Komnas HAM Luncurkan Standar Norma Penanganan Diskriminasi Ras dan Etnis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 1 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Gagasan untuk melahirkan panduan ini sudah muncul sejak 2018.
Peneliti Komnas HAM Dian Andi Nur Aziz mengatakan saat itu lembaganya mengalami beberapa perbedaan tafsir terhadap suatu situasi, kebijakan, dan peraturan. Jadi SNP ini akan menjadi acuan dalam melihat suatu peristiwa yang terkait HAM “SNP adalah kaidah-kaidah dan ukuran untuk menilai kesesuaian upaya promosi, pemenuhan, dan perlindungan HAM. Semacam fatwa atau tafsir. Kami mencoba meletakkan narasi tafsir yang nantinya membantu kami, pemerintah dan masyarakat apakah peristiwa itu (mengandung) sebuah diskriminasi,” ujarnya dalam diskusi daring, Senin (14/12/2020). (Baca juga: Komnas HAM Bentuk Tim Khusus Ungkap Tewasnya 6 Anggota FPI oleh Polisi)
SNP ini, menurut Dian Andi, menjadi acuan bagi pengemban kewajiban dan pemangku kewajiban dalam merancang peraturan perundang-undangan. “SNP menjadi rambu-rambi penyusunan undang-undang (UU),” ucapnya. (Baca juga: Komnas HAM: Petahana Berpotensi Tunggangi Program dan Netralitas ASN)
Dia menerangkan diskriminasi ras dan etnis ini bukan hal yang baru terjadi. Diskriminasi sudah terjadi sejak zaman kolonial. Kadang-kadang di masyarakat, ada istilah kelas I, II, dan III. “Itu kemudian terus terjadi (seakan) sebuah hal yang lumrah,” katanya.
Dahulu, warga keturunan tionghoa harus membuat Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). “SBKRI menjadi kebijakan yang sangat diskriminatif. Dulu normal dan lumrah, tapi itu diskriminatif. Itu sudah kita koreksi,” tuturnya.
Dian Andi menjelaskan diskriminasi ras dan etnis itu memiliki ciri, yakni pembedaan, pengecualian, pembatasan, dan pemilihan yang hasilnya tidak setara dengan kelompok lain. “Sumber diskriminasi tidak hanya tindakan. Bisa ucapan, peraturan, serta kebijakan, bentuknya bisa langsung dan tidak,” pungkasnya.
Peneliti Komnas HAM Dian Andi Nur Aziz mengatakan saat itu lembaganya mengalami beberapa perbedaan tafsir terhadap suatu situasi, kebijakan, dan peraturan. Jadi SNP ini akan menjadi acuan dalam melihat suatu peristiwa yang terkait HAM “SNP adalah kaidah-kaidah dan ukuran untuk menilai kesesuaian upaya promosi, pemenuhan, dan perlindungan HAM. Semacam fatwa atau tafsir. Kami mencoba meletakkan narasi tafsir yang nantinya membantu kami, pemerintah dan masyarakat apakah peristiwa itu (mengandung) sebuah diskriminasi,” ujarnya dalam diskusi daring, Senin (14/12/2020). (Baca juga: Komnas HAM Bentuk Tim Khusus Ungkap Tewasnya 6 Anggota FPI oleh Polisi)
SNP ini, menurut Dian Andi, menjadi acuan bagi pengemban kewajiban dan pemangku kewajiban dalam merancang peraturan perundang-undangan. “SNP menjadi rambu-rambi penyusunan undang-undang (UU),” ucapnya. (Baca juga: Komnas HAM: Petahana Berpotensi Tunggangi Program dan Netralitas ASN)
Dia menerangkan diskriminasi ras dan etnis ini bukan hal yang baru terjadi. Diskriminasi sudah terjadi sejak zaman kolonial. Kadang-kadang di masyarakat, ada istilah kelas I, II, dan III. “Itu kemudian terus terjadi (seakan) sebuah hal yang lumrah,” katanya.
Dahulu, warga keturunan tionghoa harus membuat Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). “SBKRI menjadi kebijakan yang sangat diskriminatif. Dulu normal dan lumrah, tapi itu diskriminatif. Itu sudah kita koreksi,” tuturnya.
Dian Andi menjelaskan diskriminasi ras dan etnis itu memiliki ciri, yakni pembedaan, pengecualian, pembatasan, dan pemilihan yang hasilnya tidak setara dengan kelompok lain. “Sumber diskriminasi tidak hanya tindakan. Bisa ucapan, peraturan, serta kebijakan, bentuknya bisa langsung dan tidak,” pungkasnya.
(cip)