Imigrasi Akui Status Buron Djoko Tjandra Dihapus atas Permintaan Mabes Polri
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan Kepala Subdirektorat Cegah Tangkal Dirwasdakim Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Sandi Andaryadi menyebutkan penghapusan status buron terpidana Djoko Tjandra atas permintaan Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Mabes Polri. Nama Djoko Tjandra akhirnya lenyap dari sistem informasi keimigrasian (SIMKIM) pada 13 Mei 2020.
Fakta tersebut disampaikan Sandi saat memberikan kesaksian dalam persidangan kasus suap mantan Kadiv Hubinter Mabes Polri Irjen Napoleon Bonaparte di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/12/2020).
Sandi menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Cegah Tangkal Dirwasdakim Ditjen Imigrasi periode 2018-2020. Belakangan, Andaryadi dipindahtugaskan hingga kini sebagai Kepala Kantor Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Jakarta Utara.
(Baca: Anak Buah Akui Ada Perintah Irjen Napoleon Urus Red Notice Djoko Tjandra)
Menurut Sandi, Ditjen Imigrasi menerima surat dari Divhubinter Mabes Polri pada 5 Mei 2020. Dalam surat disebutkan bahwa nama Djoko Tjandra yang merupakan buron Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah tidak tercantum berstatus red notice dalam sistem Interpol sejak 2009.
Berdasarkan surat tersebut, Ditjen Imigrasi lalu menghapus nama Djoko Tjandra dalam Enchanced Cekal System (ECS) pada SIMKIM Ditjen Imigrasi pada 13 Mei 2020.
"Di surat itu (surat dari Divhubinter Polri), diinformasikan bahwa red notice tahun 2009 atas nama Djoko Soegiarto Tjandra sudah terhapus dari sistem basis data Interpol. (Pengahapusan dari SIMKIM) karena kami melihat bahwa rujukan untuk mencantumkan nama Djoko Tjandra itu (sebaga DPO dalam SIMKIM) merujuk pada red notice," tegas Andaryadi di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
JPU masih penasaran dengan kesaksian Andaryadi. JPU lantas menanyakan untuk penegasan atas penghapusan nama Djoko Tjandra sebagai DPO pada SIMKIM Ditjen Imigrasi. "Apakah penghapusan DPO itu tindak lanjut surat Divhubinter?" tanya JPU. "Betul," jawab Andaryadi.
(Baca: Napoleon Ungkap Kedekatan Tommy dengan Aziz dan Kabareskrim)
Andaryadi melanjutkan, seingat dia ada dua surat dari Divhubinter masing-masing tertanggal 4 dan 5 Mei 2020. Dua surat tersebut ditandatangani oleh pejabat yang sama yakni Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo selaku Sekretaris NCB Interpol Indonesia Divhubinter Mabes Polri saat itu.
"Pada surat tanggal 5 disebutkan bahwa red notice (Djoko Tjandra) sudah terhapuskan dalam sistem, sehingga tidak ada rujukan atau dasar untuk menempatkan nama dalam sistem kami," paparnya.
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Dia memaparkan, selepas nama Djoko Tjandra terhapus pada SIMKIM ternyata surat dari Kejagung pada 27 Juni 2020. Kejagung meminta agar nama terpidana Djoko Tjandra dimasukkan lagi sebagia DPO ke sistem Imigrasi, yaitu enhanced cekal system (ECS) pada SIMKIM.
JPU kembali mengajukan pertanyaan kepada Andaryadi. Kali ini JPU mendalami ada tidaknya pelintasan Djoko Tjandra di Indonesia berdasarkan sistem yang dimiliki Ditjen Imigrasi. Andaryadi mengklaim, sampai saat ini Djoko Tjandra tidak pernah tercatat masuk ke Indonesia lewat perlintasan resmi.
"Sampai saat ini nggak ada perlintasan resmi dari Djoko Soegiarto Tjandra," ujar Andaryadi.
Fakta tersebut disampaikan Sandi saat memberikan kesaksian dalam persidangan kasus suap mantan Kadiv Hubinter Mabes Polri Irjen Napoleon Bonaparte di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/12/2020).
Sandi menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Cegah Tangkal Dirwasdakim Ditjen Imigrasi periode 2018-2020. Belakangan, Andaryadi dipindahtugaskan hingga kini sebagai Kepala Kantor Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Jakarta Utara.
(Baca: Anak Buah Akui Ada Perintah Irjen Napoleon Urus Red Notice Djoko Tjandra)
Menurut Sandi, Ditjen Imigrasi menerima surat dari Divhubinter Mabes Polri pada 5 Mei 2020. Dalam surat disebutkan bahwa nama Djoko Tjandra yang merupakan buron Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah tidak tercantum berstatus red notice dalam sistem Interpol sejak 2009.
Berdasarkan surat tersebut, Ditjen Imigrasi lalu menghapus nama Djoko Tjandra dalam Enchanced Cekal System (ECS) pada SIMKIM Ditjen Imigrasi pada 13 Mei 2020.
"Di surat itu (surat dari Divhubinter Polri), diinformasikan bahwa red notice tahun 2009 atas nama Djoko Soegiarto Tjandra sudah terhapus dari sistem basis data Interpol. (Pengahapusan dari SIMKIM) karena kami melihat bahwa rujukan untuk mencantumkan nama Djoko Tjandra itu (sebaga DPO dalam SIMKIM) merujuk pada red notice," tegas Andaryadi di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
JPU masih penasaran dengan kesaksian Andaryadi. JPU lantas menanyakan untuk penegasan atas penghapusan nama Djoko Tjandra sebagai DPO pada SIMKIM Ditjen Imigrasi. "Apakah penghapusan DPO itu tindak lanjut surat Divhubinter?" tanya JPU. "Betul," jawab Andaryadi.
(Baca: Napoleon Ungkap Kedekatan Tommy dengan Aziz dan Kabareskrim)
Andaryadi melanjutkan, seingat dia ada dua surat dari Divhubinter masing-masing tertanggal 4 dan 5 Mei 2020. Dua surat tersebut ditandatangani oleh pejabat yang sama yakni Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo selaku Sekretaris NCB Interpol Indonesia Divhubinter Mabes Polri saat itu.
"Pada surat tanggal 5 disebutkan bahwa red notice (Djoko Tjandra) sudah terhapuskan dalam sistem, sehingga tidak ada rujukan atau dasar untuk menempatkan nama dalam sistem kami," paparnya.
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Dia memaparkan, selepas nama Djoko Tjandra terhapus pada SIMKIM ternyata surat dari Kejagung pada 27 Juni 2020. Kejagung meminta agar nama terpidana Djoko Tjandra dimasukkan lagi sebagia DPO ke sistem Imigrasi, yaitu enhanced cekal system (ECS) pada SIMKIM.
JPU kembali mengajukan pertanyaan kepada Andaryadi. Kali ini JPU mendalami ada tidaknya pelintasan Djoko Tjandra di Indonesia berdasarkan sistem yang dimiliki Ditjen Imigrasi. Andaryadi mengklaim, sampai saat ini Djoko Tjandra tidak pernah tercatat masuk ke Indonesia lewat perlintasan resmi.
"Sampai saat ini nggak ada perlintasan resmi dari Djoko Soegiarto Tjandra," ujar Andaryadi.
(muh)