Keseimbangan Manajerial dan Politik Dinilai Variabel Penting Pilkada
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri), Akmal Malik menilai, keseimbangan aspek manajerial dan politik dalam pelaksanaan Pilkada sangat penting.
(Baca juga: KPU-Pemerintah Kompak Sebut Pilkada 2020 Siap Dilaksanakan Besok)
Variabel penting lainnya kata dia, adalah kepercayaan dan tingkat kepuasan masyarakat yang tinggi terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Dia menuturkan, untuk membangun keseimbangan tersebut perlu dibangun suatu mekanisme Pilkada multikultural yang tidak seragam di setiap daerah. Pemilihan yang disesuaikan dengan karakteristik daerah masing-masing atau asymetrical election.
(Baca juga: Update, Total 2.144 WNI di Luar Negeri Positif Covid-19)
Hal tersebut pula yang dia angkat dalam disertasi doktoralnya sebagai mahasiswa S3 Ilmu Administrasi Publik Progrom Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang.
"Pelaksanaan Pilkada langsung dan serentak di Indonesia, merupakan salah satu bentuk administrasi publik yang penting dalam rekruitmen kepemimpinan lokal di Indonesia," ujar Akmal Malik di Jakarta, Selasa (8/12/2020).
Dia pun kemudian mengutip pendapat seorang pakar bernama Roosenbloom. Roosenbloom, kata dia, mengungkapkan ada tiga pendekatan yang dipakai untuk melihat administrasi publik dalam Pilkada. Tiga pendekatan itu, manejerial, politik dan hukum.
Namun pendekatan manajerial dan politik lebih sering menjadi bahan sorotan publik. Walaupun akhirnya tetap harus mengikutsertakan pendekatan hukum dalam pembahasannya.
"Sejarah pelaksanaan Pilkada sebagai administrasi publik di Indonesia, belum pernah menunjukkan terjadinya keseimbangan antara pendekatan manajerial dan politik secara ideal," katanya.
Menurutnya, keseimbangan antara pendekatan manajerial dan politik secara ideal, selalu menunjukkan fakta disparitas yang cukup tinggi diantara keduanya. Disparitas itu mulai dari hadirnya Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1945 yang lebih menonjolkan pendekatan manajerial, hingga hadirnya UU Nomor 10 Tahun 2016 yang lebih menekankan pendekatan politik.
Disparitas antara pendekatan manajerial dan politik ini, membawa Pilkada di Indonesia pada posisi kinerja yang belum optimal. "Karena mengabaikan hakekat dan substansi demokrasi yang sesungguhnya, yaitu terpilihnya pemimpin lokal yang mampu memberikan pelayanan terbaik utk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya," tuturnya.
Maka lanjut dia, berangkat dari banyaknya permasalahan itu, ditambah lagi dengan isu-isu pelaksanaan Pilkada, antara lain belum akuratnya data kependudukan, ASN yang tidak netral, dan kondisi politik lokal yang tidak kondusif yang mengganggu ekonomi, perlu digali formulasi Pilkada yang tepat. Dan apa yang diperlukan agar Pilkada langsung dan serentak ini tidak hanya sukses dilaksanakan, tapi juga menghasilkan kepala daerah yang berkualitas.
"Saya dalam menganalisis ini lmenggunakan pendekatan teori Rosenbloom yang melihat suatu kebijakan publik dari aspek politik, manajerial dan hukum. Saya menganalisis bagaimana pelaksanaan Pilkada serentak dan langsung di Indonesia. Namun saya hanya berfokus pada aspek politik dan manajerial saja," ujarnya.
Dia menuturkan, kajian diawali dengan melakukan evaluasi terhadap regulasi tentang Pilkada yang pernah ada. Dia membeberkan ada sejumlah fakta terkait aspek politik dan manajerial dalam Pilkada.
Pada Orde Baru dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, aspek manajerial lebih tinggi dibandingkan aspek politik, dimana pelaksanaan pemilihan dilakukan melalui DPRD, sehingga lebih efektif, efisien dan ekonomis. Namun kelemahannya adalah aspek partisipasi dan keterwakilan politik dari masyarakat relatif kurang terakomodasi.
"Pada masa reformasi, saat diberlakukan UU Nomor 22 Tahun 1999 aspek politik tinggi, tapi dalam praktiknya aspek manajerial juga tinggi dimana ditandai banyaknya partai politik yang berkembang atau tingginya aspek politik. Sedangkan pemilihan tetap dilaksanakan oleh DPRD, atau tingginya aspek manajerial. Di sini DPRD tidak bisa berperan hanya mewakili partai politik saja tapi harus mendengarkan suara masyarakat," ungkapnya.
Selanjutnya, kata dia, pada masa pasca reformasi Pilkada dilaksanakan mendasarkan pada UU Nomor 32 Tahun 2004 yaitu melalui pemilihan langsung.
Pendekatan ini memiliki aspek politik karena masyarakat bisa langsung memilih pemimpinnya. Sehingga legitimasi politiknya sangat kuat. Tapi dari sisi manajerial, Pilkada ini berbiaya yang sangat tinggi, dan dianggap kurang efisien.
"Merespons hal tersebut, UU Nomor 32 Tahun 2004 dilakukan revisi dengan UU Nomor 22 Tahun 2014 dimana aspek manajerial menjadi pertimbangan utama. Namun UU Nomor 22 Tahun 2014 tersebut dicabut dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015 dan di ubah menjadi UU Nomor 10 Tahun 2016," imbuhnya.
Berdasarkan UU ini lanjut Akmal, Pilkada dilaksanakan secara langsung, sehingga legitimasi politik tinggi, karena setiap masyarakat dapat menyalurkan hak politiknya secara langsung. Dan juga dilakukan secara serentak agar biaya penyelenggaraan dapat lebih efisien.
Perubahan undang-undang ini mengarah pada keseimbangan antara aspek politik dan aspek manajerial dimana hak hak politik dari warga negara tidak terganggu. Tapi di sisi lain efektif dan efisiensi dalam pelaksanaan juga terjaga melalu mekanisme keserentakan Pilkada.
"Terhadap upaya untuk mencari format Pilkada yang ideal, yang seimbang antara aspek manajerial dan politik, saya coba untuk melakukan analisis dari berbagai variabel. Dari sisi struktur organisasi, untuk mencapai keseimbangan, maka struktur organisasi pelaksana di setiap daerah disesuaikan dengan kebutuhan masing masing wilayah," katanya.
Selain itu, kata dia, perlu dilakukan perbaikan komunikasi berbagai pihak yang terlibat maupun tidak terlibat dalam Pilkada langsung dan serentak. Kesimbangan akan tercapai jika leadership penyelenggara yang baik dan jika seluruh stakeholders terutama partai politik dan masyarakat saling melakukan pengawasan.
Dari sisi nilai, Pilkada adalah ajang untuk mencari pemimpin yang tidak hanya mewakili kepentingan sebagian besar warganya namun juga responsif terhadap kebutuhan warganya. Kepercayaan warga dan kepuasan terhadap hasil kinerja pimpinan hasil Pilkada menjadi dua hal yang penting dan tidak terpisahkan.
"Selain hal tersebut di atas, saya menemukan bahwa aspek kepercayaan warga dan kepuasan warga masyarakat menjadi variable penting untuk kesuksesan pelaksanaan Pilkada. Keseimbangan aspek politik dan manajerial akan tercapai jika proses politik dapat berjalan dengan baik dan lancar, tapi juga kepala daerah yang dihasilkan juga merupakan kepala daerah yang berkualitas. Hal itu dapat tercapi apabila kepercayaan masyarakat tinggi, dan kepuasan masyarakat terhadap kinerja lembaga publik juga tinggi," tuturnya.
Sehingga, kesimpulan dari hasil penelitian dilakukan yang kemudian dituangkan dalam disertasi doktoralnya, membuktikan bahwa kepercayaan dan kepuasan masyarakat menjadi kunci sukses Pilkada langsung dan serentak. Utamanya pada saat kondisi pandemi seperti sekarang ini. "Selain itu, keseimbangan aspek manajerial dan politik dalam pelaksanaan Pilkada juga penting," pungkasnya.
(Baca juga: KPU-Pemerintah Kompak Sebut Pilkada 2020 Siap Dilaksanakan Besok)
Variabel penting lainnya kata dia, adalah kepercayaan dan tingkat kepuasan masyarakat yang tinggi terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Dia menuturkan, untuk membangun keseimbangan tersebut perlu dibangun suatu mekanisme Pilkada multikultural yang tidak seragam di setiap daerah. Pemilihan yang disesuaikan dengan karakteristik daerah masing-masing atau asymetrical election.
(Baca juga: Update, Total 2.144 WNI di Luar Negeri Positif Covid-19)
Hal tersebut pula yang dia angkat dalam disertasi doktoralnya sebagai mahasiswa S3 Ilmu Administrasi Publik Progrom Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang.
"Pelaksanaan Pilkada langsung dan serentak di Indonesia, merupakan salah satu bentuk administrasi publik yang penting dalam rekruitmen kepemimpinan lokal di Indonesia," ujar Akmal Malik di Jakarta, Selasa (8/12/2020).
Dia pun kemudian mengutip pendapat seorang pakar bernama Roosenbloom. Roosenbloom, kata dia, mengungkapkan ada tiga pendekatan yang dipakai untuk melihat administrasi publik dalam Pilkada. Tiga pendekatan itu, manejerial, politik dan hukum.
Namun pendekatan manajerial dan politik lebih sering menjadi bahan sorotan publik. Walaupun akhirnya tetap harus mengikutsertakan pendekatan hukum dalam pembahasannya.
"Sejarah pelaksanaan Pilkada sebagai administrasi publik di Indonesia, belum pernah menunjukkan terjadinya keseimbangan antara pendekatan manajerial dan politik secara ideal," katanya.
Menurutnya, keseimbangan antara pendekatan manajerial dan politik secara ideal, selalu menunjukkan fakta disparitas yang cukup tinggi diantara keduanya. Disparitas itu mulai dari hadirnya Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1945 yang lebih menonjolkan pendekatan manajerial, hingga hadirnya UU Nomor 10 Tahun 2016 yang lebih menekankan pendekatan politik.
Disparitas antara pendekatan manajerial dan politik ini, membawa Pilkada di Indonesia pada posisi kinerja yang belum optimal. "Karena mengabaikan hakekat dan substansi demokrasi yang sesungguhnya, yaitu terpilihnya pemimpin lokal yang mampu memberikan pelayanan terbaik utk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya," tuturnya.
Maka lanjut dia, berangkat dari banyaknya permasalahan itu, ditambah lagi dengan isu-isu pelaksanaan Pilkada, antara lain belum akuratnya data kependudukan, ASN yang tidak netral, dan kondisi politik lokal yang tidak kondusif yang mengganggu ekonomi, perlu digali formulasi Pilkada yang tepat. Dan apa yang diperlukan agar Pilkada langsung dan serentak ini tidak hanya sukses dilaksanakan, tapi juga menghasilkan kepala daerah yang berkualitas.
"Saya dalam menganalisis ini lmenggunakan pendekatan teori Rosenbloom yang melihat suatu kebijakan publik dari aspek politik, manajerial dan hukum. Saya menganalisis bagaimana pelaksanaan Pilkada serentak dan langsung di Indonesia. Namun saya hanya berfokus pada aspek politik dan manajerial saja," ujarnya.
Dia menuturkan, kajian diawali dengan melakukan evaluasi terhadap regulasi tentang Pilkada yang pernah ada. Dia membeberkan ada sejumlah fakta terkait aspek politik dan manajerial dalam Pilkada.
Pada Orde Baru dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, aspek manajerial lebih tinggi dibandingkan aspek politik, dimana pelaksanaan pemilihan dilakukan melalui DPRD, sehingga lebih efektif, efisien dan ekonomis. Namun kelemahannya adalah aspek partisipasi dan keterwakilan politik dari masyarakat relatif kurang terakomodasi.
"Pada masa reformasi, saat diberlakukan UU Nomor 22 Tahun 1999 aspek politik tinggi, tapi dalam praktiknya aspek manajerial juga tinggi dimana ditandai banyaknya partai politik yang berkembang atau tingginya aspek politik. Sedangkan pemilihan tetap dilaksanakan oleh DPRD, atau tingginya aspek manajerial. Di sini DPRD tidak bisa berperan hanya mewakili partai politik saja tapi harus mendengarkan suara masyarakat," ungkapnya.
Selanjutnya, kata dia, pada masa pasca reformasi Pilkada dilaksanakan mendasarkan pada UU Nomor 32 Tahun 2004 yaitu melalui pemilihan langsung.
Pendekatan ini memiliki aspek politik karena masyarakat bisa langsung memilih pemimpinnya. Sehingga legitimasi politiknya sangat kuat. Tapi dari sisi manajerial, Pilkada ini berbiaya yang sangat tinggi, dan dianggap kurang efisien.
"Merespons hal tersebut, UU Nomor 32 Tahun 2004 dilakukan revisi dengan UU Nomor 22 Tahun 2014 dimana aspek manajerial menjadi pertimbangan utama. Namun UU Nomor 22 Tahun 2014 tersebut dicabut dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015 dan di ubah menjadi UU Nomor 10 Tahun 2016," imbuhnya.
Berdasarkan UU ini lanjut Akmal, Pilkada dilaksanakan secara langsung, sehingga legitimasi politik tinggi, karena setiap masyarakat dapat menyalurkan hak politiknya secara langsung. Dan juga dilakukan secara serentak agar biaya penyelenggaraan dapat lebih efisien.
Perubahan undang-undang ini mengarah pada keseimbangan antara aspek politik dan aspek manajerial dimana hak hak politik dari warga negara tidak terganggu. Tapi di sisi lain efektif dan efisiensi dalam pelaksanaan juga terjaga melalu mekanisme keserentakan Pilkada.
"Terhadap upaya untuk mencari format Pilkada yang ideal, yang seimbang antara aspek manajerial dan politik, saya coba untuk melakukan analisis dari berbagai variabel. Dari sisi struktur organisasi, untuk mencapai keseimbangan, maka struktur organisasi pelaksana di setiap daerah disesuaikan dengan kebutuhan masing masing wilayah," katanya.
Selain itu, kata dia, perlu dilakukan perbaikan komunikasi berbagai pihak yang terlibat maupun tidak terlibat dalam Pilkada langsung dan serentak. Kesimbangan akan tercapai jika leadership penyelenggara yang baik dan jika seluruh stakeholders terutama partai politik dan masyarakat saling melakukan pengawasan.
Dari sisi nilai, Pilkada adalah ajang untuk mencari pemimpin yang tidak hanya mewakili kepentingan sebagian besar warganya namun juga responsif terhadap kebutuhan warganya. Kepercayaan warga dan kepuasan terhadap hasil kinerja pimpinan hasil Pilkada menjadi dua hal yang penting dan tidak terpisahkan.
"Selain hal tersebut di atas, saya menemukan bahwa aspek kepercayaan warga dan kepuasan warga masyarakat menjadi variable penting untuk kesuksesan pelaksanaan Pilkada. Keseimbangan aspek politik dan manajerial akan tercapai jika proses politik dapat berjalan dengan baik dan lancar, tapi juga kepala daerah yang dihasilkan juga merupakan kepala daerah yang berkualitas. Hal itu dapat tercapi apabila kepercayaan masyarakat tinggi, dan kepuasan masyarakat terhadap kinerja lembaga publik juga tinggi," tuturnya.
Sehingga, kesimpulan dari hasil penelitian dilakukan yang kemudian dituangkan dalam disertasi doktoralnya, membuktikan bahwa kepercayaan dan kepuasan masyarakat menjadi kunci sukses Pilkada langsung dan serentak. Utamanya pada saat kondisi pandemi seperti sekarang ini. "Selain itu, keseimbangan aspek manajerial dan politik dalam pelaksanaan Pilkada juga penting," pungkasnya.
(maf)