Pemidanaan Kejahatan Ekosida

Kamis, 28 Januari 2021 - 06:10 WIB
loading...
Pemidanaan Kejahatan Ekosida
M Ridha Saleh (Foto: Istimewa)
A A A
M Ridha Saleh
Peneliti Senior Institut WALHI

ISTILAH ecocide dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan ekosida. Makna etimologi ecocide, yaitu “oeco” yang berarti rumah tangga yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan “caedere” yang berarti menebang, membunuh, dan memusnahkan.

Sementara sumber pendefinisian kejahatan ekosida (ecocide), didasari atas atau mengacu pada suatu rangkaian tindakan genosida. Istilah ini sangat spesifik, di mana kejahatan tersebut berhubungan erat dengan suatu sistem dan penyalahgunaan kekuasaan dengan merujuk pada kejahatan dan kekerasan dengan niat untuk melakukan suatu praktik pemusnahan dan perusakan secara sistematis dan luas terhadap keberadaan suatu kelompok masyarakat tertentu atas dasar kebiadaban.

Pada 1933 Lemkin menulis dan mengusulkan genosida sebagai kejahatan luar biasa karena mengancam kedamaian dan keamanan umat manusia di muka bumi. Lemkin membayangkan sebuah rencana sistematis dengan beragam aksi yang bertujuan untuk menghancurkan landasan dan sumber kehidupan kelompok-kelompok masyarakat secara nasional dengan maksud memusnahkan kelompok tersebut.

Lemkin menegaskan, vandalisme merupakan tindakan yang melatarbelakangi berbagai kejahatan genosida, seperti genosida kultural, dan kejahatan ecocide. Karena itu, selama proses konstruksi rancangan Konvensi PBB tentang Genosida, Lemkin berpendapat bahwa genosida budaya dan lingkungan hidup adalah bagian terpenting dari konvensi.

Jejak ekosida begitu jelas berada dalam gen genosida, bahkan telah dipergunakan selama empat dekade terakhir. Arthur W Galston, ahli botani dan biotika Amerika, menyatakan bahwa ekosida menunjukkan berbagai ukuran kehancuran dan itu tersebut memiliki kesamaan yang bertujuan merusak atau menghancurkan ekologi wilayah geografis hingga merugikan kehidupan manusia, kehidupan hewan, dan kehidupan tanaman.

Panel Internasional
Konsep kriminalisasi kerusakan massal dan perusakan ekosistem atau ekosida di tingkat global terus mendapatkan daya tarik dan dukungan konkret dalam beberapa bulan terakhir sejak negara kepulauan, seperti Vanuatu dan Maladewa, menyerukan pertimbangan serius tentang hal itu di sidang tahunan Mahkamah Pidana Internasional pada 2019.

Presiden Prancis Emmanuel Macron secara aktif berjanji untuk memperjuangkan gagasan tersebut, demikian pula pemerintah Belgia telah menjanjikan tindakan diplomatik untuk mendukungnya. Bahkan Stop Ecocide Foundation atas permintaan anggota parlemen Swedia mempersiapkan definisi ekosida agar menjadi landasan amendemen Statute Roma dan telah diluncurkan bulan ini (Januari 2021) bertepatan dengan peringatan 75 tahun pembukaan pengadilan kejahatan perang Nuremberg dari para pemimpin Nazi pada 1945.

Panel pengacara internasional kini sedang menyusun rencana untuk kejahatan ekosida yang dapat ditegakkan secara hukum, yaitu untuk mengkriminalisasi perusak ekosistem dunia. Panel tersebut sudah mendapatkan dukungan dari beberapa negara Eropa dan negara kepulauan yang berisiko akibat dan dampak perubahan iklim dan pemanasan global.

Panel yang mengoordinasikan inisiatif ini diketuai oleh Philippe Sands QC, spesialis terkemuka di bidang hukum publik dan lingkungan hidup internasional, dan Florence Mumba, mantan hakim di pengadilan pidana internasional (ICC) atas kasus kejahatan Khmer Merah yang juga mantan hakim pengadilan tertinggi di Zambia.

Tujuannya adalah memanfaatkan kekuatan hukum pidana internasional untuk melindungi lingkungan global serta menyusun definisi hukum ekosida yang akan melengkapi pelanggaran internasional lainnya yang ada seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida serta kejahatan agresi.

Kerusakan Bumi
Iklim ekstrem pada 2020 tampak sangat jelas. Itu ditandai kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh dunia, tingkat penurunan es di kutub, banjir bandang terjadi merata, badai yang berulang di Atlantik, dan rekor suhu tinggi global. Itu semua adalah dampak dan bukti nyata keterkaitan antara eksploitasi sumber daya alam dan perusakan lingkungan hidup yang terjadi di berbagai belahan bumi ini.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, ada 23% dari kematian global yang berhubungan dengan dampak dan kerusakan lingkungan hidup. Jumlahnya mencapai 12,6 juta kematian per tahun. Kematian tersebar di enam region, masing-masing 3,8 juta jiwa di region Asia Tenggara, 3,5 juta jiwa di Region Pasifik Barat, 2,2 juta jiwa di Region Afrika, 1,4 juta jiwa di Region Eropa, 854.000 jiwa di Region Mediteranian Timur dan 847.000 jiwa di Region Amerika.

Menurut laporan Institut Akuntabilitas Iklim terbaru 2021, lebih dari sepertiga emisi di seluruh dunia sejak 1965 berasal dari 20 perusahaan minyak, gas alam, dan batu bara terbesar, sebagian besar kesalahan terletak pada negara maju. Emisi dari 1% orang terkaya di planet ini menyumbang lebih dari dua kali lipat dari 50% orang termiskin.

Tiga orang terkaya di dunia menguasai aset dengan nilai setara milik 600 juta orang pada 48 negara miskin. Saat ini, seperlima penduduk di negeri-negeri paling kaya menguasai 86% produk domestik bruto dunia, 82% pasar ekspor dunia, dan 68% penanaman modal langsung.

Panel Nusantara
Kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) makin parah terjadi dalam 20 tahun terakhir. Eksploitasi sumber daya alam terus berlangsung tanpa memperhatikan norma-norma keadilan lingkungan, konflik struktural, pelanggaran HAM, dan kemiskinan.

Sebagian besar atau 86% kerusakan lingkungan hidup, konflik agrarian dan bencana ekologis bersumber dari ketimpangan penguasaan dan ekploitasi sumber daya alam bersumber dari aktivitas legal atau mendapatkan izin dari pemerintah (Walhi 2019).

Hal ini diperkuat oleh catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa sebanyak 197 bencana terjadi di seluruh wilayah Indonesia pada awal tahun atau sejak 1-23 Januari 2021.

Dalam catatan hukum Uni Eropa yang diunggah oleh Environmental Justice Atlas, ada 81 aktivitas korporasi dan negara yang masuk kategori kejahatan ekosida, budaya ekosida, potensi ekosida di seluruh dunia. Di Indonesia ada dua titik, berada di Papua. Dalam catatan hukum Uni Eropa keduanya berstatus potential ekosida.

Pada Agustus 2012, sidang paripurna Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), memutuskan bahwa lumpur Lapindo adalah kejahatan ekosida. Karena memenuhi unsur kategori ekosida, yaitu berdampak sangat panjang, luas, dan tidak dapat dipulihkan.

Langkah yang diambil Komnas HAM saat itu adalah segera mengajukan draf amendemen Undang-Undang No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan memasukkan ekosida sebagai bagian dari pelanggaran HAM yang berat. Kesalahan Komnas HAM dalam hal ini tidak menyertainya dengan menunjuk satu panel yang mengkaji dan mempersiapkan konsep ekosida agar pemidanaan terhadap praktik kejahatan ekosida bisa diwujudkan.

Meskipun demikian, jejak ekosida dalam politik hukum HAM di Indonesia sebenarnya sudah di pelopori oleh komnas HAM. Hanya saja, hingga kini Komnas HAM belum juga mengajukan draf amendemen itu ke DPR. Keadaan ini tentu mengecewakan publik, terutama bagi korban lumpur Lapindo.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1584 seconds (0.1#10.140)