Ini 4 Fokus Pemerintah untuk Perkuat Perlindungan Saksi dan Korban
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) memastikan ada empat isu strategis ke depan terkait perlindungan saksi dan korban .
Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas Prahesti Pandanwangi menegaskan, empat isu strategis ke depan terkait perlindungan saksi dan korban sangat berhubungan erat dengan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ). Pertama, pemenuhan perlindungan. Prahesti membeberkan, untuk isu ini maka ada dua bagian penting.
Baca Juga: Kepatuhan Penegak Hukum atas Rekomendasi Justice Collaborator LPSK Rendah
Satu, capaian perlindungan LPSK meningkat dibarengi dengan kebutuhan masyarakat tinggi. Karenanya upaya pemenuhan perlindungan perlu ditingkatkan. Antisipasi pengelolaan program dan kebutuhan resources.
"Kebutuhan kolaborasi dukungan berbagai pihak kementerian/lembaga/daerah/masyarakat dalam hal pemenuhan rehabilitasi psikososial, medis, kompensasi, dan restitusi bagi saksi dan korban," tegas Prahesti saat acara "Refleksi Awal Tahun 2021, Laporan Kinerja 2020" yang diselenggarakan secara fisik dan virtual di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (15/1/2021).
(Baca: Bongkar Kejahatan Luar Biasa, LPSK dan Penegak Hukum Harus Serius Gunakan Justice Collaborator)
Kedua, keberadaan dan posisi LPSK dalam sistem peradilan pidana. Prahesti mengatakan, untuk isi kedua ini maka ada dua bagian penting. Satu, peningkatan pemahaman dan kompetensi aparat penegak hukum (apgakum/APH) dalam hal perlindungan saksi dan korban. Dua, peningkatan koordinasi dan sinergi antara LPSK dengan apgakum lainnya dalam hal perlindungan saksi dan korban.
"Kemudian, peningkatan pemahaman publik mengenai mekanisme perlindungan saksi dan korban," paparnya.
Ketiga, penguatan regulasi. Prahesti membeberkan, ada dua konteks penting dalam aspek ini. Satu, memasukkan isu perlindungan saksi dan korban dalam RUU KUHAP. Dua, penguatan regulasi yang mendukung restitusi bagi korban hingga pengawalan upaya restitusi.
"Pengawalan ini dengan mendorong sistem peradilan pidana menggunakan regulasi eksisting dalam penuntutan dan pelaksanaan restitusi," katanya.
Keempat, penguatan kelembagaan LPSK. Untuk isu ini, tutur Prahesti, terdapat tiga unsur. Satu, penguatan mekanisme perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana. Dua, penguatan jejaring dan pemangku kepentingan lainnya lingkup nasional dan internasional hingga dukungan terhadap kinerja lembaga.
"Berikutnya, penguatan LPSK sebagai lembaga think tank dan sumber referensi informasi pelaksanaan keadilan restoratif, keadilan transisional, dan access to justice, terkait penanganan perlindungan saksi dan korban," ungkap Prahesti.
(Baca: 6 Saksi Kasus Penembakan Anggota FPI Minta Perlindungan LPSK)
Dia menambahkan, pemerintah berharap ke depannya LPSK perlu meningkatkan kinerja lembaga. Peningkatan kelembagaan dapat dilakukan secara berkesinambungan antara lain melalui penambahan personel LPSK. Penambahan tersebut tentu sesuai dengan analisis beban pelayanan perlindungan hingga evaluasi program berkala berbasis dampak pada saksi dan korban dengan perbaikan kondisi saksi/korban setelah intervensi LPSK.
"LPSK perlu penguatan koordinasi internal dan eksternal seperti penguatan peran LPSK dalam mengintegrasikan data layanan internal dan eksternal dengan APH dan pemangku kepentingan lainnya," imbuhnya.
Dia menjelaskan, integrasi data layanan tersebut meliputi sistem pelayanan perlindungan LPSK, program Sistem Penanganan Perkara Pidana Secara Terpadu Berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI), integrasi pelayanan perlindungan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) dan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), dan penguatan peran masyarakat/jejaring dalam menjamin akses keadilan mengingat keterbatasan jangkauan LPSK.
"Selain itu yang tidak kalah penting yaitu LPSK perlu mengupayakan keadilan transisional dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui kerjasama dengan berbagai K/L/D untuk menghadirkan keadilan transisi bagi korban pelanggaran HAM masa lalu," bebernya.
(Baca: LPSK Lindungi 3.867 Korban Kasus Dugaan Pelanggaran HAM)
Prahesti melanjutkan, untuk dapat mencapai peningkatan kinerja lembaga tersebut maka perlu perumusan strategi. Rekomendasi Bappenas, ujar dia, yaitu melakukan pemberdataan masyarakat dan APH, penguatan dukungan IT dan SDM, hingga perluasan kerjasama dengan pemangku kepentingan.
"Dan menjadikan LPSK sebagai bagian sistem peradilan pidana," ucapnya.
Acara refleksi ini mengangkat tajuk "Separuh Nafas Perlindungan Saksi dan Korban di Tengah Pandemi: LPSK Menolak Menyerah". Acara dibuka oleh Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo. Acara ini dihadiri juga oleh perwakilan Polri, Kejaksaan, pengadilan, dan Kementerian Hukum dan HAM dengan empat orang pembicara serta satu perempuan korban kejahatan seksual yang dilindungi LPSK berinisial TW.
Empat pembicara yakni pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Abraham Todo Napitupulu, Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) Prahesti Pandanwangi, dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan.
Lihat Juga: Keluarga Korban dan Saksi Penganiayaan Balita Daycare Depok Ajukan Permohonan Perlindungan ke LPSK
Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas Prahesti Pandanwangi menegaskan, empat isu strategis ke depan terkait perlindungan saksi dan korban sangat berhubungan erat dengan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ). Pertama, pemenuhan perlindungan. Prahesti membeberkan, untuk isu ini maka ada dua bagian penting.
Baca Juga: Kepatuhan Penegak Hukum atas Rekomendasi Justice Collaborator LPSK Rendah
Satu, capaian perlindungan LPSK meningkat dibarengi dengan kebutuhan masyarakat tinggi. Karenanya upaya pemenuhan perlindungan perlu ditingkatkan. Antisipasi pengelolaan program dan kebutuhan resources.
"Kebutuhan kolaborasi dukungan berbagai pihak kementerian/lembaga/daerah/masyarakat dalam hal pemenuhan rehabilitasi psikososial, medis, kompensasi, dan restitusi bagi saksi dan korban," tegas Prahesti saat acara "Refleksi Awal Tahun 2021, Laporan Kinerja 2020" yang diselenggarakan secara fisik dan virtual di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (15/1/2021).
(Baca: Bongkar Kejahatan Luar Biasa, LPSK dan Penegak Hukum Harus Serius Gunakan Justice Collaborator)
Kedua, keberadaan dan posisi LPSK dalam sistem peradilan pidana. Prahesti mengatakan, untuk isi kedua ini maka ada dua bagian penting. Satu, peningkatan pemahaman dan kompetensi aparat penegak hukum (apgakum/APH) dalam hal perlindungan saksi dan korban. Dua, peningkatan koordinasi dan sinergi antara LPSK dengan apgakum lainnya dalam hal perlindungan saksi dan korban.
"Kemudian, peningkatan pemahaman publik mengenai mekanisme perlindungan saksi dan korban," paparnya.
Ketiga, penguatan regulasi. Prahesti membeberkan, ada dua konteks penting dalam aspek ini. Satu, memasukkan isu perlindungan saksi dan korban dalam RUU KUHAP. Dua, penguatan regulasi yang mendukung restitusi bagi korban hingga pengawalan upaya restitusi.
"Pengawalan ini dengan mendorong sistem peradilan pidana menggunakan regulasi eksisting dalam penuntutan dan pelaksanaan restitusi," katanya.
Keempat, penguatan kelembagaan LPSK. Untuk isu ini, tutur Prahesti, terdapat tiga unsur. Satu, penguatan mekanisme perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana. Dua, penguatan jejaring dan pemangku kepentingan lainnya lingkup nasional dan internasional hingga dukungan terhadap kinerja lembaga.
"Berikutnya, penguatan LPSK sebagai lembaga think tank dan sumber referensi informasi pelaksanaan keadilan restoratif, keadilan transisional, dan access to justice, terkait penanganan perlindungan saksi dan korban," ungkap Prahesti.
(Baca: 6 Saksi Kasus Penembakan Anggota FPI Minta Perlindungan LPSK)
Dia menambahkan, pemerintah berharap ke depannya LPSK perlu meningkatkan kinerja lembaga. Peningkatan kelembagaan dapat dilakukan secara berkesinambungan antara lain melalui penambahan personel LPSK. Penambahan tersebut tentu sesuai dengan analisis beban pelayanan perlindungan hingga evaluasi program berkala berbasis dampak pada saksi dan korban dengan perbaikan kondisi saksi/korban setelah intervensi LPSK.
"LPSK perlu penguatan koordinasi internal dan eksternal seperti penguatan peran LPSK dalam mengintegrasikan data layanan internal dan eksternal dengan APH dan pemangku kepentingan lainnya," imbuhnya.
Dia menjelaskan, integrasi data layanan tersebut meliputi sistem pelayanan perlindungan LPSK, program Sistem Penanganan Perkara Pidana Secara Terpadu Berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI), integrasi pelayanan perlindungan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) dan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), dan penguatan peran masyarakat/jejaring dalam menjamin akses keadilan mengingat keterbatasan jangkauan LPSK.
"Selain itu yang tidak kalah penting yaitu LPSK perlu mengupayakan keadilan transisional dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui kerjasama dengan berbagai K/L/D untuk menghadirkan keadilan transisi bagi korban pelanggaran HAM masa lalu," bebernya.
(Baca: LPSK Lindungi 3.867 Korban Kasus Dugaan Pelanggaran HAM)
Prahesti melanjutkan, untuk dapat mencapai peningkatan kinerja lembaga tersebut maka perlu perumusan strategi. Rekomendasi Bappenas, ujar dia, yaitu melakukan pemberdataan masyarakat dan APH, penguatan dukungan IT dan SDM, hingga perluasan kerjasama dengan pemangku kepentingan.
"Dan menjadikan LPSK sebagai bagian sistem peradilan pidana," ucapnya.
Acara refleksi ini mengangkat tajuk "Separuh Nafas Perlindungan Saksi dan Korban di Tengah Pandemi: LPSK Menolak Menyerah". Acara dibuka oleh Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo. Acara ini dihadiri juga oleh perwakilan Polri, Kejaksaan, pengadilan, dan Kementerian Hukum dan HAM dengan empat orang pembicara serta satu perempuan korban kejahatan seksual yang dilindungi LPSK berinisial TW.
Empat pembicara yakni pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Abraham Todo Napitupulu, Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) Prahesti Pandanwangi, dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan.
Lihat Juga: Keluarga Korban dan Saksi Penganiayaan Balita Daycare Depok Ajukan Permohonan Perlindungan ke LPSK
(muh)