Sesuai Hukum Islam, MUI Minta Vaksin Corona Penuhi Standar Halal dan Thoyyib
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Pusat Asrorun Niam Sholeh mengatakan, dalam konteks hukum Islam konsumsi pangan, obat-obatan hingga kosmetik harus memenuhi standar halal dan thoyyib atau mengandung kebaikan.
(Baca juga: MPR Minta Pemerintah Tutup Celah Komersialisasi Vaksin Covid-19)
Dua elemen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, namun bisa dibedakan. Sedangkan dalam konteks vaksin virus Corona (Covid-19) dari Sinovac asal China, MUI tetap menjadikan hukum Islam menjadi standar dalam pengujiannya.
(Baca juga: DPR Pertanyakan Nasib Vaksin Sinovac China Jika Uji Klinis Tak Memadai)
"Harus sesuai dengan standar syari-nya, baik itu pada aspek materialnya, maupun pada aspek prosesnya," kata Niam dalam diskusi Empat Pilar MPR RI bertajuk 'Menanti Sertifikasi Halal Vaksin Covid-19' di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (15/12/2020).
Dalam proses penetapan fatwa halal terhadap produk dari vaksin ini, Niam menjelaskan bahwa yang dilihat adalah pertama adalah sisi komposisi yang terkandung dan bagaimana proses produksinya.
"Dia dari mana? Kemudian menggunakan bahan apa saja, bagaimana proses produksi," terangnya.
Menurut Niam, ketentuan itu berbeda dengan konteks yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam melakukan uji klinis vaksin yang mengedepankan kemanan, khasiat dan kualitas.
"Pertama, mengenai kualitas untuk kepentingan pencegahan Covid-19. Kemudian safety atau keamanan dan efektifikasi, tingkat proteksi, itu terkait dengan ke-toyyib-an," ujarnya.
Namun demikian, dia mengungkapkan, hingga saat ini proses audit yang dilakukan oleh tim auditor halal terjadap produksi vaksin masih terus dilakukan. Setidaknya ada 6 tahapan, mulai dari penumbuhan sel bagi virus, inaktivikasi virus, pemurnian, hingga pengemasan, menjadi rangkaian yang kemudian dilakukan telaah.
"Apakah produksinya memenuhi standar syari, itu yang diperiksa. Artinya sungguh pun itu satu kesatuan tak terpisahkan tetapi dibedakan, mana wilayah yang terkait dengan aspek halal atau haramnya, mana yang terkait dengan aspek keamanannya," pungkas Niam.
(Baca juga: MPR Minta Pemerintah Tutup Celah Komersialisasi Vaksin Covid-19)
Dua elemen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, namun bisa dibedakan. Sedangkan dalam konteks vaksin virus Corona (Covid-19) dari Sinovac asal China, MUI tetap menjadikan hukum Islam menjadi standar dalam pengujiannya.
(Baca juga: DPR Pertanyakan Nasib Vaksin Sinovac China Jika Uji Klinis Tak Memadai)
"Harus sesuai dengan standar syari-nya, baik itu pada aspek materialnya, maupun pada aspek prosesnya," kata Niam dalam diskusi Empat Pilar MPR RI bertajuk 'Menanti Sertifikasi Halal Vaksin Covid-19' di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (15/12/2020).
Dalam proses penetapan fatwa halal terhadap produk dari vaksin ini, Niam menjelaskan bahwa yang dilihat adalah pertama adalah sisi komposisi yang terkandung dan bagaimana proses produksinya.
"Dia dari mana? Kemudian menggunakan bahan apa saja, bagaimana proses produksi," terangnya.
Menurut Niam, ketentuan itu berbeda dengan konteks yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam melakukan uji klinis vaksin yang mengedepankan kemanan, khasiat dan kualitas.
"Pertama, mengenai kualitas untuk kepentingan pencegahan Covid-19. Kemudian safety atau keamanan dan efektifikasi, tingkat proteksi, itu terkait dengan ke-toyyib-an," ujarnya.
Namun demikian, dia mengungkapkan, hingga saat ini proses audit yang dilakukan oleh tim auditor halal terjadap produksi vaksin masih terus dilakukan. Setidaknya ada 6 tahapan, mulai dari penumbuhan sel bagi virus, inaktivikasi virus, pemurnian, hingga pengemasan, menjadi rangkaian yang kemudian dilakukan telaah.
"Apakah produksinya memenuhi standar syari, itu yang diperiksa. Artinya sungguh pun itu satu kesatuan tak terpisahkan tetapi dibedakan, mana wilayah yang terkait dengan aspek halal atau haramnya, mana yang terkait dengan aspek keamanannya," pungkas Niam.
(maf)