Kasus Corona Masih Tinggi, Rumah Sakit Darurat Mendesak

Selasa, 19 Januari 2021 - 05:42 WIB
loading...
Kasus Corona Masih Tinggi, Rumah Sakit Darurat Mendesak
Tingginya kasus corona di Tanah Air membutuhkan layanan kesehatan yang memadai. Perlu penambahan kapasitas ruang perawatan di rumah sakit. FOTO/ WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Pemerintah perlu menambah rumah sakit (RS) darurat untuk mengantisipasi lonjakan pasien corona (Covid-19) . Langkah ini mendesak dilakukan mengingat tingkat keterisian RS Covid-19 secara nasional sudah mencapai 65,93%, terutama di 10 provinsi. Persentase keterisian tersebut sudah melebihi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 60%.

Dengan adanya ketersediaan RS darurat tersebut, jangan sampai ada pasien yang meninggal karena tidak bisa tertangani, bahkan sampai meninggal dalam taksi setelah ditolak di banyak rumah sakti sebelumnya. Di sisi lain, keberadaan pasien yang tidak tertampung RS juga bisa berisiko karena bisa memicu klaster penyebaran Covid-19 baru.

(Baca juga: Update Corona: Positif 917.015 Orang, 745.935 Sembuh dan 26.282 Meninggal )

Sebagai informasi, saat ini total rumah sakit di seluruh Indonesia sebanyak 2.979, di mana 951 di antaranya dijadikan sebagai rumah sakit rujukan Covid-19. Dari 951 rumah sakit rujukan Covid-19 tersebut, kapasitas tempat tidur isolasi dan ICU sebanyak 50.942 tempat tidur.

Berdasar data teranyar Satuan Tugas Penanganan Covid-19, setelah berturut-turut pecah rekor baru, penambahan kasus positif Covid-19 di Tanah Air masih tinggi. Tercatat hingga 18 Januari 2021 bertambah 9.086 kasus sehingga akumulasi sebanyak 917.015 orang. Adapun jumlah yang meninggal kembali bertambah 295 orang. Dengan demikian, total meninggal menjadi 26.282 orang.

(Baca juga: Bencana Alam Berturut-turut, BNPB Diminta Siaga di Semua Daerah )

Fakta kondisi darurat RS rujukan Covid-19 disampaikan LaporCovid-19 dan Center for Indonesia's Strategi Development Initiatives (CISDI) saat melaporkan adanya pasien positif Covid-19 asal Depok, Jawa Barat, meninggal dunia di dalam taksi online setelah ditolak 10 rumah sakit rujukan Covid-19 pada 3 Januari lalu.

Selain itu, dalam waktu singkat sejak akhir Desember 2020 hingga awal Januari 2021, LaporCovid19 mendapatkan total 23 laporan kasus pasien yang ditolak rumah sakit karena penuh, pasien yang meninggal di perjalanan, serta meninggal di rumah karena ditolak rumah sakit.

(Baca juga: Pasien COVID-19 Meninggal di Taksi, Ridwan Kamil Tegur Keras Satgas Kota Depok )

Laporan penolakan pasien itu kebanyakan datang dari wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pelaksanaan pilkada serentak dan libur Natal dan Tahun Baru memperburuk ketidakmampuan RS menampung pasien.

Relawan Tim BantuWargaLaporCovid19 drTri Maharani menyimpulkan, situasi layanan kesehatan sudah genting. “Tanda-tanda kolaps layanan kesehatan sebenarnya sudah terindikasi sejak bulan September 2020, yang kemudian mereda pada periode pemberlakuan PSBB di Jakarta,” ujar dia, dari rilis yang dikutip MNC Portal Indonesia, kemarin.

LaporCovid19 menemukan bahwa sistem rujuk antarfasilitas kesehatan tidak berjalan dengan baik dan sistem informasi kapasitas rumah sakit tidak berfungsi. Banyak warga yang memerlukan penanganan kedaruratan kesehatan akibat terinfeksi Covid-19 tidak mengetahui harus ke mana.

Kondisi ini, lanjut Tri, diperparah dengan permasalahan sistem kesehatan yang belum kunjung diatasi, di antaranya keterbatasan kapasitas tempat tidur, minimnya perlindungan tenaga kesehatan dan tidak tersedianya sistem informasi kesehatan yang diperbarui secara real-time.

“Di sisi lain, pekerjaan rumah Menteri Kesehatan untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kesehatan belum kunjung terlihat nyata. Hingga saat ini setidaknya 620 tenaga kesehatan meninggal akibat terpapar Covid-19,” katanya.

Dia mengingatkan, jika tidak segera diatasi, menurut Tri, akan semakin banyak warga yang meninggal hanya karena otoritas abai dalam memberikan hak atas layanan dan perawatan kesehatan.

Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono mengakui tingginya tingkat keterisian rumah sakit rujukan Covid-19, yakni mencapai 65,93% secara nasional 65,93%. Bahkan, 10 provinsi tingkat keterisiannya melebihi standar dari WHO.

“Hampir sebagian, ada kira-kira 10 provinsi yang mempunyai keterpakaian tempat tidur untuk Covid-19 ini di atas 60% dan 60% itu merupakan cut of point yang ditetapkan WHO untuk menjaga supaya lonjakan itu bisa teradaptasi ke rumah sakit,” ungkap Dante, dalam Webinar ‘Peran Stakeholder dalam Mendukung RS Menghadapi Lonjakan Kasus Covid-19’, kemarin.

Dia juga mengakui bed occupancy ratio (BOR) dari beberapa rumah sakit semakin tinggi. Dia melihat perlu dilakukan percepatan peningkatan BOR-nya. “Misalnya DKI Jakarta sampai saat ini 83%, Banten 79%, DI Yogyakarta 73%, dan seterusnya. Ini harus kita cermati bahwa penyediaan tempat tidur itu merupakan salah satu strategi yang harus kita pecahkan,” ungkap Dante.

Sementara itu, Koordinator RS Darurat Covid-19 Mayjen TNI dr Tugas Ratmono mengungkapkan tingkat hunian di rumah sakit darurat Covid-19 Wisma Atlet saat ini sebesar 82,73%.

(Baca juga: Kemenkes: Tingkat Keterisian RS Rujukan Covid-19 Capai 65,93% )

Diungkapkannya, jumlah pasien Covid-19 yang dirawat saat ini sebanyak 4.959 pasien sehingga total tempat tidur yang tersisa di Wisma Atlet sebanyak 1.035 bed dari 5.994 bed yang disediakan. “Jadi, pasien kami saat ini adalah 4.959 pasien. Dari bed yang kita siapkan 5.994 jadi tinggal 1.035 bed yang ada dan huniannya 82,73%,” kata Tugas, dalam Update RSDC Wisma Atlet: Kesiapan Pasca-Libur Natal dan Tahun Baru secara virtual dari BNPB, Jakarta, kemarin.

Tugas menyebut pihaknya telah mengantisipasi lonjakan kasus akibat libur Natal dan Tahun Baru. Pascamomen tersebut terjadi lonjakan keterisian tempat tidur di Wisma Atlet sebesar 20%. Sebelum liburan sebesar 50-60% dan setelah liburan mencapai lebih 80% atau tepatnya 82,73%. “Jadi, waktu itu kira-kira sebelum liburan tingkat hunian 50%-60%, saat ini jadi 80%. Jadi, kira-kira 20%-lah melonjak di situ.”

Di sisi lain, dia juga mengungkapkan adanya perubahan fungsional di Wisma Atlet di mana saat ini akan memprioritaskan pasien yang bergejala. Sementara untuk yang tidak bergejala akan diarahkan ke RS Darurat Covid-19 di Pademangan.

Ridwan Kamil Tegur Keras Satgas Kota Depok
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Jawa Barat Ridwan Kamil memberikan teguran keras kepada Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok menyusul kabar meninggalnya pasien Covid-19 di taksi online akibat ditolak sejumlah rumah sakit (RS) rujukan.

Berdasarkan laporan dari LaporCovid-19 dan Center for Indonesia's Strategi Development Initiatives (CISDI), pada 3 Januari 2021 lalu, ada seorang warga yang positif Covid-19 meninggal dunia di dalam taksi online. Pasien itu disebut berasal dari Kota Depok.

Sebelum meninggal, pasien tersebut dikabarkan ditolak oleh 10 RS dengan alasan ruang perawatan penuh. Saat itu, pasien sudah mengalami sesak napas dan membutuhkan ventilator serta penanganan di ruang ICU. Pasien pun akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan.

Ridwan Kamil, yang juga Gubernur Jabar, menegaskan pihaknya sengaja tidak menempatkan pasien Covid-19 bergejala ringan di RS rujukan agar pasien bergejala sedang dan berat dapat segera mendapatkan penanganan. Dia pun menilai terdapat kesalahan yang dilakukan oleh Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok dalam menganalisis tingkat keparahan pasien, termasuk menempatkan skala prioritas dalam penanganan pasien.

"Harusnya tidak terjadi karena gugus tugas harus memprioritaskan dan menganalisis keparahan pasien. Jadi, ada analisis yang tidak tepat karena kalau dia sampai kayak gitu berarti kan parah," tandas Ridwan Kamil, dalam konferensi pers virtual seusai Rapat Satgas Penanganan Covid-19 Jabar di Makodam III/Siliwangi, Kota Bandung, kemarin.

Pria yang akrab disapa Kang Emil ini menekankan, dalam penanganan pasien Covid-19, semua pihak harus mengutamakan kemanusiaan. Jika RS di Depok penuh, pasien bergejala sedang maupun berat harus segera dirujuk ke RS di kabupaten/kota lain agar dapat segera ditangani.

"Itulah kenapa (pasien) yang ngisi rumah sakit di Bandung itu kan bukan hanya warga Bandung, tapi dari mana-mana. Kita gak melarang, Depok juga (seharusnya) sama," katanya, seraya berharap kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pihak.

"Jadi, kalau di Depok ada kendala, bukan tidak serta merta tidak bisa di tempat lain," tandasnya.

Jabar sendiri sudah menyiapkan RS tambahan di Kompleks Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat (Secapa AD). Keberadaan RS tersebut langsung diserbu puluhan pasien. Sebagai informasi, jumlah pasien yang dirawat di Secapa AD kini sudah mencapai 34 orang dari total 180 tempat tidur yang tersedia.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1484 seconds (0.1#10.140)