Memprihatinkan, Tren Pelanggaran HAM di Indonesia Meningkat Setahun Terakhir
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tren peningkatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia meningkat dalam satu tahun terakhir. Tren ini diikuti dengan ancaman kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Kesimpulan ini mengemuka dalam webminar yang diselenggarkan LP3ES dalam rangka memperingati Hari HAM Dunia. Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menilai kebebasan sipil Indonesia dalam satu tahun terakhir mengalami kemorosotan tajam. Banyak warga sipil yang dipidanakan atau mengalami persekusi saat menyampaikan pendapat mereka secara langsung maupun melalui media sosial. (Baca: Taubat Sebagai Jalan Keluar Masalah)
“Ada tindakan yang berlebihan oleh kepolisian untuk merespons perdebatan di ruang publik baik secara online maupun offline. Sebagai contoh,pemblokiran internet di papua dan masih ada 35 aktivis politik yang dipenjara,” ujarnya.
Hamid juga menilai saat ini masih juga terjadi degenderasi di mana individu masih kerap mengalami perlakuan berbeda akibat perbedaan jenis kelamin atau orientasi seksual. Dia mencontohkan pencabutan posisi polisi atau aparatur hanya karena orientasi seksual dan gender.
Ini sangatlah ironi karena bagaimana pun sebagai manusia dan warga negara Indonesia, mereka seharusnya mendapatkan proteksi dari negara terhadap hak-hak mereka sebagai kalangan minoritas. “Selain itu tak kunjung disahkannya RUU Perlindungan Kekerasan Seksual membuat dampak negatif degenderisasi terus terasa di lapangan,” katanya.
Hamid juga menemukan kemunculan aktor baru di tengah pandemi yang ikut terlibat sebagai korban dalam represi tersebut, iaitu: tenaga kesehatan. Mereka banyak menjadi harapan untuk menghadapi pandemi, tetapi tidak mendapatkan alat perlindungan yang memadai dari negara. (Baca juga: Lulus Kuliah Ingin Dapat Kerja Yang Diimpikan, Ini Kuncinya)
“Mereka mengalami kelangkaan APD hingga sulitnya mendapatkan akses Swap gratis. Sebagian dari tenaga medis tersebut juga ada yang diusir dari tempat tinggal dan tidak mendapatkan perlindungan selayaknya dari Negara,” katanya.
Peneliti HAM dari Universitas Airlangga Herlambang P. Wiratraman menegaskan munculnya sikap represif terhadap masyarakat sipil merupakan indikator telah terjadinya neo-otoritarianisme. Fenomena itu bisa dilihat dari adanya serangan balik berupa intimidasi, penangkapan, pembubaran paksa bagi buruh, mahasiswa atau masyarakat sipil, yang menolak UU Cipta Kerja. “Data dari AJI ada 28 jurnalis, YLBHI mengungkapkan ada lebih dari 6.000 peserta aksi yang ditangkap/ ditahan saat aksi penolakan RUU Ciptaker,” katanya.
Kriminalisasi terkait konflik agrarian, kata Herlambang juga masih tetap terjadi, walaupun tidak terekspos media. Misalnya pada kasus Effending Buhing di Kalimantan Tengah. Tokoh adat tersebut ditangkap karena diduga terkait dengan sikap tegasnya yang menolak pembabatan hutan adat Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau. (Baca juga: Ampuh Tingkatkan Imunitas, Bagaimana Vaksin Bekerja?)
“ Pelanggaran HAM juga diduga terjadi dalam penahanan dan kriminalisasi mahasiswa Papua dan Ambon. Selain itu masih terdapat kasus extra-judicial killing seperti terbunuhnya Pendeta Yeremia pada akhir oktober, kasus anak SMA yang pulang libur natal kemudian bertemu aparat dan ditembak mati, lalu ada pula kasus FPI km50,” ujarnya.
Herlambang menilai pengerdilan ruang kebebasan sipil menjadi indicator lemahnya komitmen pemerintah dalam penegakan HAM di Indonesia. Ironisnya kebebasan akademik juga terancam dalam beberapa waktu terakhir. Ancaman kebebasan akademi ini bisa berupa serangan siber terhadap aktivis akademik, penundukan kampus maupun lembaga riset oleh otoritas Negara hingga serangan terhadap pers mahasiswa.
Selain itu terjadi kriminalisasi dalih pencemaran nama baik atau gugatan untuk membungkam akademisi. Di samping itu juga terjadi eskalasi penangkapan/penahanan dalam aksi, kriminalisasi dalam mengkritisi kebijakan negara. “Terakhir ancaman kebebasan akademis ini muncul dalam bentuk skorsing terhadap mahasiswa yang kritis,” katanya. (Baca juga: AI Bantu Ilmuwan Memahami Aktivitas Otak Saat Berpikir)
Peneliti LP3ES Wiyanto menilai kondisi masyarakat sipil dan dinamika politik saat ini mirip dengan konsolidasi otoritarianisme orde baru di masa lalu. Menurutnya orde baru tidak muncul begitu saja menjadi rezim otoriterianisme, tetapi melalui berbagai tahapan di mana ada kebebesan semu di awal kekuasaan, kemudian muncul represi ruang public, hingga puncaknya munculnya dominasi militer.
“Gambaran itu dapat digunakan untuk merefleksikan kondisi masyarakat sipil dan dinamika politik yang terjadi sekarang. Di mana muncul banyak represi dan puncaknya terjadi ketika Prabowo berkoalisi dengan pemerintah,” paparnya.
Wijayanto juga mejelaskan bahwa negara kini tidak menjadikan keselamatan nyawa masyarakatnya sebagai komando kebijakan di tengah pandemi, melainkan kepentingan ekonomi. Hal tersebut terbukti melalui buruknya respons pemerintah terhadap penanganan Coronavirus di awal penyebarannya, pemaksaan new normal untuk mengamankan ekonomi, dan juga pengesahan Omnibus Law di tengah Pandemi dengan terburu-buru. (Lihat videonya: Habib Rizieq Tersangka Kasus Pelangaran Protokol Kesehatan)
Kondisi itu semakin diperparah dengan kasus Ibu Yuli di Serang yang meninggal karena kelaparan di tengah wabah coronavirus. “Kemudian juga soal pilkada di era Pandemi yang berpotensi menciptakan cluster-cluster baru. Kekerasan negara itu tidak selalu dilihat secara eksplisit, tetapi juga melalui kebijakan-kebijakan seperti ini,” katanya. (Nono Suwarno)
Kesimpulan ini mengemuka dalam webminar yang diselenggarkan LP3ES dalam rangka memperingati Hari HAM Dunia. Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menilai kebebasan sipil Indonesia dalam satu tahun terakhir mengalami kemorosotan tajam. Banyak warga sipil yang dipidanakan atau mengalami persekusi saat menyampaikan pendapat mereka secara langsung maupun melalui media sosial. (Baca: Taubat Sebagai Jalan Keluar Masalah)
“Ada tindakan yang berlebihan oleh kepolisian untuk merespons perdebatan di ruang publik baik secara online maupun offline. Sebagai contoh,pemblokiran internet di papua dan masih ada 35 aktivis politik yang dipenjara,” ujarnya.
Hamid juga menilai saat ini masih juga terjadi degenderasi di mana individu masih kerap mengalami perlakuan berbeda akibat perbedaan jenis kelamin atau orientasi seksual. Dia mencontohkan pencabutan posisi polisi atau aparatur hanya karena orientasi seksual dan gender.
Ini sangatlah ironi karena bagaimana pun sebagai manusia dan warga negara Indonesia, mereka seharusnya mendapatkan proteksi dari negara terhadap hak-hak mereka sebagai kalangan minoritas. “Selain itu tak kunjung disahkannya RUU Perlindungan Kekerasan Seksual membuat dampak negatif degenderisasi terus terasa di lapangan,” katanya.
Hamid juga menemukan kemunculan aktor baru di tengah pandemi yang ikut terlibat sebagai korban dalam represi tersebut, iaitu: tenaga kesehatan. Mereka banyak menjadi harapan untuk menghadapi pandemi, tetapi tidak mendapatkan alat perlindungan yang memadai dari negara. (Baca juga: Lulus Kuliah Ingin Dapat Kerja Yang Diimpikan, Ini Kuncinya)
“Mereka mengalami kelangkaan APD hingga sulitnya mendapatkan akses Swap gratis. Sebagian dari tenaga medis tersebut juga ada yang diusir dari tempat tinggal dan tidak mendapatkan perlindungan selayaknya dari Negara,” katanya.
Peneliti HAM dari Universitas Airlangga Herlambang P. Wiratraman menegaskan munculnya sikap represif terhadap masyarakat sipil merupakan indikator telah terjadinya neo-otoritarianisme. Fenomena itu bisa dilihat dari adanya serangan balik berupa intimidasi, penangkapan, pembubaran paksa bagi buruh, mahasiswa atau masyarakat sipil, yang menolak UU Cipta Kerja. “Data dari AJI ada 28 jurnalis, YLBHI mengungkapkan ada lebih dari 6.000 peserta aksi yang ditangkap/ ditahan saat aksi penolakan RUU Ciptaker,” katanya.
Kriminalisasi terkait konflik agrarian, kata Herlambang juga masih tetap terjadi, walaupun tidak terekspos media. Misalnya pada kasus Effending Buhing di Kalimantan Tengah. Tokoh adat tersebut ditangkap karena diduga terkait dengan sikap tegasnya yang menolak pembabatan hutan adat Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau. (Baca juga: Ampuh Tingkatkan Imunitas, Bagaimana Vaksin Bekerja?)
“ Pelanggaran HAM juga diduga terjadi dalam penahanan dan kriminalisasi mahasiswa Papua dan Ambon. Selain itu masih terdapat kasus extra-judicial killing seperti terbunuhnya Pendeta Yeremia pada akhir oktober, kasus anak SMA yang pulang libur natal kemudian bertemu aparat dan ditembak mati, lalu ada pula kasus FPI km50,” ujarnya.
Herlambang menilai pengerdilan ruang kebebasan sipil menjadi indicator lemahnya komitmen pemerintah dalam penegakan HAM di Indonesia. Ironisnya kebebasan akademik juga terancam dalam beberapa waktu terakhir. Ancaman kebebasan akademi ini bisa berupa serangan siber terhadap aktivis akademik, penundukan kampus maupun lembaga riset oleh otoritas Negara hingga serangan terhadap pers mahasiswa.
Selain itu terjadi kriminalisasi dalih pencemaran nama baik atau gugatan untuk membungkam akademisi. Di samping itu juga terjadi eskalasi penangkapan/penahanan dalam aksi, kriminalisasi dalam mengkritisi kebijakan negara. “Terakhir ancaman kebebasan akademis ini muncul dalam bentuk skorsing terhadap mahasiswa yang kritis,” katanya. (Baca juga: AI Bantu Ilmuwan Memahami Aktivitas Otak Saat Berpikir)
Peneliti LP3ES Wiyanto menilai kondisi masyarakat sipil dan dinamika politik saat ini mirip dengan konsolidasi otoritarianisme orde baru di masa lalu. Menurutnya orde baru tidak muncul begitu saja menjadi rezim otoriterianisme, tetapi melalui berbagai tahapan di mana ada kebebesan semu di awal kekuasaan, kemudian muncul represi ruang public, hingga puncaknya munculnya dominasi militer.
“Gambaran itu dapat digunakan untuk merefleksikan kondisi masyarakat sipil dan dinamika politik yang terjadi sekarang. Di mana muncul banyak represi dan puncaknya terjadi ketika Prabowo berkoalisi dengan pemerintah,” paparnya.
Wijayanto juga mejelaskan bahwa negara kini tidak menjadikan keselamatan nyawa masyarakatnya sebagai komando kebijakan di tengah pandemi, melainkan kepentingan ekonomi. Hal tersebut terbukti melalui buruknya respons pemerintah terhadap penanganan Coronavirus di awal penyebarannya, pemaksaan new normal untuk mengamankan ekonomi, dan juga pengesahan Omnibus Law di tengah Pandemi dengan terburu-buru. (Lihat videonya: Habib Rizieq Tersangka Kasus Pelangaran Protokol Kesehatan)
Kondisi itu semakin diperparah dengan kasus Ibu Yuli di Serang yang meninggal karena kelaparan di tengah wabah coronavirus. “Kemudian juga soal pilkada di era Pandemi yang berpotensi menciptakan cluster-cluster baru. Kekerasan negara itu tidak selalu dilihat secara eksplisit, tetapi juga melalui kebijakan-kebijakan seperti ini,” katanya. (Nono Suwarno)
(ysw)