Sanksi Pidana Bagi Pelaku Parodi Berpotensi Memicu Rasa Benci kepada Negara

Sabtu, 02 Januari 2021 - 22:20 WIB
loading...
Sanksi Pidana Bagi Pelaku...
Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, pemberian sanksi pidana kepada pelaku parodi Indonesia Raya bisa membuat rasa benci terhadap negara. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Memparodikan lagu Indonesia Raya memang tidak lucu. Pelakunya salah. Tidak boleh ditiru. Tapi haruskah pelakunya, apalagi karena masih berusia anak-anak (siswa SMP dan SD), dipidana?

”Mari kita cermati sejumlah penelitian. Ada hubungan antara kegemaran pada pelajaran sejarah dan patriotisme. Persoalannya, rendahnya rasa cinta Tanah Air dialami siswa karena para guru--utamanya sejarah--tidak terampil menanamkan nilai patriotisme ke dalam diri anak didik. Mata pelajaran sejarah tak lebih dari penyampaian informasi tentang serangkaian peristiwa yang dianggap historis,” ujar psikolog forensik Reza Indragiri Amriel dalam keterangannya Sabtu (2/1/2021). (Baca juga: Polri Tangkap Dua Pelaku Pembuat Parodi Lagu Indonesia Raya)

Karena sebatas pengayaan kognitif, kata Reza, mata pelajaran menjadi cenderung satu sisi. Abai terhadap perasaan (afeksi). Padahal rekomendasi ilmuwan, pelajaran sejarah sepatutnya dikemas sebagai bahasan kontroversial. Dengan menyertakan unsur pro-kontra, perasaan siswa akan lebih terlibat. ”Inilah jalan bagi penyerapan nilai-nilai, bukan hanya penghapalan pengetahuan. Beberapa faktor yang menghalangi tumbuhnya rasa cinta Tanah Air yakni, rendahnya standar hidup, ketidakpastian sosial, ketidakpercayaan pada pengelola negara,” katanya. (Baca juga: Bareskrim Mabes Polri Bekuk MDF, Rumah Pelaku Parodi Lagu Indonesia Raya Kini Lengang)

Mantan Ketua Delegasi Indonesia, Program Pertukaran Pemuda Indonesia Australia menambahkan, perbedaan rasa cinta Tanah Air ditentukan oleh latar budaya, peran orang tua (keluarga), dan pengaruh sosial. Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa tinggi rendahnya kecintaan pada Tanah Air bukan masalah hitam putih. Tidak bersumber dari faktor tunggal, melainkan multidimensional.

”Dengan konteks sedemikian kompleks, akankah pidana (vonis bersalah atau tidak bermasalah) justru terlalu simplistis dan berpotensi kontraproduktif? Simplistis, karena cenderung menuding pelaku sebagai satu-satunya pihak yang harus diintervensi. Kontraproduktif, karena justru dapat membuat pelaku merasa takut--bukan cinta--lalu membenci Negara,” ucapnya.

(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2372 seconds (0.1#10.140)