UU Penanganan COVID-19 Meniadakan Kehadiran Rakyat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah sekarang sudah memiliki Undang-undang (UU) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan COVID-19 atau terkenal UU COVID-19 (Corona). Isinya dianggap memberikan hak istimewa kepada pejabat negara.
Dalam Sidang Paripurna pada Selasa (12/5/2020) delapan fraksi setuju Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 itu menjadi UU. Hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak. (Baca juga: Perppu 1/2020 Sah Jadi UU, Damai Hari Lubis Bakal Ajukan Lagi Gugatan ke MK )
Pengamat Politik Ubedilah Badrun memaparkan analisa sikap mayoritas anggota DPR yang menyetujui Perppu kontroversial itu. Bahkan beberapa elemen masyarakat sudah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurutnya, sikap setuju itu disebabkan relasi antara kepentingan oligarki ekonomi dengan partai terlalu dekat. Ini membuat mereka tidak memiliki semacam kebebasan menyatakan pendapat yang bertentangan. Sebenarnya kalau oligarki ekonominya berpihak pada kepentingan rakyat tidak masalah.
“Tapi Perppu itu lebih mengedepankan oligarki (ekonomi). Sementara partai politik mungkin juga tidak bisa melepaskan diri dari intervensi oligarki ekonomi dalam pembiayaan politik,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Rabu (13/5/2020).
Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu menjabarkan sejumlah pasal yang bermasalah dalam UU tersebut. Pertama, substansi Pasal 27 itu menghilangkan pengawasan konstitusional oleh DPR. Selain itu, membuat lembaga yudisial tidak bisa menyidangkan perkara terkait penyimpangan yang mungkin dilakukan pejabat publik dalam penanganan COVID-19.
Pasal tersebut memberikan imunitas atau kekebalan hukum kepada pejabat negara. Tindakan atau keputusan yang diambil berdasarkan UU penanganann COVID-19 itu tidak bisa dijadikan objek gugatan.
“Hal ini tentu melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan negara Indonesia adalah negara hukum. Itu juga pelanggaran terhadap prinsip rule of law diman equality before the law menjadi salah satu elemen penting di dalamnya,” tutur Ubedilah.
Pasal 28 UU Penanganan COVID-19 itu meniadakan keterlibatan DPR dalam pembuatan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Perubahan APBN 2020 hanya diatur melalui peraturan presiden (Perpres). (Baca juga: Perppu 1/2020 Sah Jadi UU, Uchok Sky: Eksekutif Diberikan Hak Kekebalan Hukum )
“Padahal, APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara, yang dengan kata lain ada partisipasi rakyat di dalamnya, yang diwakili oleh DPR. Dengan demikian, Pasal 28 ini secara tidak langsung telah meniadakan kehadiran rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini,” pungkasnya.
Dalam Sidang Paripurna pada Selasa (12/5/2020) delapan fraksi setuju Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 itu menjadi UU. Hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak. (Baca juga: Perppu 1/2020 Sah Jadi UU, Damai Hari Lubis Bakal Ajukan Lagi Gugatan ke MK )
Pengamat Politik Ubedilah Badrun memaparkan analisa sikap mayoritas anggota DPR yang menyetujui Perppu kontroversial itu. Bahkan beberapa elemen masyarakat sudah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurutnya, sikap setuju itu disebabkan relasi antara kepentingan oligarki ekonomi dengan partai terlalu dekat. Ini membuat mereka tidak memiliki semacam kebebasan menyatakan pendapat yang bertentangan. Sebenarnya kalau oligarki ekonominya berpihak pada kepentingan rakyat tidak masalah.
“Tapi Perppu itu lebih mengedepankan oligarki (ekonomi). Sementara partai politik mungkin juga tidak bisa melepaskan diri dari intervensi oligarki ekonomi dalam pembiayaan politik,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Rabu (13/5/2020).
Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu menjabarkan sejumlah pasal yang bermasalah dalam UU tersebut. Pertama, substansi Pasal 27 itu menghilangkan pengawasan konstitusional oleh DPR. Selain itu, membuat lembaga yudisial tidak bisa menyidangkan perkara terkait penyimpangan yang mungkin dilakukan pejabat publik dalam penanganan COVID-19.
Pasal tersebut memberikan imunitas atau kekebalan hukum kepada pejabat negara. Tindakan atau keputusan yang diambil berdasarkan UU penanganann COVID-19 itu tidak bisa dijadikan objek gugatan.
“Hal ini tentu melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan negara Indonesia adalah negara hukum. Itu juga pelanggaran terhadap prinsip rule of law diman equality before the law menjadi salah satu elemen penting di dalamnya,” tutur Ubedilah.
Pasal 28 UU Penanganan COVID-19 itu meniadakan keterlibatan DPR dalam pembuatan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Perubahan APBN 2020 hanya diatur melalui peraturan presiden (Perpres). (Baca juga: Perppu 1/2020 Sah Jadi UU, Uchok Sky: Eksekutif Diberikan Hak Kekebalan Hukum )
“Padahal, APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara, yang dengan kata lain ada partisipasi rakyat di dalamnya, yang diwakili oleh DPR. Dengan demikian, Pasal 28 ini secara tidak langsung telah meniadakan kehadiran rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini,” pungkasnya.
(kri)