Bongkar Kejahatan Luar Biasa, LPSK dan Penegak Hukum Harus Serius Gunakan Justice Collaborator
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) dan para penegak hukum seharusnya menggunakan saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum atau justice collaborator (JC) untuk membongkar sejumlah kasus kejahatan luar biasa .
Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda menyatakan, perlindungan saksi dan korban telah menggeser paradigma Sistem Peradilan Pidana (SPP) dari yang semula 'offender oriented' atau berorientasi pada pelaku menjadi juga 'victim oriented' atau berorientasi kepada korban. Karena itu, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) LPSK seharusnya non-derogable services atau pelayanan yang tidak dikurangi sedikit pun dalam keadaan apa pun, termasuk ketika pandemi Covid-19 yang melanda seluruh masyarakat dunia.
Chairul mengungkapkan, sangat disayangkan jika di masa pandemi Covid-19 LPSK terkena kebijakan pemerintah memperketat anggaran dengan memotong anggaran LPSK . Akibat dari kebijakan tersebut, terdapat pembatasan layanan LPSK termasuk program perlindungan kepada yang 'terpaksa' harus dihentikan.
Chairul memaparkan, dalam konteks permohonan perlindungan bagi saksi pelaku dengan pemberian status saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak atau justice collaborator (JC), pada "Laporan Kinerja LPSK 2020" dalam banyak bagian menyebutkan adanya perbedaan persepsi antara LPSK, aparat penegak hukum (APH), dan pengadilan dalam memahami JC.
"Padahal kalau ada kesamaan persepsi atau pandangan atas JC ini, maka bisa mengungkap pelaku lebih besar," ujar Chairul dalam acara "Refleksi Awal Tahun 2021, Laporan Kinerja 2020" yang diselenggarakan secara fisik dan virtual di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (15/1/2021).
Refleksi ini mengangkat tajuk "Separuh Napas Perlindungan Saksi dan Korban di Tengah Pandemi: LPSK Menolak Menyerah". Acara dihadiri juga empat orang pembicara dan perempuan korban kejahatan seksual yang dilindungi LPSK berinisial TW. Acara ini dihadiri juga oleh perwakilan Polri, Kejaksaan, pengadilan, dan Kementerian Hukum dan HAM.
Empat pembicara yakni pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Abraham Todo Napitupulu, Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) Prahesti Pandanwangi, dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan.
Chairul melanjutkan, dalam kasus korupsi pada tahun 2020, tercatat ada 48 kasus sebagaimana dalam laporan tahunan LPSK . Tetapi, kata dia, tidak tergambar cukup jelas, apakah perlindungan di sini terhadap saksi atau pihak lainnya misalnya pelapor atau ahli atau justru permohonan datang dari saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator (JC).
"Perlu dicermati, ketika umumnya pemberian perlindungan kepada JC ini setelah kasusnya dilakukan penyelidikan, bahkan ada yang sudah jadi tersangka atau terdakwa atau terpidana, baru mengajukan JC. Semestinya berdasarkan Pasal 28 ayat (2) huruf a UU Nomor 31 Tahun 2014, pemberian perlindungan kepada JC tersebut dilakukan terhadap tindak pidana yang akan diungkap, bukan setelah penyidikan atau pelaku divonis," paparnya.
Dia berpandangan, secara umum "Laporan Kinerja LPSK 2020" tidak merinci tentang rekomendasi-rekomendasi LPSK terkait JC yang menjadi perbedaan persepsi dengan APH maupun pengadilan yang dalam hal ini adalah majelis hakim. Terutama ujar Chairul, LPSK tidak menjelaskan secara lebih mendetail rekomendasi LPSK kepada APH, khususnya Penuntut Umum terkait pelaksanaan Pasal 10 ayat (4) UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Sebenarnya perlu diperjelas berapa rekomendasi yang tersebut yang diakomodir oleh Penuntut Umum dan berapa yang tidak, untuk mengetahui letak perbedaan persepsi terkait hal ini. Ke depannya LPSK dapat menjadi inisiator adanya penyamaan persepsi antara LPSK, APH, Pengadilan, dan Kemenkumham terkait JC ini, sehingga didapat parameter yang sama di antara berbagai intansi tersebut," tegasnya.
Menurut Chairul, berdasarkan laporan LPSK juga ternyata sepanjang tahun 2020 hanya ada satu kasus pemberian perlindungan terhadap saksi kasus narkotika. Tapi lagi-lagi LPSK tidak mendeskripsikan apakah saksi murni atau saksi pelaku (JC). Sekali lagi, kata dia, perlu dipahami bahwa salah satu alasan kuat mengapa perlindungan terhadap JC diintrodusir dalam UU adalah dalam rangka untuk membantu aparatur SPP mengungkap lebih banyak lagi organized crime.
Termasuk, ujar Chairul, di antaranya peredaran gelap narkotika. Menurut dia, bisa dipahami mengapa masalah peredaran narkotika yang kian hari kian sulit dikendalikan. Bukan tidak mungkin, tutur dia, hal ini disebabkan fokusnya penegakan hukum hanya terhadap kurir, pengecer, atau bahkan pemakai.
"Padahal jika JC ini dimaksimalkan oleh APH, dengan memberdayakan kewenangan LPSK, maka para bandar atau 'the big fish' dari peredaran narkoba ini bisa lebih dijangkau. Pertanyaan, mengapa bisa begini, LPSK hanya menyimpulkan karena banyak saksi kasus narkoba kalangaan APH sendiri (Polri dan BNN), sehingga tidak memerlukan perlindungan," ungkap Chairul.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan menilai, kelembagaan LPSK harus diperkuat dengan menjalin kerja sama yang lebih efektif dalam pemberian perlindungan bagi saksi dan korban, termasuk di antaranya dalam pemberian status justice collaborator (JC) dan perlindungan terhadap JC. Sehingga, kata Arteria, LPSK dimaknai sebagai lembaga hukum oleh kepolisian dan kejaksaan.
"Perlu disusun satu daerah yang menjadi pilot project untuk menciptakan sinergitas LPSK dengan Kepolisian dan Kejaksaan," ungkap Arteria.
Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda menyatakan, perlindungan saksi dan korban telah menggeser paradigma Sistem Peradilan Pidana (SPP) dari yang semula 'offender oriented' atau berorientasi pada pelaku menjadi juga 'victim oriented' atau berorientasi kepada korban. Karena itu, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) LPSK seharusnya non-derogable services atau pelayanan yang tidak dikurangi sedikit pun dalam keadaan apa pun, termasuk ketika pandemi Covid-19 yang melanda seluruh masyarakat dunia.
Chairul mengungkapkan, sangat disayangkan jika di masa pandemi Covid-19 LPSK terkena kebijakan pemerintah memperketat anggaran dengan memotong anggaran LPSK . Akibat dari kebijakan tersebut, terdapat pembatasan layanan LPSK termasuk program perlindungan kepada yang 'terpaksa' harus dihentikan.
Chairul memaparkan, dalam konteks permohonan perlindungan bagi saksi pelaku dengan pemberian status saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak atau justice collaborator (JC), pada "Laporan Kinerja LPSK 2020" dalam banyak bagian menyebutkan adanya perbedaan persepsi antara LPSK, aparat penegak hukum (APH), dan pengadilan dalam memahami JC.
"Padahal kalau ada kesamaan persepsi atau pandangan atas JC ini, maka bisa mengungkap pelaku lebih besar," ujar Chairul dalam acara "Refleksi Awal Tahun 2021, Laporan Kinerja 2020" yang diselenggarakan secara fisik dan virtual di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (15/1/2021).
Refleksi ini mengangkat tajuk "Separuh Napas Perlindungan Saksi dan Korban di Tengah Pandemi: LPSK Menolak Menyerah". Acara dihadiri juga empat orang pembicara dan perempuan korban kejahatan seksual yang dilindungi LPSK berinisial TW. Acara ini dihadiri juga oleh perwakilan Polri, Kejaksaan, pengadilan, dan Kementerian Hukum dan HAM.
Empat pembicara yakni pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Abraham Todo Napitupulu, Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) Prahesti Pandanwangi, dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan.
Chairul melanjutkan, dalam kasus korupsi pada tahun 2020, tercatat ada 48 kasus sebagaimana dalam laporan tahunan LPSK . Tetapi, kata dia, tidak tergambar cukup jelas, apakah perlindungan di sini terhadap saksi atau pihak lainnya misalnya pelapor atau ahli atau justru permohonan datang dari saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator (JC).
"Perlu dicermati, ketika umumnya pemberian perlindungan kepada JC ini setelah kasusnya dilakukan penyelidikan, bahkan ada yang sudah jadi tersangka atau terdakwa atau terpidana, baru mengajukan JC. Semestinya berdasarkan Pasal 28 ayat (2) huruf a UU Nomor 31 Tahun 2014, pemberian perlindungan kepada JC tersebut dilakukan terhadap tindak pidana yang akan diungkap, bukan setelah penyidikan atau pelaku divonis," paparnya.
Dia berpandangan, secara umum "Laporan Kinerja LPSK 2020" tidak merinci tentang rekomendasi-rekomendasi LPSK terkait JC yang menjadi perbedaan persepsi dengan APH maupun pengadilan yang dalam hal ini adalah majelis hakim. Terutama ujar Chairul, LPSK tidak menjelaskan secara lebih mendetail rekomendasi LPSK kepada APH, khususnya Penuntut Umum terkait pelaksanaan Pasal 10 ayat (4) UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Sebenarnya perlu diperjelas berapa rekomendasi yang tersebut yang diakomodir oleh Penuntut Umum dan berapa yang tidak, untuk mengetahui letak perbedaan persepsi terkait hal ini. Ke depannya LPSK dapat menjadi inisiator adanya penyamaan persepsi antara LPSK, APH, Pengadilan, dan Kemenkumham terkait JC ini, sehingga didapat parameter yang sama di antara berbagai intansi tersebut," tegasnya.
Menurut Chairul, berdasarkan laporan LPSK juga ternyata sepanjang tahun 2020 hanya ada satu kasus pemberian perlindungan terhadap saksi kasus narkotika. Tapi lagi-lagi LPSK tidak mendeskripsikan apakah saksi murni atau saksi pelaku (JC). Sekali lagi, kata dia, perlu dipahami bahwa salah satu alasan kuat mengapa perlindungan terhadap JC diintrodusir dalam UU adalah dalam rangka untuk membantu aparatur SPP mengungkap lebih banyak lagi organized crime.
Termasuk, ujar Chairul, di antaranya peredaran gelap narkotika. Menurut dia, bisa dipahami mengapa masalah peredaran narkotika yang kian hari kian sulit dikendalikan. Bukan tidak mungkin, tutur dia, hal ini disebabkan fokusnya penegakan hukum hanya terhadap kurir, pengecer, atau bahkan pemakai.
"Padahal jika JC ini dimaksimalkan oleh APH, dengan memberdayakan kewenangan LPSK, maka para bandar atau 'the big fish' dari peredaran narkoba ini bisa lebih dijangkau. Pertanyaan, mengapa bisa begini, LPSK hanya menyimpulkan karena banyak saksi kasus narkoba kalangaan APH sendiri (Polri dan BNN), sehingga tidak memerlukan perlindungan," ungkap Chairul.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan menilai, kelembagaan LPSK harus diperkuat dengan menjalin kerja sama yang lebih efektif dalam pemberian perlindungan bagi saksi dan korban, termasuk di antaranya dalam pemberian status justice collaborator (JC) dan perlindungan terhadap JC. Sehingga, kata Arteria, LPSK dimaknai sebagai lembaga hukum oleh kepolisian dan kejaksaan.
"Perlu disusun satu daerah yang menjadi pilot project untuk menciptakan sinergitas LPSK dengan Kepolisian dan Kejaksaan," ungkap Arteria.
(zik)