Momentum Reshuffle Kabinet Jokowi
loading...
A
A
A
Dilema
Sepertinya Jokowi terjebak dalam sebuah dilema akut soal desakan rehsuffle kabinet. Satu sisi banyak menteri yang kinerjanya memang tak bisa diharapkan lagi, namun sisi lain rombak kabinet bukan perkara gampang macam simsalabim. Antara pilihan kerja maksimal profesional dan stabilitas politik menjadi simalakama. Bukan tak mungkin reshuffle yang dilakukan di tengah pandemi Covid-19 justeru menciptakan gejolak politik tak terkendali.
Apalagi pada 2024 Jokowi tak bisa maju pemilihan umum presiden, maka ancaman stabilitas politik sangat rasional jadi pertimbangan utama. Sebab, partai politik serta aktor politik lain merasa tak butuh ke Jokowi lagi. Mereka bisa melakukan resistensi kapan pun tanpa diduga sebelumnya. Sekali lagi, ini bagian dari rumitnya rezim pemerintahan koalisional yang pola politiknya sukar ditebak, acak, yang sangat potensial muncul oposisi dari dalam seperti yang sering terjadi di era kedua Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dalam konteks inilah ketegasan politik Jokowi diuji. Pilihan menjadi presiden bekerja tanpa beban atau berkompromi dengan suasana politik dipertaruhkan. Dua pilihan ruwet seperti buah simalakama. Namun, jika melihat kecenderungan publik, banyak yang berhadap Jokowi lebih memilih menjadi presiden tanpa beban politik. Tutup mata dengan dukungan politik mengganti menteri berkinerja buruk dengan pemain baru yang lebih fresh, berintegritas, dan total mengabdi pada negara. Bukan loyal pada kepentingan partai politik maupun segelintir elite oligarki ekonomi politik tertentu.
Jokowi mulai perlu segera memikirkan calon menteri pengganti yang setiap bangun pagi lebih memilih mengontak dirinya, bukan menteri atau calon menteri yang lebih memilih berkomunikasi dengan ketua umum partai atau aktor politik lain untuk melaporkan performa kinerja. Saat ini, yang dibutuhkan Jokowi totalitas pembantu sebagai syarat utama reshuffle.
Publik selalu berharap Jokowi tak berkompromi dengan sokongan politik. Warisan kinerja yang baik di periode kedua nyata sebagai pertaruhan legacy Jokowi sebagai presiden yang dikenang manis. Karenanya, mengganti menteri yang kinerjanya buruk adalah keniscayaan. Tak perlu ragu rakyat selalu di belakangan Jokowi. Ini momentum pas Jokowi menunjukkan kepada publik sebagai presiden pilihan rakyat yang bekerja tanpa beban, bukan presiden yang tersandera dukungan partai politik.
Lihat Juga: Kampanye Akbar, Ridwan Kamil-Suswono Gelar Konser Satu1n Jakarta Dihadiri Jokowi Hingga SBY
Sepertinya Jokowi terjebak dalam sebuah dilema akut soal desakan rehsuffle kabinet. Satu sisi banyak menteri yang kinerjanya memang tak bisa diharapkan lagi, namun sisi lain rombak kabinet bukan perkara gampang macam simsalabim. Antara pilihan kerja maksimal profesional dan stabilitas politik menjadi simalakama. Bukan tak mungkin reshuffle yang dilakukan di tengah pandemi Covid-19 justeru menciptakan gejolak politik tak terkendali.
Apalagi pada 2024 Jokowi tak bisa maju pemilihan umum presiden, maka ancaman stabilitas politik sangat rasional jadi pertimbangan utama. Sebab, partai politik serta aktor politik lain merasa tak butuh ke Jokowi lagi. Mereka bisa melakukan resistensi kapan pun tanpa diduga sebelumnya. Sekali lagi, ini bagian dari rumitnya rezim pemerintahan koalisional yang pola politiknya sukar ditebak, acak, yang sangat potensial muncul oposisi dari dalam seperti yang sering terjadi di era kedua Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dalam konteks inilah ketegasan politik Jokowi diuji. Pilihan menjadi presiden bekerja tanpa beban atau berkompromi dengan suasana politik dipertaruhkan. Dua pilihan ruwet seperti buah simalakama. Namun, jika melihat kecenderungan publik, banyak yang berhadap Jokowi lebih memilih menjadi presiden tanpa beban politik. Tutup mata dengan dukungan politik mengganti menteri berkinerja buruk dengan pemain baru yang lebih fresh, berintegritas, dan total mengabdi pada negara. Bukan loyal pada kepentingan partai politik maupun segelintir elite oligarki ekonomi politik tertentu.
Jokowi mulai perlu segera memikirkan calon menteri pengganti yang setiap bangun pagi lebih memilih mengontak dirinya, bukan menteri atau calon menteri yang lebih memilih berkomunikasi dengan ketua umum partai atau aktor politik lain untuk melaporkan performa kinerja. Saat ini, yang dibutuhkan Jokowi totalitas pembantu sebagai syarat utama reshuffle.
Publik selalu berharap Jokowi tak berkompromi dengan sokongan politik. Warisan kinerja yang baik di periode kedua nyata sebagai pertaruhan legacy Jokowi sebagai presiden yang dikenang manis. Karenanya, mengganti menteri yang kinerjanya buruk adalah keniscayaan. Tak perlu ragu rakyat selalu di belakangan Jokowi. Ini momentum pas Jokowi menunjukkan kepada publik sebagai presiden pilihan rakyat yang bekerja tanpa beban, bukan presiden yang tersandera dukungan partai politik.
Lihat Juga: Kampanye Akbar, Ridwan Kamil-Suswono Gelar Konser Satu1n Jakarta Dihadiri Jokowi Hingga SBY
(bmm)