Listrik dan Hak Asasi Manusia

Kamis, 10 Desember 2020 - 12:15 WIB
loading...
Listrik dan Hak Asasi...
Eko Sulistyo (Ist)
A A A
EKO SULISTYO
Komisaris PLN

LISTRIK menjadi sumber daya strategis yang sangat menentukan kualitas hidup dan sumber daya manusia sebuah bangsa. Tanpa cahaya dari listrik, aktivitas manusia seperti belajar, berproduksi, bertani bahkan aktivitas sosial harus dilakukan selama waktu terbatas, yakni selama ada sinar matahari. Memberi akses listrik pada masyarakat dapat meningkatkan produktivitas, mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesehatan dan meningkatkan standar hidup manusia.

Dalam buku terbarunya, A Question of Power: Electricity and the Wealth of Nations (2020), Robert Bryce bahkan menyatakan "listrik telah menjadi hak asasi manusia.” HAM ini bukan “diberkahi oleh Pencipta kita” atau yang dinyatakan oleh konstitusi atau Piagam PBB. Hak ini tidak serupa dengan kebebasan beragama atau berbicara, tapi merupakan hak fundamental untuk mengakses sumber energi yang memberdayakan manusia.

Dengan didukung data-data penelitian, ahli pemasaran energi global ini menunjukkan bahwa elektrifikasi telah membantu membebaskan tak terhitung perempuan di planet bumi dari pekerjaan domestik yang membosankan. Listrik membebaskan perempuan dari pompa air, kompor, dan bak cuci. Selama beberapa dekade mendatang, menghadirkan listrik yang melimpah dan dapat diandalkan untuk perempuan akan menjadi kunci upaya pengentasan kemiskinan global.

Bank Dunia menunjukkan beberapa negara dengan tingkat buta huruf perempuan yang tinggi semuannya berada di dunia yang tidak terhubung dengan listrik. Laporan Dana Anak-Anak PBB (UNICEF) pernah merinci penderitaan anak-anak di seluruh dunia, khususnya hak perempuan, bahwa delapan dari sepuluh negara dengan tingkat pernikahan anak tertinggi di dunia adalah negara dengan penggunaan listrik per kapita sangat rendah.

Maka jika kita dapat menyediakan listrik yang cukup untuk semua orang, kita dapat menghilangkan sebagian masalah besar dunia seperti kemiskinan, lingkungan yang tercemar dan kerawanan pangan. Dengan akses listrik yang murah, melimpah, dan andal, akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan standar hidup. Karena tanpa itu berbagai pekerjaan di luar pertanian subsisten atau pendidikan yang mencerdaskan sulit untuk dilakukan.

Instrumen HAM
HAM melekat pada semua manusia. Hak ini telah didefinisikan dan ditetapkan lebih dari 80 instrumen hukum internasional yang mencakup perlindungan mendasar atas martabat manusia, kebutuhan, dan kebebasan, seperti makanan, perumahan, privasi, keamanan pribadi, dan partisipasi demokratis. Sejak diadopsinya Deklarasi Universal HAM (UDHR) pada 1948, belum ada resolusi yang eksplisit mengklaim bahwa akses ke listrik adalah HAM universal.

Satu-satunya perjanjian internasional yang eksplisit menyebut akses pada listrik adalah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), yang telah diratifikasi Indonesia dalam UU Nomor 7 Tahun 1984. Konvensi ini menetapkan bahwa perempuan harus memiliki kondisi kehidupan yang memadai, termasuk akses ke listrik dan air. Namun, konvensi ini merujuk pada perempuan pada khususnya dan belum memberikan dukungan untuk mengklaim akses listrik adalah HAM universal.

Penjelasan yang bisa diterima dikemukakan oleh Lars Löfquist, Is there a universal human right to electricity? yang dimuat The International Journal of Human Rights, 2020, Vol. 24, No. 6, listrik baru dapat dipahami sebagai hak turunan yang diperlukan untuk melindungi atau memenuhi hak dasar manusia seperti sandang, pangan, kesehatan atau perumahan. Hak turunan ini dapat diilustrasikan manusia memiliki hak atas kondisi kehidupan yang memadai, dan listrik membantu memperbaiki kondisi tersebut.

Hak turunan atas hak dasar manusia paling terlihat dalam Covenant On Economic, Social And Cultural Rights yang sudah diadopsi Indonesia menjadi UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal 11 Konvenan menetapkan hak-hak dasar untuk akses pada makanan, sandang dan perumahan yang memadai dan perbaikan kondisi kehidupan, akan berhubungan dengan akses pada listrik untuk memasak, penerangan, pemanas, pendingin, dan peralatan rumah tangga.

Demikian pula pasal 12 Kovenan yang mengatur tentang pencapaian tertinggi standar kesehatan fisik dan mental. Pencapaian ini terkait dengan akses energi berkelanjutan bagi layanan dan peralatan rumah sakit dan perangkat kesehatan lainya. Juga pasal 6 dan 7 yang mengatur tentang hak untuk bekerja, sebagian besar pekerjaan dan teknologi membutuhkan akses listrik mulai dari mesin pabrik hingga perangkat komputer dan smartphone.

Pasal 13 Konvenan yang mengatur hak atas pendidikan juga berkaitan dengan akses terhadap listrik. Dengan akses listrik, sekolah bisa diadakan hingga malam hari dan para siswa dapat belajar di rumah. Listrik membantu mencerdasakan dan meningkatkan kualiitas sumber daya manusia.

Pembangunan Berkelanjutan
Kemajuan global untuk akses pada energi terbarukan yang berkeadilan dan berdimensi HAM telah disepakati berbagai negara yang menandatangani Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2015. Komitmen Indonesia untuk SDGs ditegaskan dalam Perpres Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Salah satu tujuan SDGs dalam soal energi terdapat dalam Tujuan 7, guna memastikan akses ke energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern untuk semua pada 2030. Menariknya, semua 17 Tujuan SDGs akan begantung dengan Tujuan 7 tersebut. Hal ini karena semua bentuk pembangunan bergantung pada ketersediaan sumber daya dan layanan energi terbarukan.

Pemerintahan Indonesia yang terikat pada komitmen SDGs mencoba menggunakan pendekatan HAM dalam pengertian keadilan dan pemeratan akses energi listrik ke masyarakat. Dengan masih adanya ketertinggalan dan kesenjangan daerah, salah satu faktor kuncinya adalah akses masyarakat pada listrik. Karena itu strategi pengembangan infrastruktur listrik diprioritaskan untuk wilayah terdepan, tertinggal dan terluar.

Saat ini rasio elektrifikasi Indonesia terus mengalami kenaikan seiring peningkatan populasi akses global ke listrik. Sampai Oktober 2020 mencapai 99,17%, meningkat signifikan dibandingkan tahun 2014 sebesar 84%. Namun berdasarkan peringkat electricity access population Bank Dunia, Indonesia masih tertinggal dari Malaysia dan Singapura yang telah mencapai 100%.

Tantangan ke depan layanan akses listrik tidak hanya untuk pertumbuhan ekonomi semata, tapi juga pendekatan HAM yang mengacu pada keadilan, kesetaraan, dan non diskriminasi, termasuk kepada kaum marginal dan orang miskin di perdesaan. Tiga komponen penting untuk pasokan listrik yang terjangkau dan andal, yaitu integritas, modal, dan kebersihan listrik yang kita konsumsi, harus menjadi pedoman pengelolaan sumber daya listrik untuk semua.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1518 seconds (0.1#10.140)