TII Temukan Relasi Korupsi Pebisnis dan Politik Masih Marak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Transparency International Indonesia (TII) menemukan relasi korupsi pebisnis dengan pemberi pelayanan publik hingga maraknya korupsi politik menjadi faktor anjloknya skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 menjadi 37.
Sekretaris Jenderal TII, J Danang Widoyoko menyatakan, turunnya Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korusi (IPK) Indonesia pada 2020 membuktikan bahwa sejumlah kebijakan yang dijalankan Indonesia hanya bertumpu pada kacamata ekonomi dan investasi. Kebijakan tersebut, ujar Danang, tanpa mengindahkan faktor integritas dan hanya akan memicu terjadinya korupsi, termasuk dalam hal penanganan pandemi COVID-19 saat ini.
"Penurunan terbesar yang dikontribusikan oleh Global Insight dan PRS dipicu oleh relasi korupsi yang masih lazim dilakukan oleh pebisnis kepada pemberi layanan publik untuk mempermudah proses berusaha," kata Danang saat peluncuran CPI 2020 di Jakarta, Kamis (28/1/2021).
Dia memaparkan, indikator terkait politik dan demokrasi (pemilu) mengalami penurunan skor (VDem). Hal ini berarti sektor politik masih rentan terhadap kejadian korupsi. Dari sisi demokrasi juga, ujar Danang, terjadi penurunan dua poin yang dikontribusikan pada Varieties of Democracy.
"Situasi ini menandakan bahwa korupsi politik masih terjadi secara mendalam dalam sistem politik di Indonesia," katanya.
Danang mengungkapkan, dari sembilan indikator CPI yang dinilai memang ada kenaikan dua poin pada World Justice Project-Rule of Law Index (WJP-ROL). Dia menjelaskan, kenaikan tersebut perlu dilihat sebagai adanya upaya perbaikan supremasi hukum. Meski begitu, Danang membeberkan, pada perbaikan kualitas layanan/birokrasi dengan hubungannya terhadap tetap korupsi stagnan (BFTI; EIU).
"Penting diketahui bahwa indikator WJP-ROL adalah indikator yang selalu berada di bawah rerata komposit CPI tiap tahunnya," ucapnya.
Sekretaris Jenderal TII, J Danang Widoyoko menyatakan, turunnya Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korusi (IPK) Indonesia pada 2020 membuktikan bahwa sejumlah kebijakan yang dijalankan Indonesia hanya bertumpu pada kacamata ekonomi dan investasi. Kebijakan tersebut, ujar Danang, tanpa mengindahkan faktor integritas dan hanya akan memicu terjadinya korupsi, termasuk dalam hal penanganan pandemi COVID-19 saat ini.
"Penurunan terbesar yang dikontribusikan oleh Global Insight dan PRS dipicu oleh relasi korupsi yang masih lazim dilakukan oleh pebisnis kepada pemberi layanan publik untuk mempermudah proses berusaha," kata Danang saat peluncuran CPI 2020 di Jakarta, Kamis (28/1/2021).
Dia memaparkan, indikator terkait politik dan demokrasi (pemilu) mengalami penurunan skor (VDem). Hal ini berarti sektor politik masih rentan terhadap kejadian korupsi. Dari sisi demokrasi juga, ujar Danang, terjadi penurunan dua poin yang dikontribusikan pada Varieties of Democracy.
"Situasi ini menandakan bahwa korupsi politik masih terjadi secara mendalam dalam sistem politik di Indonesia," katanya.
Danang mengungkapkan, dari sembilan indikator CPI yang dinilai memang ada kenaikan dua poin pada World Justice Project-Rule of Law Index (WJP-ROL). Dia menjelaskan, kenaikan tersebut perlu dilihat sebagai adanya upaya perbaikan supremasi hukum. Meski begitu, Danang membeberkan, pada perbaikan kualitas layanan/birokrasi dengan hubungannya terhadap tetap korupsi stagnan (BFTI; EIU).
"Penting diketahui bahwa indikator WJP-ROL adalah indikator yang selalu berada di bawah rerata komposit CPI tiap tahunnya," ucapnya.
(abd)