Angin Segar Amerika Serikat di Asia?
loading...
A
A
A
Tirta Nugraha Mursitama
Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Transfer Teknologi Universitas Bina Nusantara dan Direktur Eksekutif Centre for Business and Diplomatic Studies Departemen Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara
WALAU drama Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) belum resmi berakhir, sepertinya semakin jelas bahwa Joe Biden-Kamala Harris akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden AS ke-59 pada 20 Januari 2021. Kalangan akademisi, praktisi hingga pimpinan pemerintah mulai mendiskusikan bagaimana arah kebijakan luar negeri AS di forum internasional ke depan. Tulisan ini membahas bagaimana kemungkinan AS akan berhubungan secara internasional, khususnya di Asia, dan bagaimana Indonesia bisa menyikapinya.
Empat Faktor
Untuk melihat kemungkinan kebijakan AS khususnya di kawasan Asia ke depan, ada empat faktor yang dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk menganalisis. Pertama, platform partai politik Partai Demokrat. Sebagai parpol yang berideologi tengah kiri Demokrat percaya bahwa penghormatan nilai individu, hak-hak minoritas adalah hal yang utama. Negara cenderung lebih berperan melindungi warga negaranya dari cengkeraman kekuatan modal dan keserakahan perusahaan multinasional. Misalnya terkait dengan produk-produk yang ramah lingkungan dan mengikuti standar kesehatan tertentu.
Pemerintah juga berusaha untuk memberikan pelayanan kesehatan masyarakat dengan memberikan asuransi. Sementara dari sisi pengenaan pajak, pemerintah Partai Demokrat menerapkan kebijakan pajak progresif sesuai dengan pendapatan masyarakat. Masyarakat yang lebih kaya harus membayar pajak lebih banyak.
Dari sisi pengeluaran militer sepertinya juga akan dikurangi dan mengandalkan burden sharing dari para partner tradisionalnya di berbagai kawasan. Untuk kawasan Asia, hubungan dengan Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan akan menjadi jangkar dan menjadi semakin penting. Termasuk dalam menghadapi China di sengketa Laut Natuna Utara hingga hubungan AS dengan Asia Tenggara.
Adapun dari sisi kebijakan militer dengan situasi krisis akibat pandemi ini kemungkinan pemerintah terpilih akan meminta negara mitra tradisionalnya untuk berbagi dengan mengeluarkan dana lebih. Pendekatan terhadap negara yang berkonflik tidak akan secara konfrontatif terbuka, tetapi lebih dialogis melalui meja perundingan. Demikian juga untuk kebijakan luar negerinya akan lebih mengedepankan cara-cara persuasif, menghargai berbagai pandangan walau tetap memperjuangkan kepentingannya melalui kompromi di arena multilateral.
Kedua, tulisan Joe Biden yang berjudul Why America Must Lead Again: Rescuing U.S. Foreign Policy After Trump di Majalah Foreign Affairs bulan Maret/April 2020. Di antara banyak hal yang ditulis, salah satu yang terpenting adalah pesan kuat adanya keinginan untuk meyakinkan dunia bahwa AS siap memimpin dunia kembali.
Untuk merealisasinya Biden mengutarakan bahwa AS akan merestorasi nilai-nilai demokrasi yang menjadi nilai dasar dalam hidup bernegara. Ambisi Biden itu tidak berhenti di situ saja. Ia berjanji akan menggelar Global Democracy Conference yang akan melibatkan semua negara penting dunia, organisasi internasional, dan kelompok masyarakat sipil.
Ketiga, Build Back Better, platform kampanye Biden-Harris khususnya di bidang ekonomi. Di dalam platform itu disebutkan bahwa Biden-Harris akan mengedepankan industri dalam negeri melalui berbagai inovasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Tujuannya menghasilkan produk-produk buatan AS oleh orang AS sendiri.
Dalam konteks ini Biden tidak berbeda dengan Trump. Tujuan utamanya adalah memakmurkan kembali AS. Namun bedanya terletak pada pendekatan yang mungkin akan dilakukan oleh Biden sebagai seorang politisi Demokrat yang sangat berpengalaman dan sebagai wakil presiden dua periode mendampingi Barack Obama.
Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Transfer Teknologi Universitas Bina Nusantara dan Direktur Eksekutif Centre for Business and Diplomatic Studies Departemen Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara
WALAU drama Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) belum resmi berakhir, sepertinya semakin jelas bahwa Joe Biden-Kamala Harris akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden AS ke-59 pada 20 Januari 2021. Kalangan akademisi, praktisi hingga pimpinan pemerintah mulai mendiskusikan bagaimana arah kebijakan luar negeri AS di forum internasional ke depan. Tulisan ini membahas bagaimana kemungkinan AS akan berhubungan secara internasional, khususnya di Asia, dan bagaimana Indonesia bisa menyikapinya.
Empat Faktor
Untuk melihat kemungkinan kebijakan AS khususnya di kawasan Asia ke depan, ada empat faktor yang dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk menganalisis. Pertama, platform partai politik Partai Demokrat. Sebagai parpol yang berideologi tengah kiri Demokrat percaya bahwa penghormatan nilai individu, hak-hak minoritas adalah hal yang utama. Negara cenderung lebih berperan melindungi warga negaranya dari cengkeraman kekuatan modal dan keserakahan perusahaan multinasional. Misalnya terkait dengan produk-produk yang ramah lingkungan dan mengikuti standar kesehatan tertentu.
Pemerintah juga berusaha untuk memberikan pelayanan kesehatan masyarakat dengan memberikan asuransi. Sementara dari sisi pengenaan pajak, pemerintah Partai Demokrat menerapkan kebijakan pajak progresif sesuai dengan pendapatan masyarakat. Masyarakat yang lebih kaya harus membayar pajak lebih banyak.
Dari sisi pengeluaran militer sepertinya juga akan dikurangi dan mengandalkan burden sharing dari para partner tradisionalnya di berbagai kawasan. Untuk kawasan Asia, hubungan dengan Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan akan menjadi jangkar dan menjadi semakin penting. Termasuk dalam menghadapi China di sengketa Laut Natuna Utara hingga hubungan AS dengan Asia Tenggara.
Adapun dari sisi kebijakan militer dengan situasi krisis akibat pandemi ini kemungkinan pemerintah terpilih akan meminta negara mitra tradisionalnya untuk berbagi dengan mengeluarkan dana lebih. Pendekatan terhadap negara yang berkonflik tidak akan secara konfrontatif terbuka, tetapi lebih dialogis melalui meja perundingan. Demikian juga untuk kebijakan luar negerinya akan lebih mengedepankan cara-cara persuasif, menghargai berbagai pandangan walau tetap memperjuangkan kepentingannya melalui kompromi di arena multilateral.
Kedua, tulisan Joe Biden yang berjudul Why America Must Lead Again: Rescuing U.S. Foreign Policy After Trump di Majalah Foreign Affairs bulan Maret/April 2020. Di antara banyak hal yang ditulis, salah satu yang terpenting adalah pesan kuat adanya keinginan untuk meyakinkan dunia bahwa AS siap memimpin dunia kembali.
Untuk merealisasinya Biden mengutarakan bahwa AS akan merestorasi nilai-nilai demokrasi yang menjadi nilai dasar dalam hidup bernegara. Ambisi Biden itu tidak berhenti di situ saja. Ia berjanji akan menggelar Global Democracy Conference yang akan melibatkan semua negara penting dunia, organisasi internasional, dan kelompok masyarakat sipil.
Ketiga, Build Back Better, platform kampanye Biden-Harris khususnya di bidang ekonomi. Di dalam platform itu disebutkan bahwa Biden-Harris akan mengedepankan industri dalam negeri melalui berbagai inovasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Tujuannya menghasilkan produk-produk buatan AS oleh orang AS sendiri.
Dalam konteks ini Biden tidak berbeda dengan Trump. Tujuan utamanya adalah memakmurkan kembali AS. Namun bedanya terletak pada pendekatan yang mungkin akan dilakukan oleh Biden sebagai seorang politisi Demokrat yang sangat berpengalaman dan sebagai wakil presiden dua periode mendampingi Barack Obama.