Mengapa Wisata Halal?

Kamis, 07 Januari 2021 - 06:10 WIB
loading...
Mengapa Wisata Halal?
Sapta Nirwandar (Foto: Istimewa)
A A A
Sapta Nirwandar
Pemerhati Pariwisata Indonesia dan Chairman of Indonesia Halal Lifestyle Center

KEPADA Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia berpesan agar melanjutkan dan memperkuat pembangunan lima kawasan pariwisata superprioritas, yakni Kawasan Mandalika, Labuan Bajo, Borobudur, Danau Toba, dan Manado-Likupang-Bitung. Diharapkan lima kawasan pariwisata ini akan menjadi lokomotif pariwisata Indonesia ke depan.

Selain itu, secara khusus Wakil Presiden berpesan kepada Menteri Parekraf agar menjadikan pariwisata halal (halal tourism) sebagai bagian penting dari kepariwisataan nasional. Pesan Wakil Presiden ini tentu sangatlah beralasan. Berwisata saat ini tidak hanya bagian dari kebutuhan seorang muslim, tetapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup (lifestyle) muslim global.

Pada 2019, menurut The State Global Islamic Economy Report 2020/21, paling tidak sekitar 200,3 juta perjalanan muslim keluar negeri dengan pengeluaran lebih dari USD194 miliar. Dalam laporan tersebut disebutkan juga bahwa Indonesia menempati peringkat lima terbesar outbond (wisatawan ke luar negeri) muslim travel countries setelah Arab Saudi, UEA, Qatar, dan Kuwait. Adapun top destination Indonesia nomor 6 di bawah UEA, Turki, Thailand, dan Tunisia. Malaysia masih teratas. Dengan daya tarik Indonesia, baik alam maupun budaya yang terkait dengan dunia Islam, mestinya mampu untuk menjadi top destination halal tourism dunia. Dari jumlah kunjungan wisatawan muslim, Indonesia hanya dikunjungi 3,4 juta wisatawan, sedangkan Malaysia mencapai 6,4 juta, dan Thailand 5,2 juta pada 2018.

Kunjungan muslim global ke Indonesia relatif masih kecil dibandingkan negara-negara ASEAN yang muslimnya relatif kecil seperti Thailand, Korea, Jepang. Apalagi dibandingkan Malaysia dan Singapura. Negara-negara ASEAN ini sangat serius menyiapkan pelayanan untuk menjaring wisatawan muslim dari berbagai penjuru dunia agar berkunjung ke negaranya. Hal yang relatif mudah dilakukan yakni menyediakan restoran halal, kafe, dan sarana ibadah untuk mempermudah pelayanan. Juga sudah tersedia guide book untuk pelancong muslim online maupun offline.

Di Kota Bangkok, Thailand, yang terkenal dengan dunia hiburannya tetap tumbuh restoran halal dan hotel halal seperti Al Meroz, hotel bintang empat yang mempunyai slogan “the leading halal hotel”. Demikian juga Jepang, selain menyediakan restoran halal dan fasilitas ibadah bagi umat Islam di bandara, ada pula rest area yang menyediakan tempat ibadah serta makanan halal. Pemerintah Jepang juga sangat memperhatikan pelayanan bagi umat Islam. Di event internasional, Olympic Games yang sedianya diselenggarakan pada 2020 dan diundur menjadi 2021, Jepang akan menyediakan makanan halal, fasilitas ibadah bagi atlet muslim. Betapa hebatnya Pemerintah Jepang.

Lebih lengkap lagi pelayanan hotel-hotel di Turki. Di Antalya, misalnya, tidak hanya menyediakan makanan halal serta fasilitas ibadah, tetapi juga tersedianya kolam renang dan pantai yang terpisah untuk perempuan dan laki-laki sebagai pelayanan yang eksklusif. Di Prancis dan Inggris ada hotel mahal yang menyediakan makanan halal dan fasilitas lain by request untuk pelancong muslim tanpa mengubah jenis fasilitas yang ada di hotel.

Dapat disimpulkan bahwa wisata halal sama sekali tidak memiliki kaitan dengan agama, tetapi hanya menjadi layanan tambahan bagi para wisatawan muslim yang berlibur ke destinasi wisata sehingga tidak mengubah tatanan adat, nilai budaya, apalagi agama di negara-negara tersebut.

Definisi dan Makna Wisata Halal
Dalam Islam perjalanan adalah bagian dari ibadah. Banyak ayat-ayat Alquran yang memberikan penjelasan bahwa perjalanan dan berwisata dapat mempertebal keimanan. Melihat alam yang begitu luas dan indah sudah semestinya kita mengucapkan puji syukur kepada Sang Pencipta.

Sebenarnya, sudah jelas soal pengertian pariwisata dan perjalanan bagi kaum muslim. Tantangan yang dihadapi adalah pengertian dan lingkup aktivitas wisata halal yang oleh sebagian masyarakat masih disalahartikan dan dianggap menakutkan, tidak mudah untuk diimplementasikan dalam dunia usaha wisata sehari-hari, karena dianggap tidak marketing friendly. Karena itu, muncul berbagai macam definisi pariwisata yang terkait dengan pelancong muslim, seperti wisata islami, wisata syariah, wisata ramah muslim (muslim friendly tourism), halal trip, wisata rahmatan lil’alamin (universal tourism), dan masih banyak lagi. Hal ini menggambarkan bahwa tidak terlalu mudah untuk memberikan definisi atau makna pariwisata yang terkait dengan pelancong muslim. Tentunya, bukan seperti sport tourism, wisata alam, atau wisata kuliner karena wisata halal mengundang sensitivitas yang relatif tinggi dari sisi konsumen maupun produsen.

Untuk menjawab peluang dan tantangan ini Kementerian Pariwisata pada 2012 menyelenggarakan focus group discussion (FGD) yang diikuti berbagai kalangan organisasi Islam, ilmuwan, praktisi usaha syariah, dan perbankan syariah. Dari hasil FGD disepakati bahwa wisata bagi kaum muslim disebut wisata syariah sebagaimana halnya bank syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, dan sebagainya.

Dalam perjalanannya, pada 2014 para pelaku bisnis mengadakan kembali FGD dikarenakan branding wisata syariah kurang marketable dan cenderung defensif, ditambah ada isu harus periksa KTP dan berbagai pelayanan hotel yang harus syariah. Tidak mudah. Akhirnya diperoleh kesepakatan wisata syariah menjadi halal tourism (wisata halal).

Pada acara high level discussion yang diselenggarakan oleh IAEI mengenai wisata halal, KH Ma’ruf Amin menyatakan bahwa “Bicara wisata halal, yang dihalalkan bukanlah destinasi atau tempat tujuan wisatanya, melainkan pelayanannya, termasuk di dalamnya hotel syariah, restoran syariah, dan spa pun harus syariah.” Selanjutnya, ditambahkan oleh Bambang Brodjonegoro sebagai ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam, “Halal tourism jangan berdasarkan zona, yang perlu kita perkuat bukan zona halal, tapi barang dan jasa yang didorong agar sesuai dengan aturan syariat Islam untuk wisata halal, yang penting sertifikasi halal restoran, hotel, dan lainnya.”

Adapun wisata halal, menurut penulis, adalah pelayanan tambahan, extended services, bagi pelancong muslim seperti penyediaan kebutuhan utama makanan halal, fasilitas ibadah, dan sebagainya di destinasi pariwisata, fasilitas perbelanjaan, museum, hotel, restoran, kafe, serta objek wisata.

Seorang pakar pemasaran dari Inggris, Jonathan AJ Wilson, mengatakan, “My new pragmatic definition for halal tourism: a God-conscious approach to offering Muslims equal access to facilities."

Menurut penulis, pelayananlah yang menjadi kunci wisata halal (equal acces to facilities) bagi pelancong muslim sehingga memberikan kemudahan dan kenyamanan. Wisata halal bukan berarti mengubah suatu kawasan sesuai syariat Islam, melainkan destinasi tersebut memiliki fasilitas atau pelayanan yang ramah bagi wisatawan muslim.

Dampak Covid 19
Perkembangan wisata halal tidak terlepas dari keadaan ekonomi Islam global. Tentu berdasarkan situasi pada 2019 sebelum pandemi Covid-19. Pendorong utamanya adalah perkembangan pesat generasi muda muslim yang sering disebut generasi (m), adanya peningkatan praktik hidup atau gaya hidup halal (halal lifestyle), ditambah fasilitas yang sangat memudahkan dengan digital connectivity.

Sektor wisata terdampak sangat berat akibat Covid 19, tidak terkecuali wisata halal. Menurut United Nation World Tourism Organization (UNWTO) akan ada penurunan wisatawan global dan pengurangan pendapatan pariwisata global serta pengurangan jumlah tenaga kerja cukup besar. Ini memengaruhi pendapatan jumlah orang yang melakukan aktivitas wisata di dunia.

DinarStandard melaporkan bahwa di sektor wisatawan muslim juga akan mengalami penurunan cukup drastis. Diperkirakan pertumbuhan pariwisata akan minus 7-8% dan mulai tumbuh kembali pada 2023 untuk mencapai kondisi pada 2019.

Sejalan dengan itu, dari laporan konsultan internasional McKinsey memperkirakan wisman akan kembali lagi ke level 2019 pada 2024 (recovery 2019 levels maybe as late as 2024). Itu karena dunia, termasuk Indonesia, masih terus berjuang mengatasi pandemi. Tidak ada pilihan lain, menurut McKinsey, kecuali menggerakkan wisatawan domestik (wisatawan Nusantara) yang menjadi panutan menggerakkan ekonomi lokal dan nasional. Domestic tourist will likely recover faster.

Bila wisatawan domestik akan menjadi prime over kepariwisataan Indonesia, mestinya secara teoretis berdasarkan jumlah penduduk, wisatawan domestik sebagian besar adalah wisatawan muslim yang membutuhkan pelayanan tambahan. Karena itu, pemerintah pusat harus bersinergi dengan pemerintah kabupaten/ kota dalam program recovery karena daerahlah yang mempunyai destinasi. Semakin besar peran pemerintah daerah, semakin berkembang kepariwisataan di daerah itu. Untuk mengakselerasi dan tumbuhnya kembali kepariwisataan daerah diperlukan investasi baru (new investment), terutama untuk penyediaan IT, promosi produk wisata baru seperti MICE, health tourism, medical tourism, spa tourism, wellness tourism (yoga), spiritual tourism, outdoor sport, dan adventure; penyiapan tenaga SDM yang semakin siap, baik sisi pemerintah, maupun di pelaku bisnis pariwisata.

Dukungan dari pemerintah tentu sangat vital mengingat sektor pariwisata mengalami dampak sangat besar. Hal ini tentunya menjadi PR untuk Menteri Parekraf Sandiaga Uno, di samping pengembangan destinasi superprioritas.

Alangkah indahnya bila sebagai konsumen wisatawan muslim memperoleh pelayanan tambahan seperti restoran halal, tempat beribadah, hotel, dan resor yang muslim friendly seperti yang dilakukan Korea, Jepang, dan Thailand. Dengan begitu, wisata halal Indonesia akan semakin dikembangkan baik untuk wisatawan Nusantara maupun mancanegara yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi bagi ekonomi Indonesia. Insyaallah.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1670 seconds (0.1#10.140)