Keseimbangan Manajerial dan Politik Dinilai Variabel Penting Pilkada
loading...
A
A
A
Menurutnya, keseimbangan antara pendekatan manajerial dan politik secara ideal, selalu menunjukkan fakta disparitas yang cukup tinggi diantara keduanya. Disparitas itu mulai dari hadirnya Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1945 yang lebih menonjolkan pendekatan manajerial, hingga hadirnya UU Nomor 10 Tahun 2016 yang lebih menekankan pendekatan politik.
Disparitas antara pendekatan manajerial dan politik ini, membawa Pilkada di Indonesia pada posisi kinerja yang belum optimal. "Karena mengabaikan hakekat dan substansi demokrasi yang sesungguhnya, yaitu terpilihnya pemimpin lokal yang mampu memberikan pelayanan terbaik utk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya," tuturnya.
Maka lanjut dia, berangkat dari banyaknya permasalahan itu, ditambah lagi dengan isu-isu pelaksanaan Pilkada, antara lain belum akuratnya data kependudukan, ASN yang tidak netral, dan kondisi politik lokal yang tidak kondusif yang mengganggu ekonomi, perlu digali formulasi Pilkada yang tepat. Dan apa yang diperlukan agar Pilkada langsung dan serentak ini tidak hanya sukses dilaksanakan, tapi juga menghasilkan kepala daerah yang berkualitas.
"Saya dalam menganalisis ini lmenggunakan pendekatan teori Rosenbloom yang melihat suatu kebijakan publik dari aspek politik, manajerial dan hukum. Saya menganalisis bagaimana pelaksanaan Pilkada serentak dan langsung di Indonesia. Namun saya hanya berfokus pada aspek politik dan manajerial saja," ujarnya.
Dia menuturkan, kajian diawali dengan melakukan evaluasi terhadap regulasi tentang Pilkada yang pernah ada. Dia membeberkan ada sejumlah fakta terkait aspek politik dan manajerial dalam Pilkada.
Pada Orde Baru dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, aspek manajerial lebih tinggi dibandingkan aspek politik, dimana pelaksanaan pemilihan dilakukan melalui DPRD, sehingga lebih efektif, efisien dan ekonomis. Namun kelemahannya adalah aspek partisipasi dan keterwakilan politik dari masyarakat relatif kurang terakomodasi.
"Pada masa reformasi, saat diberlakukan UU Nomor 22 Tahun 1999 aspek politik tinggi, tapi dalam praktiknya aspek manajerial juga tinggi dimana ditandai banyaknya partai politik yang berkembang atau tingginya aspek politik. Sedangkan pemilihan tetap dilaksanakan oleh DPRD, atau tingginya aspek manajerial. Di sini DPRD tidak bisa berperan hanya mewakili partai politik saja tapi harus mendengarkan suara masyarakat," ungkapnya.
Selanjutnya, kata dia, pada masa pasca reformasi Pilkada dilaksanakan mendasarkan pada UU Nomor 32 Tahun 2004 yaitu melalui pemilihan langsung.
Pendekatan ini memiliki aspek politik karena masyarakat bisa langsung memilih pemimpinnya. Sehingga legitimasi politiknya sangat kuat. Tapi dari sisi manajerial, Pilkada ini berbiaya yang sangat tinggi, dan dianggap kurang efisien.
"Merespons hal tersebut, UU Nomor 32 Tahun 2004 dilakukan revisi dengan UU Nomor 22 Tahun 2014 dimana aspek manajerial menjadi pertimbangan utama. Namun UU Nomor 22 Tahun 2014 tersebut dicabut dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015 dan di ubah menjadi UU Nomor 10 Tahun 2016," imbuhnya.
Berdasarkan UU ini lanjut Akmal, Pilkada dilaksanakan secara langsung, sehingga legitimasi politik tinggi, karena setiap masyarakat dapat menyalurkan hak politiknya secara langsung. Dan juga dilakukan secara serentak agar biaya penyelenggaraan dapat lebih efisien.
Disparitas antara pendekatan manajerial dan politik ini, membawa Pilkada di Indonesia pada posisi kinerja yang belum optimal. "Karena mengabaikan hakekat dan substansi demokrasi yang sesungguhnya, yaitu terpilihnya pemimpin lokal yang mampu memberikan pelayanan terbaik utk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya," tuturnya.
Maka lanjut dia, berangkat dari banyaknya permasalahan itu, ditambah lagi dengan isu-isu pelaksanaan Pilkada, antara lain belum akuratnya data kependudukan, ASN yang tidak netral, dan kondisi politik lokal yang tidak kondusif yang mengganggu ekonomi, perlu digali formulasi Pilkada yang tepat. Dan apa yang diperlukan agar Pilkada langsung dan serentak ini tidak hanya sukses dilaksanakan, tapi juga menghasilkan kepala daerah yang berkualitas.
"Saya dalam menganalisis ini lmenggunakan pendekatan teori Rosenbloom yang melihat suatu kebijakan publik dari aspek politik, manajerial dan hukum. Saya menganalisis bagaimana pelaksanaan Pilkada serentak dan langsung di Indonesia. Namun saya hanya berfokus pada aspek politik dan manajerial saja," ujarnya.
Dia menuturkan, kajian diawali dengan melakukan evaluasi terhadap regulasi tentang Pilkada yang pernah ada. Dia membeberkan ada sejumlah fakta terkait aspek politik dan manajerial dalam Pilkada.
Pada Orde Baru dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, aspek manajerial lebih tinggi dibandingkan aspek politik, dimana pelaksanaan pemilihan dilakukan melalui DPRD, sehingga lebih efektif, efisien dan ekonomis. Namun kelemahannya adalah aspek partisipasi dan keterwakilan politik dari masyarakat relatif kurang terakomodasi.
"Pada masa reformasi, saat diberlakukan UU Nomor 22 Tahun 1999 aspek politik tinggi, tapi dalam praktiknya aspek manajerial juga tinggi dimana ditandai banyaknya partai politik yang berkembang atau tingginya aspek politik. Sedangkan pemilihan tetap dilaksanakan oleh DPRD, atau tingginya aspek manajerial. Di sini DPRD tidak bisa berperan hanya mewakili partai politik saja tapi harus mendengarkan suara masyarakat," ungkapnya.
Selanjutnya, kata dia, pada masa pasca reformasi Pilkada dilaksanakan mendasarkan pada UU Nomor 32 Tahun 2004 yaitu melalui pemilihan langsung.
Pendekatan ini memiliki aspek politik karena masyarakat bisa langsung memilih pemimpinnya. Sehingga legitimasi politiknya sangat kuat. Tapi dari sisi manajerial, Pilkada ini berbiaya yang sangat tinggi, dan dianggap kurang efisien.
"Merespons hal tersebut, UU Nomor 32 Tahun 2004 dilakukan revisi dengan UU Nomor 22 Tahun 2014 dimana aspek manajerial menjadi pertimbangan utama. Namun UU Nomor 22 Tahun 2014 tersebut dicabut dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015 dan di ubah menjadi UU Nomor 10 Tahun 2016," imbuhnya.
Berdasarkan UU ini lanjut Akmal, Pilkada dilaksanakan secara langsung, sehingga legitimasi politik tinggi, karena setiap masyarakat dapat menyalurkan hak politiknya secara langsung. Dan juga dilakukan secara serentak agar biaya penyelenggaraan dapat lebih efisien.