terutama yang tidak mampu dan prasejahtera. Itu merupakan kewajiban dan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai bentuk negara hadir melindungi kesehatan dan keselamatan rakyatnya.
"Kenaikan premi BPJS Kesehatan harus adaptif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Pemerintah jangan memaksakan kehendak di luar kemampuan masyarakatnya," tuturnya. ( ).
Untuk solusi jangka panjang, Nett mendorong pemerintah melakukan evaluasi terhadap sistem jaminan kesehatan nasional. Dia mengusulkan melakukan kajian untuk menerapkan one single tarif untuk skema pembiayaan. Artinya, bagi masyarakat yang ingin mendapatkan layanan lebih harus membayar biaya tambahan.
Selanjutnya, perlu ada perbaikan manajemen dan kinerja BPJS Kesehatan. Juga melakukan mitigasi fraud di fasilitas kesehtan tingkat pertama (FTKP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL). "Jangan sampai pemerintah mengalokasi anggaran besar untuk menutup defisit yang diakibatkan kecurangan yang dilakukan faskes," katanya.
Terakhir, Netty mengutarakan pentingnya data yang akurat. Komisi IX sudah menyoroti kejelasan dan integrasi data yang dimiliki BPJS dan stakeholder lainnya, seperti data terpadu kesejateraan sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial.
"Jangan sampai, dari dulu hingga sekarang permasalahan ini tak kunjung selesai. Jika pemerintah beritikad baik, seharusnya hal ini sudah terpetakan dengan baik dan punya waktu penyelesaian," pungkasnya.
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menilai pemerintah tidak peka dan berempati terhadap situasi masyarakat yang sedang terpukul karena pandemi Covid-19. Kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan sangat mencederai kemanusiaan.
"Kenaikan ini juga menjadi pil pahit bagi masyarakat di momen Lebaran tahun ini. Beban hidup rakyat sudah berat, makin bertambah berat dengan kenaikan beberapa produk," ujarnya dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Sabtu (16/5/2020).
Lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, pemerintah menetapkan iuran peserta mandiri BPJS Kelas I Rp150.000 dan Kelas II Rp100.000. Kenaikan itu berlaku pada 1 Juli 2020. Sementara itu, kelas III Rp25.500 dari seharusnya sebesar Rp42.000. Pemerintah menanggung Rp16.500, tapi Januari 2021 menjadi Rp35.000.
"Pemerintah harusnya fokus dalam penanganan kesehatan, terutama Covid-19, dengan menggunakan anggaran kesehatan yang sudah disiapkan. Jangan bikin pusing rakyat dengan kebijakan yang kontradiktif," tutur politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Netty memberikan saran yang harus dilakukan pemerintah untuk penyelesaian jangka pendek dan panjang. Pertama, sebaiknya melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS.
Langkah itu akan meredam gejolak di masyarakat karena kebijakan kenaikan premi BPJS Kesehatan. Pemerintah harus menjadi contoh yang baik sebagai institusi yang taat hukum. Bukan sebaliknya, tidak menaati putusan MA.
Kedua, penuhi hak kesehatan masyarakat, terutama yang tidak mampu dan prasejahtera. Itu merupakan kewajiban dan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai bentuk negara hadir melindungi kesehatan dan keselamatan rakyatnya.
"Kenaikan premi BPJS Kesehatan harus adaptif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Pemerintah jangan memaksakan kehendak di luar kemampuan masyarakatnya," tuturnya. ( ).
Untuk solusi jangka panjang, Nett mendorong pemerintah melakukan evaluasi terhadap sistem jaminan kesehatan nasional. Dia mengusulkan melakukan kajian untuk menerapkan one single tarif untuk skema pembiayaan. Artinya, bagi masyarakat yang ingin mendapatkan layanan lebih harus membayar biaya tambahan.
Selanjutnya, perlu ada perbaikan manajemen dan kinerja BPJS Kesehatan. Juga melakukan mitigasi fraud di fasilitas kesehtan tingkat pertama (FTKP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL). "Jangan sampai pemerintah mengalokasi anggaran besar untuk menutup defisit yang diakibatkan kecurangan yang dilakukan faskes," katanya.
Terakhir, Netty mengutarakan pentingnya data yang akurat. Komisi IX sudah menyoroti kejelasan dan integrasi data yang dimiliki BPJS dan stakeholder lainnya, seperti data terpadu kesejateraan sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial.
"Jangan sampai, dari dulu hingga sekarang permasalahan ini tak kunjung selesai. Jika pemerintah beritikad baik, seharusnya hal ini sudah terpetakan dengan baik dan punya waktu penyelesaian," pungkasnya.
(zik)