Mengapa Wisata Halal?
loading...
A
A
A
Untuk menjawab peluang dan tantangan ini Kementerian Pariwisata pada 2012 menyelenggarakan focus group discussion (FGD) yang diikuti berbagai kalangan organisasi Islam, ilmuwan, praktisi usaha syariah, dan perbankan syariah. Dari hasil FGD disepakati bahwa wisata bagi kaum muslim disebut wisata syariah sebagaimana halnya bank syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, dan sebagainya.
Dalam perjalanannya, pada 2014 para pelaku bisnis mengadakan kembali FGD dikarenakan branding wisata syariah kurang marketable dan cenderung defensif, ditambah ada isu harus periksa KTP dan berbagai pelayanan hotel yang harus syariah. Tidak mudah. Akhirnya diperoleh kesepakatan wisata syariah menjadi halal tourism (wisata halal).
Pada acara high level discussion yang diselenggarakan oleh IAEI mengenai wisata halal, KH Ma’ruf Amin menyatakan bahwa “Bicara wisata halal, yang dihalalkan bukanlah destinasi atau tempat tujuan wisatanya, melainkan pelayanannya, termasuk di dalamnya hotel syariah, restoran syariah, dan spa pun harus syariah.” Selanjutnya, ditambahkan oleh Bambang Brodjonegoro sebagai ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam, “Halal tourism jangan berdasarkan zona, yang perlu kita perkuat bukan zona halal, tapi barang dan jasa yang didorong agar sesuai dengan aturan syariat Islam untuk wisata halal, yang penting sertifikasi halal restoran, hotel, dan lainnya.”
Adapun wisata halal, menurut penulis, adalah pelayanan tambahan, extended services, bagi pelancong muslim seperti penyediaan kebutuhan utama makanan halal, fasilitas ibadah, dan sebagainya di destinasi pariwisata, fasilitas perbelanjaan, museum, hotel, restoran, kafe, serta objek wisata.
Seorang pakar pemasaran dari Inggris, Jonathan AJ Wilson, mengatakan, “My new pragmatic definition for halal tourism: a God-conscious approach to offering Muslims equal access to facilities."
Menurut penulis, pelayananlah yang menjadi kunci wisata halal (equal acces to facilities) bagi pelancong muslim sehingga memberikan kemudahan dan kenyamanan. Wisata halal bukan berarti mengubah suatu kawasan sesuai syariat Islam, melainkan destinasi tersebut memiliki fasilitas atau pelayanan yang ramah bagi wisatawan muslim.
Dampak Covid 19
Perkembangan wisata halal tidak terlepas dari keadaan ekonomi Islam global. Tentu berdasarkan situasi pada 2019 sebelum pandemi Covid-19. Pendorong utamanya adalah perkembangan pesat generasi muda muslim yang sering disebut generasi (m), adanya peningkatan praktik hidup atau gaya hidup halal (halal lifestyle), ditambah fasilitas yang sangat memudahkan dengan digital connectivity.
Sektor wisata terdampak sangat berat akibat Covid 19, tidak terkecuali wisata halal. Menurut United Nation World Tourism Organization (UNWTO) akan ada penurunan wisatawan global dan pengurangan pendapatan pariwisata global serta pengurangan jumlah tenaga kerja cukup besar. Ini memengaruhi pendapatan jumlah orang yang melakukan aktivitas wisata di dunia.
DinarStandard melaporkan bahwa di sektor wisatawan muslim juga akan mengalami penurunan cukup drastis. Diperkirakan pertumbuhan pariwisata akan minus 7-8% dan mulai tumbuh kembali pada 2023 untuk mencapai kondisi pada 2019.
Sejalan dengan itu, dari laporan konsultan internasional McKinsey memperkirakan wisman akan kembali lagi ke level 2019 pada 2024 (recovery 2019 levels maybe as late as 2024). Itu karena dunia, termasuk Indonesia, masih terus berjuang mengatasi pandemi. Tidak ada pilihan lain, menurut McKinsey, kecuali menggerakkan wisatawan domestik (wisatawan Nusantara) yang menjadi panutan menggerakkan ekonomi lokal dan nasional. Domestic tourist will likely recover faster.
Dalam perjalanannya, pada 2014 para pelaku bisnis mengadakan kembali FGD dikarenakan branding wisata syariah kurang marketable dan cenderung defensif, ditambah ada isu harus periksa KTP dan berbagai pelayanan hotel yang harus syariah. Tidak mudah. Akhirnya diperoleh kesepakatan wisata syariah menjadi halal tourism (wisata halal).
Pada acara high level discussion yang diselenggarakan oleh IAEI mengenai wisata halal, KH Ma’ruf Amin menyatakan bahwa “Bicara wisata halal, yang dihalalkan bukanlah destinasi atau tempat tujuan wisatanya, melainkan pelayanannya, termasuk di dalamnya hotel syariah, restoran syariah, dan spa pun harus syariah.” Selanjutnya, ditambahkan oleh Bambang Brodjonegoro sebagai ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam, “Halal tourism jangan berdasarkan zona, yang perlu kita perkuat bukan zona halal, tapi barang dan jasa yang didorong agar sesuai dengan aturan syariat Islam untuk wisata halal, yang penting sertifikasi halal restoran, hotel, dan lainnya.”
Adapun wisata halal, menurut penulis, adalah pelayanan tambahan, extended services, bagi pelancong muslim seperti penyediaan kebutuhan utama makanan halal, fasilitas ibadah, dan sebagainya di destinasi pariwisata, fasilitas perbelanjaan, museum, hotel, restoran, kafe, serta objek wisata.
Seorang pakar pemasaran dari Inggris, Jonathan AJ Wilson, mengatakan, “My new pragmatic definition for halal tourism: a God-conscious approach to offering Muslims equal access to facilities."
Menurut penulis, pelayananlah yang menjadi kunci wisata halal (equal acces to facilities) bagi pelancong muslim sehingga memberikan kemudahan dan kenyamanan. Wisata halal bukan berarti mengubah suatu kawasan sesuai syariat Islam, melainkan destinasi tersebut memiliki fasilitas atau pelayanan yang ramah bagi wisatawan muslim.
Dampak Covid 19
Perkembangan wisata halal tidak terlepas dari keadaan ekonomi Islam global. Tentu berdasarkan situasi pada 2019 sebelum pandemi Covid-19. Pendorong utamanya adalah perkembangan pesat generasi muda muslim yang sering disebut generasi (m), adanya peningkatan praktik hidup atau gaya hidup halal (halal lifestyle), ditambah fasilitas yang sangat memudahkan dengan digital connectivity.
Sektor wisata terdampak sangat berat akibat Covid 19, tidak terkecuali wisata halal. Menurut United Nation World Tourism Organization (UNWTO) akan ada penurunan wisatawan global dan pengurangan pendapatan pariwisata global serta pengurangan jumlah tenaga kerja cukup besar. Ini memengaruhi pendapatan jumlah orang yang melakukan aktivitas wisata di dunia.
DinarStandard melaporkan bahwa di sektor wisatawan muslim juga akan mengalami penurunan cukup drastis. Diperkirakan pertumbuhan pariwisata akan minus 7-8% dan mulai tumbuh kembali pada 2023 untuk mencapai kondisi pada 2019.
Sejalan dengan itu, dari laporan konsultan internasional McKinsey memperkirakan wisman akan kembali lagi ke level 2019 pada 2024 (recovery 2019 levels maybe as late as 2024). Itu karena dunia, termasuk Indonesia, masih terus berjuang mengatasi pandemi. Tidak ada pilihan lain, menurut McKinsey, kecuali menggerakkan wisatawan domestik (wisatawan Nusantara) yang menjadi panutan menggerakkan ekonomi lokal dan nasional. Domestic tourist will likely recover faster.